Jalan Tengah Pemenuhan Sanitasi Aman Kawasan Urban
Cara mengatasi pencemaran air tanah dan air permukaan dapat dilakukan dengan membangun toilet yang terhubung dengan saluran instalasi pengolahan air limbah.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Akses warga terhadap sanitasi di Jakarta terus membaik. Namun, tingkat pencemaran air tanah dan air permukaan di Ibu Kota masih tinggi. Septic tank warga dinilai jadi sumber pencemaran.
Data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang diakses pada Minggu (31/10/2021) menunjukkan, sebanyak 2,29 juta keluarga di Jakarta telah menjangkau jamban sehat permanen. Sementara 166.622 keluarga menjangkau jamban sehat semipermanen, 94.844 keluarga menggunakan jamban bersama, dan 50.015 keluarga masih buang air besar sembarangan (BABs).
Artinya, akses warga Jakarta terhadap jamban sudah mencapai 97,80 persen. Capaian tersebut membaik dan meningkat ketimbang data dua tahun lalu. Pada Oktober 2019, jumlah warga yang masih menggunakan jamban bersama sebanyak 144.436 keluarga dan jumlah warga yang masih BABs sebanyak 113.886 keluarga.
Hampir semua sungai pernah mengalami pencemaran pada tingkat menengah hingga tinggi.
Rusli Cahyadi, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, mengakui ada peningkatan signifikan pada akses warga Jakarta terhadap sanitasi. Demikian juga akses warga terhadap air bersih yang meningkat signifikan.
”Satu laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa berdasarkan survei sosial ekonomi nasional, akses terhadap air minum yang aman meningkat dari 37,33 persen pada 1993 menjadi 42,76 persen pada 2011,” katanya dalam diskusi daring tentang Meeting Everyone’s Needs for Sanitation in Urban Areas, Kamis (28/10/2021).
Akses air bersih terus meningkat, hingga pada 2019 capaiannya sebesar 89,2 persen dari target 100 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki akses air bersih. Kemudian meningkat lagi di tahun 2020 dengan cakupan rumah tangga yang sudah memiliki akses air bersih sebanyak 90,21 persen. Berbagai capaian itu menunjukkan kalau program pembangunan sanitasi dan ketersedian air minum yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target nasional dan target SDGs perlahan mulai berhasil.
Data yang ada juga menunjukkan tingginya cakupan pengelolaan air limbah di Jakarta. Mayoritas penduduk, sebesar 93 persen memiliki akses fasilitas pembuangan air limbah. Sayangnya, indikator lain menunjukkan hal yang kontradiktif. Meskipun cakupan pengelolaan air limbah tinggi, masih ada pencemaran air tanah dan air permukaan.
”Hampir semua sungai pernah mengalami pencemaran pada tingkat menengah hingga tinggi,” ujarnya.
Pencemaran sungai dan air permukaan itu disinyalir terjadi karena ada persoalan dengan septic tank yang mayoritas digunakan oleh warga. Sebab, dari hasil pemantauan salah satu instansi di Jakarta, sebanyak 80 persen sumur dalam tercemar E coli.
Data PD Pengolahan Air Limbah Jakarta, pada 2018, bahkan memperkirakan 80 persen dari 2 juta septic tank di Jakarta masih berupa septic tank rembesan. Septic tank itu biasanya hanya dibeton di dindingnya dan dibiarkan terbuka di bagian bawah sehingga limbah tinja diserapkan ke tanah. Model itu akan aman jika jarak minimalnya dengan sumber air tanah atau sumur 10 meter. Nyatanya, dengan kepadatan permukiman Ibu Kota, jarak minimal ini nyaris tak mungkin dipenuhi.
Akibatnya berdampak pada tingginya cemaran bakteri E coli di air sungai hingga air tanah. Pemantauan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada awal 2018, dari 267 sampel, tercatat 39,7 persen sampel air tanah dangkal telah tercemar oleh bakteri E coli tinja. Bahkan, di beberapa lokasi, konsentrasi koli tinja jauh lebih tinggi di atas ambang batas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, yaitu 1.000 per 100 mililiter.
Contohnya, antara lain, di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, ditemukan 700 juta organisme per 100 mililiter; Sukabumi Utara, Jakarta Barat, mencapai 6,4 juta organisme per 100 mililiter; dan Kebon Bawang sebesar 4,8 juta organisme per 100 mililiter. Adapun cemaran bakteri E coli di sungai, saluran air, waduk dan situ pun sudah tinggi sejak hulu.
Hulu Ciliwung di Kelapa Dua, misalnya, sudah mencapai 520.00 organisme per 100 mililiter. Demikian juga di hulu Mookervart di Jalan Daan Mogot sudah mencapai 6,1 juta organisme per 100 mililter (Kompas.id, 19/10/2021).
Infrastruktur toilet
Dalam diskusi yang sama, David Satterthwaite, Senior Fellow, Human Settlements, Team Leader, Urban Poverty and Local Organizations, menyebutkan, toilet yang terhubung dengan saluran instalasi pengolahan air limbah jadi salah satu cara mengatasi pencemaran air tanah dan air permukaan. Namun, toilet seperti itu masih dianggap mahal meskipun memberikan keuntungan besar.
”Toilet yang dilengkapi dengan selokan (saluran pembuangan air limbah) meminimalkan risiko kontak manusia dengan ekskresi. Toilet ini juga meminimalkan penggunaan ruang di kawasan permukiman padat,” kata David.
Keuntungan lain dari toilet tersebut, yakni bekerja dengan baik di gedung bertingkat dan bisa jadi solusi memecahkan masalah pembuangan air limbah rumah tangga. Bahkan, sering kali bisa berfungsi sebagai drainase ketika terjadi limpahan air akibat banjir.
Lebih lanjut, toilet selokan juga tidak membutuhkan layanan reguler untuk mengumpulkan ekskresi atau lumpur. Air limbahnya dapat diolah untuk kembali digunakan dalam berbagai keperluan, terutama untuk industri atau pertanian.
Menurut David, pembangunan infrastruktur toilet di kawasan permukiman kumuh yang terhubung dengan instalasi pengelolaan air limbah sangat memungkinkan jika kelompok masyarakat miskin perkotaan terorganisasi. Namun, pembangunan toilet yang terhubung dengan instalasi pengelolaan air limbah membutuhkan kolaborasi antara masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan dukungan pemerintah kota atau pemerintah daerah.
Di Jakarta, pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) direncanakan di 15 zona. Ada lima zona prioritas, yakni di Pluit, Muara Angke, Duri Kosambi, Marunda, dan Sunter Utara.
Setiap IPAL bisa menangani 20.000-280.000 meter kubik limbah cair rumah tangga dari kakus dan dapur per hari. Jika 19 zona itu selesai dibangun, maka akan mampu mengelola 80 persen air limbah Jakarta secara terpusat. Sisanya akan dikelola oleh masyarakat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghitung setidaknya diperlukan 6.000 IPAL komunal (Kompas.id, 12/11/2020).