Rasa jijik menyedot tangki septik atau tidak mau membuat instalasi pengolahan air limbah komunal harus dihapus. Sanitasi adalah hak sekaligus kewajiban masyarakat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum terwujudnya sanitasi dan pengelolaan limbah cair rumah tangga di Ibu Kota dinilai bukan karena tidak ada teknologi dan sarana, melainkan cara berpikir yang belum melihat kakus, tangki septik, dan pengolahan limbah sebagai bagian penting kehidupan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sumber Daya Air siap membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) perkotaan di 15 zona. Saat ini ada lima zona diprioritaskan, yakni di Pluit, Muara Angke, Duri Kosambi, Marunda, dan Sunter Utara. Setiap IPAL bisa menangani 20.000-280.000 meter kubik limbah cair rumah tangga dari kakus dan dapur per hari.
Penanggung jawab proyek IPAL di kelima zona itu, Elisabeth Tarigan dalam diskusi yang diadakan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 19 November mengatakan, jika selesai dibangun, 15 zona akan mengelola 80 persen air limbah Jakarta secara terpusat. Sisa 20 persen harus bisa dikelola oleh masyarakat.
Sebelumnya, Pemprov Jakarta menghitung setidaknya diperlukan 6.000 IPAL komunal dan proyek ini menjadi prioritas Dinas SDA pada tahun 2019. Tercatat ada 3 juta penduduk Ibu Kota belum punya akses ke IPAL. Perhitungannya adalah satu IPAL bisa mengelola limbah dari 200 keluarga (Kompas.id, 18 November 2018).
Bank Dunia menyebutkan, 49 persen tangki septik di Jakarta tidak pernah disedot warga dengan alasan kakus tidak pernah meluap ataupun mampat.
Data yang dikumpulkan tahun 2018 dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan, dan Dinas Lingkungan Hidup Jakarta menyebutkan, 40 persen air tanah di Jakarta tercemar bakteria Escherichia coli akibat sanitasi yang buruk. Demikian juga 95 persen dari 40 waduk dipenuhi bakteri ini. Risiko terkena diare sangat tinggi.
”Konsep BAB (buang air besar) sembarangan bukan hanya warga yang BAB di kali dan kebun, tetapi juga tangki-tangki septik yang tidak pernah disedot sehingga air limbahnya merembes ke tanah,” kata pakar lingkungan dan pengolahan air limbah Universitas Trisakti, Rositayanti Hadisoebroto di Jakarta, Jumat (20/11/2020).
Catatan Bank Dunia menyebutkan, 49 persen tangki septik di Jakarta tidak pernah disedot warga dengan alasan kakus tidak pernah meluap ataupun mampat. Dari segi akses, baru 64 persen rumah tangga di Jakarta yang memiliki tangki septik.
Rositayanti menjelaskan bahwa dari segi program sanitasi masyarakat (sanimas) ada berbagai pendekatan yang telah dilakukan di Jakarta, baik oleh pemerintah maupun swasta. Mayoritas ialah membangun toilet umum atau fasilitas MCK (mandi, cuci, dan kakus) untuk wilayah permukiman padat yang warganya tidak bisa memiliki tangki septik pribadi. Di samping itu, juga ada bantuan pembangunan IPAL di sebelah MCK.
Bagi rumah-rumah pribadi juga ada bantuan revitalisasi tangki septik oleh Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah Jaya. Tangki yang diproduksi tahun 2017 ke atas telah memiliki Standar Nasional Indonesia dengan pengolahan limbah yang lebih lanjut.
Menurut dia, ada pula program kerja sama dengan koperasi sehingga masyarakat bisa mencicil pembayaran tangki terbaru. Di permukiman padat bisa dibuat tangki septik komunal yang diletakkan di ujung gang. Penyedotannya tidak dengan truk, tetapi sepeda motor khusus setiap dua hingga tiga tahun sekali.
”Momok masyarakat adalah pada istilah ’sedot tinja’. Mereka terbayang hal horor tinja mentah seperti yang mengapung di kali. Padahal, di dalam tangki septik ada proses penguraian anaerob atau tanpa oksigen. Tinja menjadi lumpur yang tidak berbau setelah dua tahun, lalu disedot dan dibuang ke instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT),” ujar Rositayanti.
Dalam penelitiannya, sudah ada pemudahan akses sedot tinja dengan cara mengontak Dinas Kebersihan untuk menjadwalkan penyedotan. Cara ini memastikan bahwa residu tangki septik yang disedot benar-benar dibawa ke IPLT, bukan dibuang ke sungai.
Peneliti Puslit Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi menerangkan kajiannya terkait pembangunan 34 IPAL komunal di Jakarta lewat pendanaan dari Islamic Development Bank. Temuannya ialah warga menganggap proyek tersebut dan revitalisasi tangki septik itu invasif. Alasannya ialah harus membongkar kakus untuk dipasangi pipa ke tangki komunal.
Bagi rumah yang memiliki tangki sendiri umumnya terletak di bawah lantai, ada juga di halaman belakang sehingga jika hendak direvitalisasi atau dipasangi pipa aliran ke IPAL komunal akan mengeluarkan biaya serta mengganggu kenyamanan masyarakat.
”Warga belum memandang jauh ke depan mengenai dampak kesehatan dan lingkungannya karena mereka berpikir biaya yang dikeluarkan untuk merombak rumah sudah memberatkan. Masalah ini yang perlu pendekatan lama untuk membujuk warga. Dari sisi teknologi, IPAL sebenarnya bisa dibangun dalam skala kecil, termasuk diletakkan di dalam gang dan atasnya ditutupi sehingga bisa dipakai lalu lalang. Penyedotan juga cuma empat hingga lima tahun sekali,” ujarnya.
IPAL komunal di Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan, yang diteliti Rusli, misalnya, ukurannya 1,5 x 10 meter dan berada di dalam gang. Di atasnya ditutupi lembaran beton yang bisa dibuka dan masih bisa dipakai sebagai jalanan. IPAL itu terdiri atas beberapa bak penyaringan. Hasil akhirnya ialah air limbah berubah menjadi air dengan baku mutu lingkungan dan bisa dilepas ke selokan.
Masalah berikutnya kesadaran memelihara IPAL dan tangki komunal. Ciri khas permukiman padat di Jakarta ialah dihuni penduduk musiman yang hanya tinggal beberapa bulan. Mereka sulit diajak menyumbang dana perawatan fasilitas, karena tidak menganggap memiliki. Apalagi, beberapa IPAL membutuhkan pompa untuk mengeluarkan air olahan ke drainase sehingga ada biaya listrik juga.
”Uang sumbangan dari warga sering tidak bisa menutupi biaya operasional dan perawatan. Memang perlu dicari skema subsidi yang bisa menutupi kekurangan biaya,” katanya.