Konten Digital Berbayar Kaya Manfaat Masih Sepi Peminat
Ada 22 persen responden menilai kualitas konten berbayar lebih baik dibandingkan yang gratisan. Berlangganan konten berbayar mengurangi paparan berita bohong, konten yang bersifat clickbait, dan beragam gangguan lainnya.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati, Litbang Kompas
·4 menit baca
Transformasi digital yang terjadi lebih cepat daripada dampak pandemi Covid-19, menjadi berkah positif dengan naiknya penggunaan teknologi berbasis internet. Konsumsi di ruang digital, baik untuk mencari hiburan, informasi, maupun edukasi, sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Tak mengenal usia dan merambah semua kalangan, baik di kota maupun di desa.
Perkembangan pengguna internet di Indonesia pun terus meningkat secara signifikan. Merujuk pada laporan Indonesia Digital 2021 yang dirilis oleh We are Social dan Hootsuite, 74 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Ini menandakan besarnya pasar konten digital yang berpotensi menjangkau dan dapat dinikmati oleh lebih dari 202 juta audiens di berbagai penjuru negeri.
Kecanggihan teknologi telah melahirkan banyak bentuk turunan konten digital yang memberikan kenyamanan serta keamanan dalam mengakses konten yang dibutuhkan. Konten digital berbayar mencoba menjawab kebutuhan tersebut, tetapi belum mampu mencuri hati masyarakat Indonesia. ”Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar?”, begitu pertanyaan klasik yang sering muncul.
Hal ini menjadi tantangan pasar konten digital di Indonesia yang terbilang masih rendah. Pendapatan yang bersumber dari pelanggan atau audiens belum kuat kontribusinya. Laporan hasil survei Pricewaterhouse Coopers (PwC) yang berjudul Global Entertainment and Media Outlook: 2017–2021 Indonesia Data Insights menyebutkan bahwa bisnis hiburan dan media digital di Indonesia mayoritas ditopang oleh belanja iklan, yaitu sebesar 61 persen.
Peran audiens dalam mendukung perekonomian konten digital di Indonesia hanya menyumbang 19 persen. Angka ini terbilang rendah apabila dibandingkan dengan lingkup Asia Tenggara (31 persen), atau di tingkat global yang mencapai 41 persen.
Hiburan paling laku
Gambaran tersebut selaras dengan hasil Jajak Pendapat Kompas yang memotret minat masyarakat berlangganan konten digital, yang tergolong masih rendah. Jajak pendapat mengungkap hanya dua dari 10 responden yang mengaku berlangganan konten digital.
Kendati demikian, dinamika konsumsi konten berbayar audiens di Indonesia menarik untuk dicermati. Secara garis besar, jenis konten digital dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu hiburan, informasi, serta edukasi.
Melalui jajak pendapat, ditemukan paling banyak responden berlangganan layanan video on demand (VoD), seperti Netflix, Iflix, Disney+, dan HOOQ yang mencapai 55 persen. Disusul dengan music streaming (42 persen) yang di antaranya disediakan oleh Spotify, Joox, Deezer, dan sebagainya.
Pada urutan ketiga terdapat layanan belajar atau kursus daring seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper yang memperoleh porsi pelanggan 36 persen. Di urutan terakhir (18 persen) terdapat portal berita berbayar, seperti Kompas.id, Kumparan+, Tempo.co, The New York Times, dan media sejenis lainnya.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa konten hiburan masih merajai pasar dibanding dengan jenis informasi dan edukasi. Terkait terpenuhinya kebutuhan akan hiburan dan informasi ini, diakui enam dari 10 responden jajak pendapat sebagai alasan utama berlangganan konten digital. Konteks terpenuhinya kebutuhan merujuk pada keamanan, kenyamanan, serta kepraktisan mengakses konten yang dibutuhkan.
Ketika menginginkan hiburan, maka akan membuka aplikasi VoD atau music streaming. Kemudian apabila hendak mengakses informasi atau layanan edukasi, langsung membuka aplikasi yang menyediakan konten sesuai kebutuhan.
Mencari konten digital dengan berselancar di peramban tidak selalu efektif dan aman. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka berlanggan karena ingin membatasi akses informasi untuk anak-anak. Misalnya menyediakan hiburan berupa VoD dengan memanfaatkan penyaring konten untuk anak.
Dari sisi kenyamanan, sekitar 19 persen responden mengaku lebih nyaman ketika mengakses konten digital berbayar karena tidak terganggu iklan. Sementara 22 persen responden menilai kualitas konten berbayar lebih baik dibandingkan yang gratisan. Mengurangi paparan berita bohong, konten yang bersifat clickbait dan beragam gangguan lainnya.
Kemampuan berlangganan
Sayangnya, kemauan audiens Indonesia untuk membayar nilai lebih dari sebuah hasil karya yang diaksesnya terbilang masih rendah, tetapi dilihat dari tingkat kemampuan membayarnya patut diperhitungkan. Hasil jajak pendapat menunjukkan, terdapat 46 persen responden yang pengeluaran berlangganan konten digitalnya ada pada rentang Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per bulan. Mereka berasal dari berbagai kalangan status sosial ekonomi.
Sebanyak empat dari 10 responden pelanggan konten hiburan, jenis video dan musik, berada pada status sosial ekonomi menengah bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa berlangganan konten hiburan dapat dijangkau oleh kalangan menengah bawah.
Hal yang menarik muncul dari pelanggan konten edukasi, empat dari 10 responden berasal dari kelas bawah. Hal ini bisa jadi didorong oleh program Kartu Prakerja yang membukakan akses terhadap layanan edukasi berbasis daring. Pelanggan konten edukasi ini juga terpantau meningkat saat pandemi. Pelanggan dari generasi Y (milenial) dan generasi X yang lebih tinggi di antara kelompok generasi lainnya juga bisa menjadi ceruk pasar potensial.
Seperti peribahasa ada harga ada rupa, manfaat dan nilai lebih yang ditawarkan dari konten digital berbayar yang sudah mulai dilirik masyarakat Indonesia ini menjadi tantangan penyedia konten mengatur strategi agar pengguna mau merogoh koceknya untuk mendapat konten yang dibutuhkan.