Masyarakat Indonesia Masih Jadi Sekadar Penikmat Konten Digital
Jumlah pendapatan menggiurkan dari hasil konten kreatif tidak serta merta diimbangi dengan jumlah pengguna di Indonesia yang dengan serius membuatnya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sebatas menjadi konsumen di dunia digital. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana yang produktif belum dioptimalkan.
Media internet dan media sosial awalnya hadir sebagai sarana jejaring komunikasi sesama pengguna dan hiburan. Namun, kini kehadirannya juga mampu menjadi sarana bisnis atau usaha yang memberikan keuntungan bagi pengguna. Misalnya, pengguna dapat memasarkan produk usaha mereka atau membentuk citra diri (branding image) dari konten kreatif yang dibuatnya.
Di dunia Youtube, sosok Felix Arvid Ulf Kjellberg atau dikenal sebagai “PewDiePie” adalah pembuat konten kreatif asal Swedia yang dari awal merintis karirnya di Youtube sejak 2010. Alasan awal dirinya membuat konten kreatif di Youtube ialah untuk menyalurkan hobi bermain gim sekaligus membiayai hidupnya dari hasil monetisasi Youtube.
Merujuk pada Social Blade, situs statistik para pembuat konten, PewDiePie menempati posisi keempat pelanggan terbanyak di Youtube dengan jumlah 109 juta pelanggan dan 21 miliar penonton untuk keseluruhan videonya. Dengan capaian tersebut, PewDiePie diperkirakan meraih untung dari monetisasi sekitar 600 ribu dollar AS atau setara Rp 864 juta tiap bulan. Pendapatan ini belum meliputi pendapatan pribadi yang didapat dari pengiklanan di akun media sosial lain miliknya.
Tak heran, pendapatan fantastis itu turut mengundang warganet di seluruh dunia untuk menjadi pembuat konten kreatif, termasuk di Indonesia. Untuk segmen Youtube di Indonesia, posisi teratas untuk pelanggan terbanyak diisi oleh Atta Halilintar dengan jumlah 26,6 juta pelanggan. Sedangkan di posisi kedua ada Ria Yunita dengan akun “Ricis Official” dengan jumlah 24,6 juta pelanggan.
Di kanal Youtube dan TikTiok yang berbasis audio visual, para pengguna dapat membuat konten video dan mengkonversinya menjadi nominal uang sesuai ketentuan tiap platform. Hal ini berbeda dengan kanal Instagram, Facebook, atau Twitter.
Ketiga platform tersebut memungkinkan pengguna berkreasi dengan produk visual atau narasi saja, seperti foto, meme, dan cerita berangkai (utas). Misalnya, seorang fotografer profesional dapat memuat hasil jepretan mereka di Instagram serta memberikan tips atau trik seputar fotografi.
Namun, jumlah pendapatan menggiurkan dari hasil konten kreatif tidak serta merta diimbangi dengan jumlah pengguna yang dengan serius membuatnya. Sekalipun ada pengguna yang membuatnya, motivasi mereka hanya sekadar mengisi waktu luang atau hiburan saja. Peluang mendapatkan pundi-pundi keuntungan di media intenet dan media sosial belum secara serius dilirik masyarakat.
Hasil Survei Internet 2019 – 2020 yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan baru sekitar 32,9 persen pengguna menggunakan intenet untuk mendukung pekerjaan. Hal senada juga muncul dari perilaku penggunaan media sosial.
Masih minim
Masih minimnya masyarakat Indonesia tertarik menggeluti dan membuat konten kreatif digital juga terlihat dari hasil survei Kompas pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021. Survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia menemukan sebagian besar responden (85,2 persen) mengaku tidak pernah membuat konten kreatif di akun media sosial mereka.
Dalam responden yang pernah membuat, tidak semuanya berorientasi untuk mencari keuntungan. Hanya 16 persen responden saja yang mengaku membuat konten kreatif untuk menghasilkan uang dan 10 persen responden menjawab untuk promosi komersial (endorse). Misalnya, dengan memajang produk jualan, membangun citra diri (branding image), atau mengiklankan produk dengan kerja sama tertentu.
Dari pertanyaan yang sama, sebanyak 51,4 responden mengaku membuat konten tersebut hanya untuk mengisi waktu luang dan kebosanan. Lalu, 44,7 persen responden menjawab hanya sekadar narsis atau publikasi dan konsumsi pribadi. Dengan begitu, dapat diindikasikan bahwa mayoritas pengguna media sosial masih menggunakannya sebatas untuk kebutuhan hiburan, memamerkan kegiatan pribadi, atau berinteraksi dengan sesama pengguna.
Kendati hasil survei Kompas menyoroti jumlah peminat pembuat konten kreatif yang masih sedikit, nyatanya ada beberapa pihak yang sudah mencoba memanfaatkan peluang digital ini. Beberapa kreator konten tumbuh berkembang di Youtube. Hingga September 2020, terdapat 19 channel dari Indonesia yang mendapat lebih dari 10 juta subscribers (Diamond button) dan 600 channel yang mendapat lebih dari 1 juta subscribers (Gold button).
Untuk memperluas munculnya kreator lain di Youtube, sejumlah kreator bahkan memberikan tutorial bagi pengguna lain untuk dapat membuat suatu konten kreatif. Sebagai contoh, kanal Youtube “Daunnet Films” yang dikelola ole Anjas Maradita, menyajikan sejumlah tips dan pedoman untuk membuat konten audio visual yang kreatif.
Lebih luas dari pembuatan konten kreatif, ada sejumlah perusahaan rintisan yang mencoba membuat aplikasi dan dapat diunduh secara gratis. Jenis aplikasi yang dibuat seperti aplikasi pesan instan, aplikasi gim, atau aplikasi kesehatan. Misalnya untuk aplikasi pesan instan, setidaknya ada tiga aplikasi yang telah dibuat perusaan rintisan lokal, yaitu Catfiz Messenger, liteBIG Messenger, atau PeSankita.
Namun demikian, aplikasi buatan lokal menemui tantangan untuk bersaing dengan aplikasi dari luar negeri yang sudah lebih dulu hadir dan digunakan oleh pengguna telepon pintar di Indonesia. Sebagai perbandingan, berdasarkan Google Playstore, aplikasi liteBIG Mesenger diunduh oleh 35.641 pengguna. Hasil ini jauh lebih sedikit daripada aplikasi Whatsapp yang telah diunduh 132,2 juta pengguna.
Perlu dukungan
Persaingan dengan kreator dunia menjadi tantangan yang dihadapi kreator lokal. Tantangan lain yang dihadapi pelaku ekonomi kreatif adalah modal. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan, sebanyak 92,37 persen pelaku usaha ekonomi kreatif di Indonesia masih menggunakan dana sendiri untuk modal usahanya.
Oleh sebab itu, baik di skala personal (akun pribadi) maupun perusahaan rintisan, diperlukan dukungan dari pemerintah atau investor untuk memaksimalkan potensi digital ini. Indonesia memiliki potensi digital yang perlu digali baik dari aspek, ekonomi maupun pengguna digital.
Hingga September 2020, terdapat 19 channel dari Indonesia yang mendapat lebih dari 10 juta subscribers
Berdasarkan catatan dari We Are Social dan Hootsuite, pengguna internet di Indonesia hingga Januari 2021 mencapai 202,6 juta pengguna. Jumlah pengguna media sosial juga tidak kalah besar yaitu mencapai 170 juta pengguna.
Potensi masyarakat digital Indonesia ini bukan hanya muncul dari besaran jumlahnya, tapi juga aktivitasnya dalam menggerakkan jempol di ponsel mereka. Fenomena pembicaraan perseteruan di dunia catur “Dewa_Kipas” dan mundurnya tim nasional bulu tangkis Indonesia dari All England 2021 menjadi gambaran keterlibatan warganet di media sosial.
Selain dari jumlah pengguna dan aktivitasnya, potensi digital Indonesia juga muncul dari sisi ekonomi. Sektor ekonomi kreatif telah menyumbang 5,1 persen terhadap total PDB Indonesia pada 2019 dan menyerap 19,01 juta orang tenaga kerja. Nilai tambah ekonomi kreatif ditargetkan meningkat dari Rp 1.157 triliun pada 2020 menjadi Rp. 1.641 triliun pada 2024.
Beragam potensi tersebut menjadi upaya menggali makin banyaknya kreator di Indonesia. Dukungan nyata dari pemerintah perlu ditegaskan dalam hal ini untuk mengangkat semangat para pekerja kreatif dan kreator konten.
Ini perlu diperhatikan karena selepas dileburnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) ke dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, belum terlihat program-program yang menyokong para pembuat konten kreatif atau perusahaan rintisan. Buktinya, dalam Rencana Strategis Kemenparekraf/Baparekraf 2020-2024, rancangan dibobotkan pada penguatan pariwisata dan ekonomi kreatif di seputar promosi pariwisata. (LITBANG KOMPAS)