Masyarakat dalam Jeratan Rentenir ”Normal Baru”
Kesulitan mencari uang hingga kehilangan pekerjaan selama pandemi mengikis kesejahteraan warga. Demi tetap melangsungkan hidup, berutang tidak jarang dipilih. Pinjaman daring, termasuk yang ilegal, menjadi jalan keluar
Kesulitan mencari uang hingga kehilangan pekerjaan selama masa pandemi menggoyahkan iman banyak warga dalam mengelola keuangan. Demi tetap melangsungkan hidup, berutang tidak jarang dipilih sebagai cara instan.
Mulyadi (55), salah satu pedagang kaki lima lumpia di kawasan Jalan Suryakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, tidak ingin hidup dalam jerat utang, apalagi hidup dalam bayang ancaman preman penagih utang yang galak. Namun, ia tak bisa menghindari kondisi ekonomi yang begitu memukul karena pandemi Covid-19.
Berbagai kebijakan normal baru dengan pengetatan mobilitas oleh pemerintah membuat usahanya merugi. Meski saat ini sudah ada pelonggaran dan bertahap penjualannya sedikit meningkat, ia masih harus membayar utang kepada bank keliling.
Jasa bank keliling itu dasarnya menawari pinjaman dengan sistem daring seperti jasa pembiayaan daring. Namun, mereka juga menawarkan layanan pinjaman konvensional yang memudahkan pedagang kecil, seperti Mulyadi. Pinjaman daring ini makin dikenal publik dalam 1-2 tahun terakhir. Masyarakat biasa menyebutnya pinjaman online alias pinjol.
”Bayangkan penghasilan saya bisa berkurang 60-50 persen, bahkan lumpia yang tak laku terjual pernah dibuang karena basi. Makanya, saya terus pinjam ke bank keliling,” ujar pria yang sudah 15 tahun berjualan lumpia itu, Selasa (19/10/2021).
Mulyadi mengatakan, dirinya mampu melunasi pinjaman pertama dan kedua karena berbunga rendah. Namun, pada pinjaman berikutnya, bunganya meningkat. Ia sempat yakin bisa mengembalikan pinjaman, tetapi malang, pandemi Covid-19 dan kebijakan pengetatan mobilitas yang berkepanjangan membuatnya terperangkap.
”Saya pinjam Rp 2 juta, yang saya dapat Rp 1,8 juta, dan harus mengembalikan sebanyak Rp 2,3 juta. Jika tidak bisa mengembalikan, ternyata saya dapat denda kelipatan. Dari pinjaman ketiga itu saya berutang Rp 2,6 juta,” tutur Mulyadi.
Tidak mau hidup seperti ini. Setiap hari cemas banyak pikiran. Saya harap pedagang kecil seperti kami ini dapat perhatian dan perlindungan.
Kendati belum bisa membayar, Mulyadi kembali meminjam untuk keempat kalinya sekitar Rp 3 juta. Ia kembali meminjam untuk kelima dan keenam kali dengan utang sekitar Rp 5 juta. Untuk meringankan beban itu, Mulyadi terpaksa menjual sepeda dan televisi di rumahnya.
Mulyadi mengaku kapok meminjam dan berutang. Ia sesekali mendapat ancaman dari penagih yang mendatanginya langsung meski tidak dengan aksi kekerasan. Bagaimanapun, ancaman itu membuatnya takut.
”Tidak mau hidup seperti ini. Setiap hari cemas banyak pikiran. Saya harap pedagang kecil seperti kami ini dapat perhatian dan perlindungan,” katanya.
Ancaman pinjaman daring
Berutang melalui rentenir atau pemberi pinjaman uang tidak resmi atau resmi dengan bunga tinggi juga terpaksa dipilih Bondan. Hal ini dipermudah dengan bantuan jasa pinjaman daring.
Namun, kegagalan membayar utang dan teror penagihan utang oleh penyedia pinjaman daring membuat pria, yang kini bergantung pada kursi roda karena mengalami pembengkakan kaki, itu mengalami tekanan psikis.
Situasi ini bermula setelah pria kelahiran 1977 itu kehilangan pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi karena dampak pandemi. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia menjalankan usaha warung kelontong di rumahnya.
Baca juga : Satgas Waspada Investasi: Tetap Waspada, Pinjol Tidak Akan Bisa Habis
Namun, satu hari, Bondan jatuh sakit hingga harus menguras tabungannya. Sementara usaha warung kelontong tidak menghasilkan banyak pemasukan, tuntutan berobat membuat ayah beranak satu itu rela menjual aset keluarga di kampung halaman.
”Suatu hari, ia berinisiatif berutang ke pinjol. Awalnya masih sanggup bayar, enggak ada niat untuk mengemplang. Tapi, karena pola peminjamannya gali lubang tutup lubang, habislah uangnya. Kerjaan enggak ada, hidup hanya dari warung kelontong,” tutur Abdul Gofar, konsultan hukum Depok Law Firm, yang kini mendampingi Bondan.
Saat dihubungi Selasa (19/10/2021), Gofar menyebut, enam bulan terakhir Bondan berutang pada 30 aplikasi pinjaman daring. Sebanyak 12 di antaranya adalah aplikasi legal, sementara sisanya ilegal. Dari sekitar Rp 50 juta yang didapat melalui beragam aplikasi pinjaman tersebut, ia harus melunasi pinjaman yang berbunga hingga Rp 100 juta.
Bondan keteteran melunasi sebagian besar utangnya. Keterlambatan pelunasan pun berbuah teror dari penagih utang. Para penagih tidak hanya mengontak Bondan secara langsung lewat telepon. Mereka juga tak segan menagih utang melalui orang lain di buku telepon Bondan, yang terekam melalui aplikasi.
”Mereka sebar pesan pemberitahuan di broadcast Whatsapp, yang ditambahi foto diri dan swafoto dengan KTP. Pesan itu disebarkan ke ratusan kontak orang lain,” katanya.
Bantuan hukum
Teror tersebut membuat Bondan kemudian meminta bantuan konsultasi hukum kepada Gofar pada September lalu. Tidak cukup dengan konsultasi, Bondan juga meminta pendampingan psikis dan hukum secara khusus.
Saat ini, Gofar mengambil alih kontak telepon pribadi Bondan yang disimpan para penagih utang. Ia ikut membantu memulihkan reputasi Bondan kepada kontak orang-orang di buku telepon kliennya. Ini dilakukan dengan menyebarkan surat elektronik berisi permintaan maaf, dibarengi dengan surat kuasa dan surat penanganan hukum.
”Kami juga bisa mendampingi beliau untuk melapor polisi jika dibutuhkan, untuk menguatkan narasi bahwa nomor teleponnya disalahgunakan untuk pinjaman online dan sebagainya. Kami berharap ini bisa membangun kekuatan dalam menghadapi masalah ini,” kata pria yang telah menangani banyak kasus debitor pinjaman daring sejak 2018.
Secara hukum, ia menilai, penyedia pinjaman daring baik legal maupun ilegal menjerat masyarakat karena mematok bunga melebihi ambang batas yang ditetapkan negara. Jika debitor tidak mampu membayar utang, mereka tidak bisa dipidanakan walau ada laporan. Ini diatur dalam Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai gantinya, perusahaan pembiayaan bisa memberi catatan hitam pada debitor. Dengan demikian, debitor yang gagal bayar tidak lagi bisa mengajukan pinjaman dari penyedia jasa peminjaman dan perbankan lainnya.
Meski aturannya sudah ada, penyedia jasa peminjaman legal maupun ilegal, disebut Gofar, kerap menagih utang dengan cara yang meresahkan. Salah satunya, penagihan dilakukan tanpa batas waktu. Padahal, ketika debitor tidak bisa melunasi utang lebih dari tiga bulan atau 90 hari, penyedia jasa teknologi finansial tidak bisa lagi melakukan penagihan.
Ini ditetapkan dalam kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang juga mengatur bahwa denda yang dikenakan maksimal 100 persen dari total pokok pinjaman.
Baca juga : Ancam Debitor dengan Pornografi, Kantor Pinjol di Jakarta Utara Digerebek Polisi
Keresahan lain adalah teror atau ancaman penagihan utang, yang kerap disebar kepada pihak lain di luar pengutang. Ini bisa dilakukan, terutama oleh penyedia jasa pinjaman daring ilegal, dengan mencuri atau menyalahgunakan daftar kontak telepon dan data pribadi lainnya. Padahal, cara itu bisa disanksi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Cara penagihan dengan kekerasan bahkan ancaman pornografi juga sering dilakukan para penagih utang. Jika sudah demikian, bukan hanya ketakutan tidak bisa membayar utang, pengutang pinjaman daring juga akan menderita beban mental yang berlipat ganda.
”Jadi, perlu sekiranya pemegang otoritas serta penegak hukum mengambil sikap dengan fenomena, yang membuat banyak korban berjatuhan dengan beban psikologis yang berat. Ini perlu ditanggapi dengan revisi peraturan, pengawasan oleh otoritas terkait, dan pemberian sanksi pidana sebagai efek jera,” ujarnya.