”Manusia Silver”, Masalah Sosial Berbalut Seni Jalanan
Manusia ”silver” semakin banyak di perempatan jalan, pasar, dan pusat keramaian sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Bagian dari isu sosial yang butuh penanganan tepat, bukan sekadar ditertibkan dari sudut jalan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY/AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Jagat maya geger setelah viralnya foto seorang bayi bercat perak dan diajak mengemis bersama orang dewasa berlumur cat serupa di kawasan SPBU Parakan, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Satuan Polisi Pamong Praja Tangerang Selatan menelusuri kabar itu hingga menemukan bayi malang berinisial MFA yang berusia 10 bulan dan ibunya. Saat ini keduanya sudah berada di Balai Rehabilitasi Sosial Melati, milik Kementerian Sosial di Jakarta Timur.
Selepas temuan itu Satpol PP Tangsel menggelar razia di Perempatan Muncul, Pamulang, Gaplek, Rempoa, Bintaro, dan Alam Sutera. Terjaring 19 ”manusia silver”, pengemis di jalanan yang berciri khas mengecat hampir seluruh tubuhnya dengan cat warna perak. Ke-19 orang itu terdiri dari 14 orang dewasa dan 5 anak berusia 3 hingga 14 tahun.
Sebanyak enam orang mengantongi KTP Tangsel sehingga dibawa ke dinas sosial. Sementara manusia silver lainnya dibawa ke Balai Rehabilitasi Sosial Melati.
”Pendapatan sehari Rp 80.000 sampai Rp 300.000. Itu selama 3 jam keliling,” kata Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Tangsel Muksin Al-Fachry, Rabu (29/9/2021).
Mereka banting setir sebagai manusia silver dari pekerjaan sebelumnya sebagai pemulung, sopir angkot, dan pedagang kaki lima. Itu sebagai jalan baru mencari rezeki.
Manusia silver di Tangsel biasanya bekerja dari pukul 15.00 hingga pukul 20.00. Selama itu mereka menahan panasnya cat percak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak jarang panas menimbulkan gangguan kulit seperti terkelupas, ruam, dan bentol.
Pascarazia, tak tampak manusia silver di keramaian. Salah satunya di perempatan Jalan Raya Pondok Betung yang menghubungkan Bintaro dan Ciputat. Saban hari akses jalan itu ramai oleh kendaraan roda dua, roda empat, dan jalur pejalan kaki dari dan ke Stasiun Pondok Ranji. Belum lagi letaknya yang dekat dengan Bintaro Plaza dan Graha Bintaro.
”Kami akan terus memantau dan razia supaya masalah sosial, seperti manusia silver, ini bisa tertangani,” katanya.
Kepala Dinas Sosial Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman mengatakan, belakangan memang marak pengemis berkedok manusia silver di ruang publik, pasar, dan perempatan jalan. Umumnya mereka bukan warga Tangsel sehingga ditangani oleh Kementerian Sosial seusai penertiban atau penangkapan.
”Mereka sudah tidak bisa beroperasi di Jakarta sehingga minggir sedikit ke wilayah penyangga. Mereka juga sering pindah dari satu titik ke titik lain agar tidak kena razia,” ucapnya.
Dinas Sosial Tangsel telah mendata manusia silver hasil razia satpol PP. Mereka diminta menandatangani surat pernyataan agar tidak kembali ke jalanan. Jika melanggar dan terkena razia, mereka bakal dikenai sanksi tindak pidana ringan berupa kurungan empat bulan karena mengganggu ketertiban umum.
Di sisi lain warga diimbau beramal melalui lembaga penyalur bantuan resmi ketimbang memberikan uang kepada pengemis atau peminta-minta. Sebab, simpati bisa memicu daya tarik karena bisa meraup uang ratusan ribu rupiah dalam sehari.
”Kami pantau dan monitor untuk cegah terjadinya eksploitasi anak atau mempekerjakan anak. Kalau mereka ber-KTP Tangsel, kami kedepankan rehabilitasi sosial supaya mampu bangkit dan mandiri,” ujarnya.
Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2020 mencatat 40.990 keluarga miskin atau 2,29 persen di Tangsel. Dari jumlah itu Dinas Sosial Tangsel menjangkau 7.512 keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan, 12.000 keluarga penerima bansos pangan, dan 83.000 keluarga penerima bansos tunai.
Pendekatan kemanusiaan
Komisi Nasional Perlindungan Anak mendata, ada 189 keluarga di Jakarta dan 200 keluarga di Depok, Jawa Barat, yang mengandalkan pekerjaan sebagai manusia silver untuk mengemis di ruang publik.
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, mereka terdata sebagai keluarga karena melibatkan orangtua dan anak, termasuk anak balita, sebagai manusia silver. Fenomena tersebut meningkat akibat kesulitan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.
”Mereka banting setir sebagai manusia silver dari pekerjaan sebelumnya sebagai pemulung, sopir angkot, dan pedagang kaki lima. Itu sebagai jalan baru mencari rezeki,” ucapnya.
Arist menyayangkan pelibatan anak, khususnya anak balita, sebagai manusia silver untuk mendapatkan uang seperti di Tangsel. Sebab, itu bentuk kekerasan terhadap anak dan kejahatan kemanusiaan yang merendahkan martabat anak.
”Kegagalan pemerintah dan masyarakat yang tak mampu menjawab masalah sosial baru. Harus dicari solusinya melalui pendekatan kemanusiaan dan akar masalah yang menjadi penyebabnya,” katanya.
Komnas Perlindungan Anak menyarankan pemerintah daerah ataupun pusat tidak semata melakukan penertiban atau razia hingga sanksi pidana ringan. Justru sebaiknya mengalokasikan dan memberikan pelayanan sosial kemanusian yang cukup memadai.