Entah sampai kapan mereka berlari? Demi bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan, mereka manusia silver akan ada di jalanan meski dikejar petugas Satpol PP dan bahaya zat kimia dari cat sablon mengintai mereka.
Oleh
Aguido Adri
·6 menit baca
Rizal Saputra (24), yang sedang berteduh dari guyuran hujan di warung kecil, tiba-tiba berlari panik menjauh dari kejaran petugas satuan polisi pamong praja yang merazia kawasan bundaran Pantung Pemuda Membangun dan Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/5/2020). Bukan kali itu saja Rizal harus berlari dari kejaran petugas. Bahkan, sejak sekitar umur 8 tahun ia sudah berlari untuk menyelamatkan diri agar tetap bertahan hidup.
Bagi Rizal, satu dari sekian banyak ”manusia silver” yang banyak ditemukan di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, hari-hari yang ia lalui seperti sebuah perlombaan lari. Meski tak tahu kapan harus berhenti, ia terus berlari, menolak kalah, menyerah, dan terus akan berjuang demi orang tersayang.
Masih membekas dalam ingatan Rizal, 16 tahun yang lalu, ia berlari kencang panik menyelamatkan diri dari terjangan tsunami yang meluluhlantahkan tanah kelahirannya, Aceh, pada 2004. Akibat bencana alam itu ratusan ribu jiwa meninggal termasuk ayah, ibu, dan keluarganya yang lain.
Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Rizal kecil hidup sebatang kara dalam ketakutan dan kesedihan di posko pengungsian. Ia merasa kesepian dan merindukan orangtua. Hingga kemudian sang nenek datang menjemput dan membawanya ke Jakarta.
”Bahkan sampai sekarang saya masih rindu ayah dan ibu. Nah, saat nenek jemput dan tinggal Jakarta saya kira bakal disekolahkan, ternyata dipaksa mengamen, kalau enggak mau dihukum. Beberapa kali pernah lari kabur saat di jalan ngamen, tapi enggak pernah berhasil ketangkap mulu sama nenek atau temannya. Bahkan kalau di rumah kaki dirantai sama nenek,” kenang Rizal.
Rizal terpaksa menuruti neneknya menjadi pengamen hingga ia berusia sekitar 19 tahun. Ia mulai bosan hidup di jalanan dan tidak bisa menikmati uang hasil mengamen karena harus disetor kepada neneknya. Sampai akhirnya, ia berkenalan dengan seorang mekanik motor dan bersedia mengajari Rizal cara memperbaiki motor. Bekal itu menjadi awal Rizal keluar dan lari dari kerasnya kehidupan jalanan.
Setelah memiliki cukup kemampuan memperbaiki motor, ia memberanikan diri untuk melamar kerja di bengkel motor. Meski beberapa kali lamarannya ditolak karena tak memiliki ijazah SMK, ia tak patah semangat, akhirnya ada satu bengkel di Slipi, Jakarta Barat, menerimanya sebagai mekanik motor.
Hidup Rizal perlahan membaik. Ia bisa mengontrak sebuah rumah kecil di Kalideres, Jakarta Barat, cukup menafkahi istri dan tiga orang anak, serta membantu kebutuhan harian neneknya. Namun, itu tidak berlangsung lama, pertengahan tahun 2019, pemilik bengkel terpaksa menutup usahanya. Sejumlah karyawan termasuk Rizal terpaksa tidak bisa melanjutkan pekerjaan.
Sejak saat itu, Rizal menjadi pengemudi ojek daring. Namun, belum setahun menjalani profesi itu, wabah Covid-19 menyerang Jakarta. Semua sektor termasuk ojek daring terdampak dan terpukul akibat pandemi Covid-19. Penghasilan Rizal jauh turun drastis. Bahkan pernah dalam beberapa hari tak ada pundi rupiah yang masuk ke kantongnya. Situasi tersebut membuatnya bingung karena ia tetap harus memenuhi kebutuhan harian keluarga.
”Tanpa mikir lagi, karena anak dan istri harus makan, saya harus turun ke jalan lagi mengamen dan sudah satu bulan ini jadi manusia silver. Sebenarnya enggak mau karena capek dan harus lari-larian dari satpol PP. Tapi demi keluarga harus turun ke jalan lagi,” kata Rizal.
Selama satu bulan menjadi manusia silver, Rizal harus menahan gatal dan panas di tubuhnya karena bahan yang menempel sekucur tubuhnya menggunakan cat sablon dicampur minyak tanah dan minyak sayur. Dua minyak ini digunakan agar tampak berkilau dan tak mudah luntur oleh keringat atau hujan. Dalam seminggu Rizal bisa menghabiskan dua sampai tiga botol berukuran sekitar 50 mililiter cat sablon. Satu botol cat sablon ia beli seharga Rp 20.000-Rp 30.000.
”Saya tahu yang menempel di tubuh bahaya. Ini mengandung zat kimia. Tubuh saya saja sampai bintik-bintik begini. Tapi ini tetap saya lakukan demi bisa beli kebutuhan harian dan bayar kontrakan,” kata Rizal, yang mengaku belum pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah.
Rizal mengaku lebih memilih menjadi pengamen daripada manusia silver. Namun, sejak pandemi Covid-19 dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) banyak warung sepi pengunjung. Hal itu membuat pundi rupiah yang masuk kantong juga sangat sedikit.
Sementara dalam sehari menjadi manusia silver dari pukul 13.00 hingga pukul 20.00, Rizal bisa menghasilkan sekitar Rp 50.000 hingga 100.000, bahkan jika beruntung ia bisa dapat Rp 150.000. Manusia silver di masa seperti ini lebih menguntungkan daripada mengamen biasa.
Namun, hingga pukul 20.15 kotak uang bertulis patung berjalan milik Rizal baru terisi Rp 33.200. Ia hanya diam memandangi kotak itu. Guyuran hujan dari sore sampai malam membuat kotaknya tak terisi banyak seperti hari biasanya.
Tak hanya itu, patroli dan razia oleh satpol PP ada Senin sore di sekitar kawasan bundaran Patung Pemuda Membangun dan Senayan, Jakarta Pusat, membuat Rizal dan beberapa temannya sesama manusia silver, pengamen serta penjual tisu, berlari panik dari kejaran petugas. Hampir satu jam Rizal dan kawan-kawan bersembunyi agar tak tertangkap petugas.
Setelah petugas satpol pp pergi dan situasi dirasa aman, Rizal dan kawan-kawan datang kembali berkumpul di sekitar persimpangan lampu merah Senayan City. Mereka masih waswas jika petugas kembali datang. Benar saja, sekitar sejam kemudian suara sirine mobil polisi membuat Rizal dan kawan berlari bersembunyi.
”Paling repot itu kalau razia gabungan polisi, TNI, dan satpol PP. Personel jadi banyak. Beberapa minggu ini sering banget razia pagi sore malam,” kata Rizal bergetar kedinginan karena kehujanan dan embusan angin.
Demi beli susu
Nasib serupa juga dialami Riko Pratama (21), pengamen yang beralih profesi menjadi manusia silver sejak wabah virus Covid-19 merebak di Jakarta.
Pria asal Palembang, Sumatera Selatan, itu datang ke Jakarta 12 tahun lalu mengikuti ibunya untuk mengadu nasib. Sejak saat itu, ia membantu ibunya berjualan koran sembari mengamen di jalan hingga saat ini.
”Saya lulus SD, enggak ada keahlian lain. Waktu itu mau lanjut ke SMP, sekolah sampai tinggi, tapi ibu enggak ada biaya. Ya sudah mengamen saja dan sekarang jadi manusia silver. Lebih baik begini yang penting halal daripada jadi pencopet,” kata Riko
Riko mengaku tak ingin selamanya menghabiskan hidup dijalan menjadi pengamen atau manusia silver yang membahayakan tubuhnya. Jika ada kesempatan dan biaya, ia ingin mengikuti ujian kesetaraan paket B (SMP) dan paket C (SMA), atau mengikuti pelatihan untuk mengasah keterampilannya. Namun, hingga Riko menikah dan punya anak berumur sekitar lima bulan, ia belum bisa mewujudkan keinginannya.
”Setelah berkeluarga ternyata beban tanggungan hidup tambah berat, terutama untuk beli susu anak. Biar enggak boros susu saya dan istri kasih air tajin (beras),” kata Riko.
Demi memenuhi kebutuhan harian dan susu anak, Riko pun kerap bekerja hingga pukul 22.00. Meski begitu, uang yang ia peroleh kadang hanya sekitar Rp 50.000, terutama ketika hujan dan razia satpol PP.
Di saat seperti itu, Riko hanya bisa pasrah. Ia pun tak kuasa untuk menyalahkan petugas satpol PP. ”Mereka kerja, sudah tugasnya seperti itu. Saya juga bekerja, untuk hidup. Dijalani saja, asal jangan sampai ketangkap oleh petugas,” kata Riko.
Terkait pekerjaannya, Riko menepis pandangan sebagian orang yang beranggapan manusia silver ada yang mengoordinasi aksi.
”Tidak benar, saya lakukan ini karena saya butuh uang untuk anak dan kebutuhan harian. Saya lakukan sendiri tanpa paksaan atau disuruh orang, jadi tidak ada istilah setoran,” kata Riko.
Keadaan ekonomi memaksa Rizal dan Riko harus berjuang keras hidup di jalanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun tak ingin menghabiskan hidup di jalan berpanas-panasan, kedinginan, dan berlari dari kerja petugas ketertiban masyarakat.
Namun, selama kebutuhan harian kurang dan belum tercukupi mereka akan bertahan di jalan dalam kejaran para petugas. Entah sampai kapan mereka terus berlari?