Polisi Dorong Mediasi Terkait Aduan Pencemaran Nama Baik Luhut
Meski sudah mulai diselidiki, polisi membuka peluang mediasi daripada pemidanaan. Luhut Binsar Pandjaitan tetap mengutamakan jalur hukum.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya mulai memeriksa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait laporan dugaan pencemaran nama baik, Senin (27/9/2021). Meski sudah mulai diselidiki, polisi membuka peluang mediasi daripada pemidanaan.
Purnawirawan jenderal tersebut datang sekitar pukul 08.30 untuk diperiksa penyidik di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, dan selesai satu jam kemudian. Pemeriksaan dilakukan untuk menindaklanjuti laporan yang dilayangkan Luhut pada 22 September.
Juniver, selaku kuasa hukum Luhut, menyebut, kliennya juga menyerahkan 12 barang bukti. Hal yang dilampirkan, di antaranya, flashdisk berisi video Youtube yang jadi bukti pernyataan tidak benar dan pencemaran nama baik.
”Laporan polisi yang kemarin dibuat oleh beliau tentang adanya cuitan yang ada di akunnya saudara HA tentang adanya video Youtube HA. Ini yang dilaporkan. (Dugaannya) berita bohong, fitnah di media elektronik sesuai dengan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Undang-Undang ITE serta Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus.
Terlapor yang dimaksud adalah Haris Azhar selaku Direktur Lokataru, sebuah lembaga sipil yang bergerak di bidang hukum dan HAM. Haris mengunggah video berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” di akun Youtube pribadinya pada 20 Agustus 2021.
Dalam video tersebut, aktivis HAM sekaligus Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ikut berdiskusi dengan Haris. Keduanya membahas jejak Luhut dalam proyek Blok Wabu di Intan Jaya, Papua. Fatia pun ikut dilaporkan karena perkara tersebut.
Yusri menyampaikan, polisi akan mengagendakan pemanggilan terlapor dalam proses penyelidikan tersebut secepatnya. Namun demikian, polisi akan berupaya mengikuti arahan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, untuk mengedepankan mediasi sebagai bentuk restorative justice.
Arahan itu tertuang dalam surat edaran, yang dikeluarkan 19 Februari. Surat itu bernomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
"Ini kita akan tunggu. Mudah-mudahan, kalau bisa alhamdulillah. Kalau enggak bisa, kita akan tingkatkan lagi prosesnnya sesuai mekanisme," pungkasnya.
Sementara itu, Luhut masih akan mengutamakan jalur hukum untuk membuktikan siapa yang bersalah dan benar di pengadilan. Hal ini dikedepankan karena sebelumnya Luhut sudah memberi kesempatan terlapor untuk meminta maaf dua kali pada 26 Agustus dan 2 September 2021.
”Ini saya kira penting, jadi pembelajaran untuk semua jangan sembarang ngomong. Jangan berdalih hak asasi manusia atau kebebasan berekspresi yang membuat orang lain jadi susah, enggak boleh gitu,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, ia juga menegaskan dirinya tidak terlibat dalam bisnis tambang di Papua tersebut. Atas dugaan tuduhan dan pencemaran nama baik tersebut, Luhut juga menuntut terlapor untuk membayar Rp 100 miliar.
”Nanti saya bisa kasihkan (uangnya) untuk orang-orang yang membutuhkan di Papua atau di tempat lain, kan, banyak,” imbuhnya.
Sementara itu, Fatia dan tim advokasinya mencari perlindungan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis (23/9). Sejumlah hal disampaikan untuk membantah aduan Luhut, di antaranya temuan penelitian yang dilakukan Kontras dan sejumlah organisasi masyarakat sipil bahwa ada kepentingan politik-militer di Blok Wabu, Papua.
Selain itu, mereka melaporkan hasil penelitian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan dugaan konflik kepentingan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam proyek Invermectin.
Tim advokasi meminta kepada Komnas HAM untuk mendalami ancaman pemidanaan akibat publikasi hasil riset yang dilakukan oleh aktivis. Selain itu, dugaan pelanggaran HAM, khususnya kebebasan berekspresi dan berpendapat.
”Kami meminta kepada Komnas HAM untuk memberikan perlindungan kepada aktivis karena apa yang mereka sampaikan basisnya adalah penelitian yang ditujukan kepada pejabat publik,” kata Andi Muhammad Rezaldy, pengacara Fatia (Kompas.id, 23/9/2021).