Bruder Angelo Didakwa Melanggar UU Perlindungan Anak
Setelah tertunda lebih dari satu tahun, akhirnya Bruder Angelo dibawa ke persidangan dan didakwa melanggar Pasal 82 Ayat 2 UU Perlindungan Anak. Ia terancam hukuman minimal 3 tahun hingga maksimal 15 tahun penjara.
Oleh
AGUIDO ADRI
·6 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Setelah minggu lalu ditunda karena kuasa hukum terdakwa tidak hadir, sidang perdana secara daring dengan pembacaan dakwaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo kepada anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Perumahan Mutiara, Depok, Jawa Barat, digelar di Pengadilan Negeri Depok, Rabu (22/9/2021).
Sidang perdana itu dipimpin majelis hakim yang terdiri dari Ahmad Fadil, Fauzi, dan Andi Musyafir. Adapun jaksa penuntut umum yang membacakan dakwaan ialah AB Ramadhan. Bruder Angelo didakwa melanggar Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pasal 82 tersebut menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta.
Sebagai pendamping korban, saat ini proses hukum berjalan baik dan benar.
Sidang kedua akan berlangsung pada 6 Oktober 2021 dengan agenda jawaban atau eksepsi dari penasihat hukum terdakwa.
Kuasa hukum korban Ermelina Singereta mengatakan, pembacaan dakwaan Pasal 82 Ayat 2 UU Perlindungan Anak bagi Bruder Angelo itu adalah terhadap kasus satu anak yang mereka dampingi.
Meski mengharapkan hukum maksimal, Ermelina bersama sesama kuasa hukum korban, Judianto Simanjuntak, memilih lebih fokus pada proses peradilan ketimbang fokus memikirkan dakwaan hukuman minimal hanya 3 tahun.
Mereka sepenuhnya menyerahkan keputusan kepada hakim. Mereka yakin, hakim akan melihat aspek lain sehingga hukuman bisa saja lebih dari 3 tahun atau bahkan sampai 15 tahun.
”Target kami bukan soal hukumannya meski hukuman minimal 3 tahun itu tidak adil terutama bagi korban. Namun, sebagai pendamping korban, saat ini proses hukum berjalan baik dan benar,” ujarnya seusai sidang.
Menurut Ermelina, sidang Bruder Angelo menjadi sejarah di Indonesia karena pelaku yang ditandakutipkan sebagai biarawan dari sebuah institusi bisa dibawa ke proses peradilan.
”Itu sesuatu yang sangat luar biasa dan terobosan luar biasa yang dilakukan aparat penegak hukum,” lanjutnya.
Ermelina melanjutkan, sembari menjalani proses persidangan, pihaknya akan memikirkan kemungkinan langkah selanjutnya untuk membuat laporan terkait pengurus Panti Asuhan Kencana Bejana. Ia menduga pengurus panti asuhan mengetahui peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak-anak itu.
”Kita fokus pada persidangan ini. Tetapi tidak menutup langkah tindakan dengan laporan pembiaran yang dilakukan oleh petugas panti sebelumnya. Itu yang kami pikirkan saat ini, apakah akan membuat laporan lagi terhadap orang lain itu,” tuturnya.
Selain itu, Ermelina juga berharap kasus kekerasan seksual di panti asuhan menjadi perhatian serius oleh Kementerian Sosial dan jajaran terkait di bawahnya. Ia meminta Kementerian Sosial dan dinas sosial untuk mengevaluasi perizinan, dokumen, bahkan menginvestigasi pengelola panti asuhan yang dinilai bermasalah.
”Jangan sampai di tempat perlindungan anak justru terjadi kekerasan dalam bentuk apa pun. Kasus-kasus seperti Bruder Angelo jangan sampai terulang di panti asuhan anak lainnya. Panti asuhan harus dikelola secara baik dan benar menjadi tempat aman bagi anak-anak. Semoga ini menjadi perhatian Kementerian Sosial dan lembaga negara lainnya dalam upaya perlindungan anak-anak kita,” katanya.
Judianto melanjutkan, catatan penting lainnya yang perlu diperhatikan ialah dalam pengungkapan kasus kekerasan kepada anak khususnya kekerasan seksual tidak hanya kasus Bruder Angelo, tetapi kasus serupa lainnya tidak lagi lambat dan terkesan dipersulit. Padahal, kasus yang menimpa anak-anak harus segera diproses dan jaminan perlindungan harus maksimal terutama dalam hal hak hukum.
”Semuanya harus melalui pendekatan cara pikir anak. Hukum pun seperti itu pendekatannya, tidak bisa sama dengan kasus atau proses hukum lainnya. Ini penting karena anak-anak ini masa depan yang harus mendapat perlindungan,” kata Judianto.
Seperti pada kasus Bruder Angelo, proses dari awal laporan hingga persidangan memakan waktu hampir dua tahun. Pihak penasihat menduga, ada sejumlah anak yang menjadi korban. Hanya saja, keberadaan anak lainnya saat ini tidak diketahui.
Kasus dugaan kekerasan seksual yang terungkap pada 13 September 2019 ketika sejumlah korban melaporkan kejadian itu ke Polres Depok tidak berlanjut karena berkas penyidikan tidak lengkap. Kepolisian akhirnya tidak bisa melanjutkan kasus ke tingkat pengadilan. Bruder Angelo yang ditangkap polisi pun hanya ditahan tiga bulan. Ia bebas pada 9 Desember 2019.
Sampai saat itu, Bruder Angelo, yang juga dijuluki ”kelelawar malam” oleh para korbannya masih bebas berkeliaran. Bahkan, ia membuka panti lagi dan hidup bersama anak-anak di bawah umur.
”Oleh karena itu, kami membuka kembali kasus ini. Kami buat laporan pada 7 September 2020. Ini tidak hanya bentuk perlindungan kepada korban, tetapi juga menghindari ada korban lain. Pada laporan pertama, kami belum menjadi pendamping anak-anak. Namun, pada laporan kedua, kami jalan dan dinyatakan P-12 (kasus penyelidikan kasus lengkap) oleh Kejaksaan Negeri Depok dan dilimpahkan ke PN Depok untuk sidang,” kata Ermelina.
Namun, untuk sampai P-12, lanjutnya, banyak tantangan yang harus dijalani, seperti pandemi dan mengumpulkan sejumlah bukti untuk kelengkapan berkas. Akhirnya, setelah membuat laporan, Polres Metro Depok bergerak melanjutkan pemeriksaan Bruder Angelo.
Keberlanjutan pemeriksaan hingga berlanjut ke sidang, ujar Ermelina, tidak lepas dari dukungan lapisan lembaga dan masyarakat untuk membawa kasus ini secara serius. Tidak hanya sebagai perlindungan hukum, tetapi juga perlindungan masa depan anak-anak korban kekerasan seksual.
”Sekali lagi, ini menjadi momentum dari sisi hukum. Kita tidak bisa membiarkan siapa pun dia, dari lembaga apa pun, proses hukum harus berjalan,” lanjut Ermelina.
Diberitakan sebelumnya (Kompas.id, 14 April 2021), Inspektur Dua Tulus Handani selaku perwakilan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Depok mengatakan, kepolisian telah mendapatkan petunjuk dari hasil visum yang diduga menjadi korban Angelo.
Hasil visum menunjukkan luka pada anus korban. Atas dasar luka tersebut, polisi kembali memeriksa korban di Panti Handayani yang dikelola Kementerian Sosial. Namun, korban tidak bisa menjelaskan penyebab luka tersebut. Korban juga mengaku lupa terkait luka itu.
”Dia cuma bilang luka gatal. Kami beri pemahaman, dia bilang lupa dan tidak tahu. Kami sudah koordinasi untuk minta pendampingan psikologis, khusus untuk menggali keterangan korban. Sebab, luka itu pastinya ada kekerasan lagi, entah karena ada pelaku lain atau karena alasan lain. Kami masih dalami kasus ini,” kata Tulus.
Ia melanjutkan, salah satu kasus dugaan kekerasan seksual yang dilaporkan kepada kepolisian terjadi di dalam angkutan saat Angelo mengantar 6-9 anak panti asuhan untuk potong rambut. Kejadian kedua, dugaan kekerasan seksual terjadi di kamar mandi di warung makan pecel lele. Selain di dua tempat itu, sejumlah anak asuh di Panti Asuhan Kencana Benjana Rohani diduga mengalami peristiwa serupa.
”Kejadian kedua setelah potong rambut, korban bersama sopir dan anak asuh lainnya geser ke pecel lele. Pelaku izin ke penjual untuk mencari kamar mandi. Korban yang di angkot itu dicabuli lagi di kamar mandi,” kata Tulus.