Usut dan Tindak Tegas Pemicu Longsor Rumpin
Pemerintah sudah seharusnya tidak abaikan suara masyarakat, apalagi membiarkan perusahaan yang merusak lingkungan. Sebab, melalaikan sama saja membiarkan kejahatan itu sendiri.
Ancaman banjir dan longsor masih mengintai masyarakat warga di Kampung Ciater dan Kampung Jati Nunggal, Desa Cipinang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di kawasan kedua kampung itu, kejadian longsor menerus terjadi. Dalam satu bulan terakhir, longsor berawal dari rentetan runtuhan kecil yang bermula sejak Selasa (3/8/2021).
Pada Jumat (10/9/2021), terjadi longsor besar yang menyebabkan tiga rumah rusak berat dan belasan rumah lainnya rusak ringan. Sebanyak 17 keluarga atau 93 warga terpaksa mengungsi. Longsor juga menyebabkan jalan akses utama antara Kampung Ciater dan Kampung Jati Nunggal terputus.
Pada Senin (13/9/2021), masih terjadi longsor susulan. Kejadian itu membuat sejumlah warga berlari menyelamatkan diri. Selain mengakibatkan kerusakan sejumlah rumah, warga juga kini merasa terancam dengan potensi longsor susulan. Apalagi retakan tanah juga semakin besar.
Rusdi (45), salah satu warga yang terdampak, mengaku panik saat longsor besar pada Jumat subuh. Apalagi saat itu gelap sehingga ia tidak tahu seberapa parah longsor.
”Terbangun dengar ada suara gede. Langsung mikir itu longsor karena sebelumnya ada longsor kecil, lalu keluar rumah selamatkan diri dan keluarga. Lari menjauh pokoknya,” kata Rusdi yang kini mengungsi.
Menurut dia, longsor terjadi tidak hanya karena faktor hujan, tetapi juga kerusakan alam sekitar dari aktivitas tambang batu. Berbatasan dengan kawasan kedua kampung itu adalah lahan tempat beroperasinya perusahaan tambang batu andesit.
”Perusahaannya sudah lama, tahun 1990-an, 1992 atau 1995 kalau tidak salah. Nah, sebelum kejadian longsor besar Jumat itu, sehari-dua hari sebelumnya masih ada aktivitas tambang. Itu, kan, bahaya ya, karena sebelumnya sudah ada longsor kecil-kecil. Beberapa kali ada getaran,” katanya.
Investigasi izinnya, kaji akar permasalahan bencana, hingga memastikan pemulihan lingkungan dan keselamatan warga. Perlu langkah hukum atas peristiwa di Rumpin agar ada efek jera.
Ia menambahkan, sebelum longsor, perusahaan sedang membuat sebuah tanggul di bibir tebing yang berbatasan langsung dengan kampung dan tempat aktivitas tambang. Namun, belum selesai pemasangan tiang pancang di tebing curam itu, longsor sudah meluluhlantakkan kawasan sisi barat kedua kampung.
”Kami berharap ada keseriusan siapa saja, pemerintah dan perusahaan memerhatikan kondisi di sini. Kami tidak pernah merusak lingkungan, tapi yang terdampak,” lanjut Rudi yang juga berharap ada perhatian berupa bantuan perbaikan rumah bagi warga terdampak longsor.
Pengamat sosial politik dan kebijakan publik dari Institut Teknologi dan Bisnis Visi Nusantara Bogor, Yusfitriadi, menjelaskan, setiap terjadi banjir dan longsor tidak bisa dilihat karena faktor fenomena alam seperti hujan semata. Akan tetapi, di sebagian lokasi, ada pula faktor kuat aktivitas galian tambang. Oleh karena itu, perlu ada upaya langkah terukur dan tegas guna mengatasi dampak negatif usaha galian tambang dari hulu sampai hilir.
”Mau sampai kapan mengambinghitamkan alam? Sekarang hujan sedikit menimbulkan ancaman bencana. Ini perlu dilihat lebih dalam. Ini tidak hanya terjadi di Rumpin, tetapi terjadi juga di wilayah lain di Bogor, seperti Nanggung dan Cigudeg,” kata pria yang akrab disapa Yus, Selasa (14/9/2021).
Faktor manusia atau aktivitas yang merusak lingkungan dan perubahan fungsi ruang yang tidak terencana sekaligus tidak selaras dengan alam sekitar berdampak buruk bagi keselamatan warga. Jika itu terus dibiarkan, kata Yus, warga akan hidup terus dalam ancaman bencana yang disebabkan oleh manusia.
Baca juga : Warga Masih Mengungsi, Khawatirkan Banjir Susulan Sungai Cidurian
Terkait aktivitas tambang galian C di Desa Cipinang, menurut Yus, pemerintah harus melihat dan meniventarisasi lagi izin usaha tambang perusahaan tersebut. Hal itu perlu dilakukan karena longsor di Rumpin mengindikasikan ada permasalahan dalam analisis dampak linkungan (amdal) dan langkah perusahaan pasca-penambangan.
”Harus dilihat dari awal lagi, apakah aktivitas tambang batu di Rumpin sudah cocok dengan tata ruang atau tata kotanya. Lihat juga amdalnya, ini harus diuji tingkat daya rusak dan keramahan lingkungannya. Jika tingkat rusak kuat, seharusnya amdal tidak akan keluar atau hentikan izinnya. Selanjutnya, pasca-tambang, lingkungan yang sudah tereksploitasi itu kelanjutan seperti apa. Wilayah bekas galian tambang seharusnya menjadi geopark. Jika izin semua itu bermasalah, tidak boleh lagi ada aktivitas. Jelas sudah membahayakan warga sekitar,” kata Yus.
Menurut Yus, jika sebuah perusahaan tambang mengikuti aturan perizinan serta mengikuti konsep amdal dan pasca-tambang, tidak mungkin ada longsor seperti di Rumpin. Penanganan oleh perusahaan dan pemerintah jangan berhenti pada penanganan di hilir seperti bantuan logistik dan hunian sementara. Namun, perlu ada langkah berkelanjutan penanganan hingga ke hulu.
Dari beberapa peristiwa bencana di Kabupaten Bogor, Yus menilai, baik Pemrov Jawa Barat maupun Pemkab Bogor belum cukup serius menangani penanggulangan bencana yang disebabkan oleh aktivitas tambang. Upaya investigasi yang melibatkan ahli pun dinilai sangat kurang. Padahal, banyak temuan atas dugaan kerusakan lingkungan karena aktivitas tambang sehingga menyebabkan banjir dan longsor.
”Investigasi izinnya, kaji akar permasalahan bencana, hingga memastikan pemulihan lingkungan dan keselamatan warga. Ini yang masih belum kuat saat ini. Perlu langkah hukum atas peristiwa di Rumpin agar ada efek jera. Jika itu tidak ada dan aktivitas tambang terus berlangsung, artinya kita akan hidup dalam ancaman bencana,” kata Yus.
Selain itu, pemerintah daerah juga perlu merilis atau mempublikasikan nama perusahaan yang mengeksploitasi lingkungan tanpa izin. Bahkan, merilis perusahaan tambang yang merusak lingkungan, membahayakan warga, perusahaan yang akan dicabut izin usahanya, atau perusahaan yang sudah melakukan perbaikan pasca-penambangan atau yang belum.
Selain itu, kata Yus, sudah menjadi tanggung jawab pelaku usaha tambang mereboisasi atau memulihkan kembali kondisi lingkungan setelah operasi tambang, bertanggung jawab menangani warga terdampak, hingga memperbaiki infrastruktur yang rusak akibat aktivitas tambang.
Terkait perbaikan infrastruktur pun tak boleh sembarang dilakukan. Jika tidak ada kajian terhadap potensi kebencanaan tetap akan membahayakan warga sekitar. Yus menilai, perusahaan dan pemerintah harus terlibat dalam penanggulangan dan penanganan potensi bencana.
Seperti yang saat ini terjadi, ada pengerjaan pembukaan dan perbaikan jalan yang putus akibat longsor. Pengerjaan itu justru di lokasi yang sama dengan lokasi longsor.
”Ini kan bahaya. Karena masih ada potensi longsor. Makanya perlu ada tim yang mengkaji itu. Tidak asal bangun dan perbaiki. Perlu dilihat juga sisi kerawanan kebencanaanya,” lanjutnya.
Pakar ilmu hukum lingkungan Universitas Parahiyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, melanjutkan, pemerintah daerah harus turun menginvestigasi dugaan-dugaan perusahaan tambang yang menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga menyebabkan bencana banjir atau longsor.
Ia menilai, kejadian bencana di Jawa Barat, termasuk di Kabupaten Bogor, belum tersentuh upaya penanggulangan secara maksimal. Beberapa hal yang menyebabkan penanggulangan tidak maksimal, seperti tidak ada pengawasan yang intens dan efektif serta kelalaian pemerintah daerah untuk rutin melakukan audit terhadap perusahaan tambang.
”Jikapun ada pemeriksaan, ada kompromi dari oknum aparat sehingga tidak sampai pada upaya tindakan tegas seperti sanksi hukum. Padahal, dengan kondisi curah hujan tinggi sangat bahaya untuk warga. Ini berisiko betul jika dibiarkan bisa menjadi ancaman bencana yang lebih besar,” tuturnya.
Menurut dia, sejumlah upaya komunitas atau pemerhati lingkungan sudah sering kampanye, bahkan aksi nyata agar pemerintah serius menangani kerusakan lingkungan. Suara korban bencana pun terus digaungkan demi mendapat perhatian lebih. Namun, semua itu tergantung dari pemda masing-masing mau serius atau tidak melihat tekanan dari masyarakat itu.
Suara atau aksi dari elemen masyarakat tidak boleh ditanggapi dengan tindak represif dari aparat penegak hukum, dari pemerintah atau pihak perusahaan dan siapa pun. Aksi penyampaian aspirasi masyarakat tidak boleh direspons dengan pemrosesan hukum, baik di ranah perdata maupun pidana.
”Pemerintah sudah seharusnya tidak abaikan suara masyarakat, apalagi membiarkan perusahaan yang merusak lingkungan. Sebab, membiarkan dan melalaikan sama saja membiarkan kejahatan itu sendiri. Kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan itu. Entah melalui program perbaikan reboisasi, apalagi ini kasusnya sudah jelas ada dampak masif kerusakannya. Tindak tegas perusak lingkungan,” katanya.
Pemetaan
Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pusdalops BNPB) sudah menerjunkan tim untuk memetakan potensi bencana dan wilayah terdampak tanah longsor di Desa Cipinang.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menjelaskan, tim Pusdalops BNPB sejak Minggu (12/9/2021) memotret kawasan itu menggunakan drone. Jika dilihat lanskap dari kawasan terdampak, pemanfaatan ruang kawasan menjadi permasalahan utama.
Galian tambang yang melebar hingga ke batas permukiman membuat lereng tebing galian setinggi sekitar 40 meter tidak stabil meskipun telah ditambahkan tiang pancang sebagai penguat. Kaidah-kaidah keteknikan dalam penguatan lereng tidak terlihat di lapangan sehingga bencana longsor terjadi dan merusak sebagian kawasan permukiman.
”Foto udara dibutuhkan untuk memetakan potensi bahaya longsor susulan yang bisa dipicu oleh curah hujan lebat dan berdurasi panjang. Adanya retakan tanah di sekitar permukiman warga akibat longsor yang terjadi meningkatkan potensi risiko longsor susulan jika tidak ada langkah-langkah antisipasi,” kata Abdul Muhari dalam keterangan tertulis.
Berdasarkan analisis peringatan dini gerakan tanah dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada September 2021, Kecamatan Rumpin termasuk wilayah dengan potensi menengah hingga tinggi dan ada potensi terjadi banjir bandang.
Penambangan ini berizin. Kami sudah meminta kepada pihak penambang agar bertanggung jawab untuk merelokasi warga dan pembukaan jalan warga yang terputus akibat longsor ini.
BNPB mengimbau agar pemerintah daerah bersama pengelola usaha pertambangan dapat segera melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan, terutama untuk menjamin keselamatan masyarakat yang berada di kawasan yang masih berpotensi longsor selama musim hujan.
Bupati Bogor Ade Yasin menyatakan sudah mengunjungi Desa Cipinang yang terdampak lokasi longsor. Sejumlah bantuan kebutuhan logistik juga sudah tersalurkan untuk warga yang terdampak.
”Longsoran tebing itu terjadi akibat kontur tanah di lokasi yang labil. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya aktivitas tambang di lokasi kejadian. Hujan deras yang mengguyur lokasi juga memperburuk kondisi,” kata Ade.
Baca juga : Ingatan Banjir Bandang Cidurian yang Mengkhawatirkan Warga
Ia meminta kepada pengelola tambang agar bertanggung jawab atas longsor yang terjadi karena tidak hanya menyebabkan longsor, tetapi akses jalan utama warga putus.
”Penambangan ini berizin. Kami sudah meminta kepada pihak penambang agar bertanggung jawab untuk merelokasi warga dan pembukaan jalan warga yang terputus akibat longsor ini. Segera merelokasi warga yang terdampak. Ini bertujuan untuk mengantisipasi potensi longsor susulan terjadi mengingat kontur tanah di lokasi sangat labil dan sering kali diguyur hujan,” tuturnya.