Penurunan muka tanah di Jakarta pada periode 2011-2018 berkurang karena ada upaya menekan penggunaan air tanah. Namun, perlu adaptasi dan mitigasi lebih komprehensif untuk mencegah Jakarta terendam air laut.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Jakarta terancam tenggelam. Kalimat itu mungkin belum menjadi perhatian sebagian besar penduduk Ibu Kota. Padahal, banyak informasi fakta dan riset yang sudah menyuarakan ancaman tersebut dengan memperhitungkan berbagai macam faktor.
Organisasi nonpemerintah Forum Ekonomi Dunia mendaftarkan Jakarta sebagai kota yang paling berpotensi tenggelam pada 2050 dengan penurunan permukaan tanah hingga 6,7 inci atau 170 sentimeter (cm) per tahun karena pemompaan air tanah yang berlebihan. Organisasi lingkungan global Greenpeace Asia Timur bahkan memprediksi potensi itu bisa terjadi lebih dini.
Berdasarkan laporan mengenai kenaikan permukaan laut yang ekstrem dan banjir pesisir di tujuh kota besar di Asia tahun lalu, Jakarta disebut menghadapi ancaman ganda dari kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah. Ini dapat terjadi lebih cepat ketika banjir 10 tahunan terjadi pada 2030.
Prediksi ini juga disinggung Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, akhir Juli lalu. Dalam pidato sambutan di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, ia menyinggung Arktik di Kutub Utara yang kian menghangat bersama ancaman tenggelamnya sebagian kawasan pesisir utara Jakarta akibat kenaikan muka air laut.
Jika laju penurunan tanah terus dapat dikurangi, proyeksi nilai area di bawah permukaan laut juga akan berkurang, tidak mencapai 4 meter
Pemanasan global yang meningkatkan risiko kenaikan permukaan air laut serta ekstremitas iklim yang bisa memicu hujan intensitas tinggi dan banjir menjadi momok bagi Jakarta yang penuh masalah. Selain berkurangnya area resapan tanah, penurunan tanah di bawah permukaan laut yang saat ini sudah mencapai 14,43 persen dan diprediksi meluas sampai 28,33 persen wilayah Jakarta pada 2050.
Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta Yusmada Faizal, dalam webinar berjudul ”Jakarta The Sinking City”, Kamis (2/9/2021), ada tiga hal yang mengancam Jakarta. Pertama luapan air dari sungai, kedua air yang turun dari langit, dan ketiga masuknya air dari laut.
Untuk menahan ancaman-ancaman tersebut, ia menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak terkait lainnya telah mengeluarkan dan melakukan berbagai kebijakan dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan tersebut, antara lain, pembangunan tanggul pantai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) sebagai salah satu kegiatan strategis daerah Pemprov DKI Jakarta.
Lalu, pembangunan sistem polder, seperti pompa, pintu air, dan waduk. Membangun sistem pemantauan penurunan muka tanah dan rob dalam rangka pengambilan keputusan untuk strategi mitigasi dan pengembangan wilayah pesisir. Termasuk peningkatan pelayanan air bersih perpipaan sebagai substitusi pemakaian air tanah.
”Dari data laju penurunan tanah hasil pengukuran, dapat dilihat bahwa pada periode 1997-2011 ada beberapa laju mencapai 20 cm per tahun. Sementara itu, pada periode 2011-2018 terdapat pengurangan laju. Yang dulunya ada 20 cm, periode itu sudah tidak ada lagi karena kita mulai dengan memastikan suplai air perpipaan dan mengendalikan penggunaan air tanah,” katanya.
Pernyataan itu didasarkan pada data pengukuran di delapan titik pesisir di Jakarta Utara. Daerah Muara Baru mencatatkan penurunan tanah 20 cm pada periode 1997-2011, lebih tinggi dari Cilincing yang hanya 3 cm per tahun. Adapun pada periode 2011-2018, penurunan tanah di Muara Baru berkurang hanya 12 cm per tahun dan Cilincing bertahan di angka 3 cm per tahun.
Secara ketinggian permukaan tanah, daerah Muara Baru pada 2020 sudah 1 meter di bawah permukaan laut dan Cilincing 10 cm di bawah permukaan laut. Sementara itu, pada 2050, tinggi permukaan tanah Muara Baru diperkirakan turun sampai 4,6 meter di bawah permukaan laut dan Cilincing turun hingga 1 meter di bawah laut.
”Jika laju penurunan tanah terus dapat dikurangi, proyeksi nilai area di bawah permukaan laut juga akan berkurang, tidak mencapai 4 meter,” lanjutnya.
Senada, Pulung Arya Pranantya dari Balai Litbang Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada kesempatan sama, mengatakan, solusi antisipasi adaptif untuk bersinergi dengan kondisi yang ada perlu dilakukan.
Solusi itu, antara lain, pembuatan tanggul pantai dan pembuatan tanggul sungai. Solusi ini terjawab dengan pembangunan proyek tanggul laut NCICD-Integrated Flood Safety Plan. Proyek itu memiliki komponen perlindungan banjir, penyediaan air bersih, pengendalian penurunan muka tanah, peningkatan kualitas air, revitalisasi kawasan pesisir, dan tanggul laut terbuka.
”Pemerintah sudah melakukan beberapa upaya adaptif dan mitigatif secara terintegrasi untuk menyelesaikan masalah, terutama terkait penurunan tanah ini,” ujar Pulang.
Selain solusi adaptif, solusi dengan pendekatan mitigatif guna mengendalikan perilaku manusia, menurut dia, juga perlu dilakukan. Upaya ini salah satunya dikerjakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kardono dari Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim KLHK menilai, DKI Jakarta sudah banyak melakukan adaptasi mitigasi di tingkat tapak lewat Program Kampung Iklim (Proklim). Ada 87 Proklim di Jakarta dengan titik terbanyak di Jakarta Barat dengan total 26 Proklim.
Proklim adalah program nasional inisiatif KLHK dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menguatkan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca.
”Aksi proklim, walau kecil, kalau dilakukan di banyak tempat akan bisa berdampak luar biasa. Isu perubahan iklim ini juga menjadi masalah lintas sektor yang memerlukan koordinasi kuat, termasuk dengan mengatasi kesenjangan literasi masalah iklim ini,” katanya.
Program ini diharapkan juga menyadarkan peran daerah lain untuk mengantisipasi perubahan iklim dan perilaku yang bisa mendatangkan bencana Jakarta tenggelam, tidak hanya oleh air laut, tetapi juga air hujan. Bencana banjir 2020 yang banyak menggenangi Jakarta di bagian selatan, menurut dia, menjadi bukti bahwa ancaman bencana perubahan iklim tidak hanya mengancam daerah pesisir.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dan segenap pemangku kepentingan, sejauh ini, diakui Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Heri Andreas. ”Jakarta mulai lebih serius tahun lalu kalau yang saya cermati,” katanya.
Namun, manajemen risiko bencana, khususnya di pesisir Jakarta, dinilai belum optimal. Hal ini ditengarai dari belum paripurnanya regulasi, yang akhirnya berdampak terhadap tugas pokok dan fungsi, program, serta anggaran.
Menurut Heri, upaya manajemen risiko bencana perlu dioptimalkan dengan membuat sistem pengawasan dan sistem peringatan dini yang bagus. Lalu, memetakan risiko bencana dengan lebih pasti serta melakukan upaya adaptasi dan mitigasi yang tepat dengan manajemen air dan tanah.
”Terlepas dari kondisi yang ada, belumlah telat untuk kita mengoptimalkan manajemen risiko bencana di Jakarta,” pungkasnya.