KPI Periksa Tujuh Pegawai Terduga Pelaku Perundungan
Hasil pemeriksaan akan disampaikan jika investigasi internal KPI sudah rampung. Apabila terbukti terjadi perundungan, KPI berkomitmen memberi tindakan tegas pada pelaku
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Penyiaran Indonesia sudah memeriksa tujuh pegawainya terkait dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang dialami MSA.
MSA yang juga seorang pegawai KPI sebelumnya menulis surat terbuka terkait kejadian yang menimpanya. Dalam surat terbuka itu, ia menuliskan nama delapan orang terduga pelaku yang kerap melakukan perundungan dan pelecehan seksual terhadapnya.
”Kami membentuk tim investigasi untuk klarifikasi kepada para pihak yang ditulis saudara MSA. Kami sudah panggil 7 dari 8 orang yang menjadi terduga pelaku,” kata Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah dalam konferensi pers di Polres Metro Jakarta Pusat, Kamis (2/9/2021), kemarin.
Saat itu dia lagi kerja di ruang kerjanya, didatangi terlapor ada 5, yaitu RM, FP, RT, EO, dan CL. Kelima terlapor masuk ruang kerja, lalu tiba-tiba langsung memegang badan, lalu melakukan hal yang tidak senonoh.
Namun Nuning belum mau mengungkapkan hasil pemeriksaan terhadap tujuh pegawainya tersebut. Ia beralasan proses investigasi saat ini masih terus berjalan.
Hasil pemeriksaan akan disampaikan jika investigasi internal sudah rampung. ”Apabila terbukti terjadi perundungan, kami berkomitmen memberikan tindakan tegas kepada pelaku,” kata Nuning.
Selain KPI, kepolisian juga mulai merespons serius laporan perundungan dan pelecehan seksual yang dialami MSA, karyawan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI Pusat di Jakarta. Korban dugaan kasus tersebut melapor pernah mengalami pelecehan pada tahun 2015 yang berdampak gangguan psikis dan fisik.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Kamis (2/9/2021), menyampaikan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat mendatangi karyawan KPI Pusat berinisial MSA pada Senin malam. Pelapor laki-laki itu diminta membuat laporan.
”Tadi malam (Rabu, 1 September), pukul 23.30, Saudara MSA didampingi Komisioner KPI sudah membuat laporan polisi dengan persangkaan Pasal 289 KUHP dan Pasal 281 KUHP juncto Pasal 335 KUHP,” kata Yusri di Gedung Humas Polda Metro Jaya, Jakarta.
Dalam keterangan awalnya, MSA membenarkan adanya dugaan pelecehan seksual. Kejadian itu terjadi pada 22 Oktober 2015 di tempat kerjanya di daerah Kecamatan Gambir.
”Dia melaporkan, saat itu dia lagi kerja di ruang kerjanya, didatangi terlapor ada 5, yaitu RM, FP, RT, EO, dan CL. Kelima terlapor pada saat itu masuk ruang kerja, lalu terlapor tiba-tiba langsung memegang badan, lalu melakukan hal yang tidak senonoh, mencoret-coret (alat kelamin),” katanya.
Dalam keterangan awal Rabu malam, pelapor mengaku tidak pernah membuat rilis yang telah beredar di media. MSA juga tidak pernah melapor ke Polsek Gambir. Adapun polisi masih akan menyelidiki kasus itu dengan memeriksa pelapor, mengklarifikasi kelima terlapor, termasuk menelusuri pembuat rilis.
Penasihat hukum MSA, Mualimin, saat dihubungi membenarkan MSA telah membuat laporan ke Polres Jakarta Pusat, Rabu malam. MSA datang bersama Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah.
Berbeda dengan keterangan Yusri, Mualimin mengatakan, MSA pernah melapor ke Polsek Gambir, tetapi tidak ditanggapi dengan alasan tidak memiliki cukup bukti. Mualimin juga mengaku membantu secara teknis pembuatan rilis yang telah viral tersebut.
”Saya yang menulis secara teknis, berdasarkan barang bukti dan keterangan MSA. Ini sudah didiskusikan dengan persetujuan dia,” ujar Mualimin.
Ia menegaskan akan melanjutkan proses hukum terkait kasus tersebut hingga ke meja sidang. ”Apalagi, setelah viral ini para pelaku enggak ada yang mengakui kesalahan atau mengunjungi korban. Ini membuat tekad kami bulat agar ini diselesaikan secara hukum,” katanya.
Riwayat perundungan
Dalam rilis pers tertanggal 1 September 2021, perundungan dan pelecehan seksual dialaminya sejak pertama kali bekerja di KPI tahun 2011. Perlakuan itu ia terima dari tujuh teman sekantornya.
”Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal, kedudukan kami setara dan bukan tugas saya melayani rekan kerja. Tapi, mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh,” kata MSA.
Salah satu perlakuan traumatis yang ia alami terjadi pada tahun 2015. Para pelaku disebut beramai-ramai menyiksa fisik, menelanjangi, bahkan mencoret alat kelaminnya dengan spidol dan mendokumentasikannya dalam bentuk foto.
”Kadang saya pulang ke rumah di jam kerja hanya untuk menghindari perundungan, Mereka terus merundung dengan kata-kata kotor dan porno, seolah saya bahan hiburan mereka. Tapi, karena dimarahi ibu agar bekerja sampai tuntas, saya akhirnya terpaksa kembali ke kantor,” katanya.
Berbagai bentuk perundungan dan pelecehan lain yang dialami setidaknya sampai tahun 2019 membuat MSA mengalami gangguan mental dan stres berkepanjangan. Pengalaman itu meruntuhkan kepercayaan dirinya sebagai suami dan ayah satu anak.
Pada medio 2017, MSA sempat melakukan endoskopi di salah satu rumah sakit milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Diagnosis dokter menemukan ia mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres. Psikiater mendiagnosis MSA mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD).
Pada 2017, MSA juga mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui surat elektronik dan dibalas saran agar melapor ke kepolisian. Pada 2019, MSA baru mengadukan kasusnya kepada polisi di Polsek Gambir. Namun, polisi menyuruhnya menyelesaikan kasus tersebut ke pihak internal.
Oleh pihak kantor, ia hanya dipindahkan ke ruang kerja lain. Perundungan berlanjut hingga ia kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir di 2020. ”Tapi, malah mengatakan, ’Begini saja Pak, mana nomor orang yang melecehkan Bapak, biar saya telepon orangnya’,” kata MSA.