Komnas HAM: Ada Pembiaran pada Perundungan Karyawan KPI
Komnas HAM akan menanyakan kepada KPI Pusat dan polisi perihal upaya yang akan dilakukan merespons perundungan yang terjadi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melihat adanya pembiaran pada kasus perundungan terhadap karyawan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI Pusat, MSA (33). Selain akan meminta keterangan korban, mereka juga akan menanyakan kepada KPI Pusat dan polisi perihal upaya yang akan dilakukan dalam merespons peristiwa yang ada.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, yang ditemui Jumat (3/9/2021), mengakui, pada Agustus 2017 lalu MSA sudah mengadu kepada mereka melalui surat elektronik. Aduan itu telah dianalisis dan menghasilkan saran agar korban melapor kepada polisi karena indikasi tindakan pidana.
”Kami melihat ada dugaan pembiaran dan korban tidak ditangani dengan baik sehingga kejadian berulang dan berakibat kepada psikis dan trauma fisik,” tuturnya di kantornya di Jakarta Pusat.
Dugaan pembiaran, menurut Beka, dilakukan baik oleh KPI maupun kepolisian. Untuk itu, mereka akan meminta keterangan KPI terkait upaya yang dilakukan untuk menangani kejadian tak berulang pada korban. Itu termasuk prosedur standar operasi mereka dalam menghadapi kasus pelecehan.
Adapun pada kepolisian, Komnas HAM akan meminta informasi terkait penolakan terhadap laporan korban ke Polsek Gambir beberapa tahun lalu. Kemudian, langkah-langkah dari kepolisian untuk menangani kasus perundungan yang juga mengarah pada pelecehan seksual tersebut.
Hal itu akan dilakukan setelah Komnas HAM mendengarkan keterangan dari MSA, yang diagendakan pagi ini. Namun, salah satu kuasa hukumnya, Mualimin, mengatakan, MSA masih lelah setelah menjalani pemeriksaan di Polres Jakarta Pusat kemarin.
”Belum ada konfirmasi dia ingin ke Komnas HAM hari ini. Pemeriksaan di Polres kemarin cukup menyita energinya, dari pagi hingga malam. Terakhir tadi korban MS ingin istirahat di rumah,” katanya.
Pendampingan
Komnas HAM juga akan mengupayakan perlindungan keamanan, yang akan dikomunikasikan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kemudian, pendampingan untuk memulihkan trauma korban ataupun keluarganya. Juga bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman di tempat kerja.
”Bagaimanapun kami mengapresiasi betul keberanian korban untuk mengungkap peristiwa yang ada ke publik. Tidak semua korban punya semangat dan keberanian seperti itu,” ujar Beka.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Wisnu Wardana, kemarin malam menyebut, korban masih alami trauma sehingga perlu berkonsultasi ke psikolog.
Sejak Rabu (1/9/2021) malam, polisi masih melakukan pendalaman terhadap MSA selaku pelapor. Pekan depan, polisi juga akan memanggil terlapor dugaan perundungan terhadap MSA. ”Hari Senin kami panggil, semuanya kami panggil,” katanya.
Sebelumnya, MSA melaporkan kepada polisi lima orang yang melakukan perundungan terhadapnya. Untuk itu, polisi akan mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang ada, termasuk dari KPI Pusat.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah, Kamis malam, juga mengatakan, pihaknya telah memanggil 7 dari 8 orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual sebagaimana yang dituliskan MSA di surat terbuka.
"Apabila nanti terbukti ada tindakan kekerasan seksual dan perundungan, KPI dan seluruh pemimpin berkomitmen akan melakukan tindakan tegas kepada pelaku pelecehan seksual dan perundungan,” katanya.
Sebelumnya, MSA menuliskan kejadian pelecehan seksual dan perundungan yang dialaminya dalam bentuk surat terbuka, yang viral. Dalam tulisan yang pembuatannya dibantu kuasa hukumnya, Mualimin, MSA mengaku sudah menerima perundungan hingga pelecehan seksual oleh rekan kerjanya sejak ia bekerja di KPI pada 2011.
”Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal, kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi, mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh,” katanya.
Pengalaman paling traumatis yang ia alami terjadi tahun 2015. Para pelaku disebut beramai-ramai menyiksa fisik, menelanjangi, bahkan mencoret bagian alat kelaminnya dengan spidol dan mendokumentasikannya dalam bentuk foto. Perundungan berikutnya pun sulit ia hindari beberapa tahun kemudian.