Penyelidikan Berlanjut atas Laporan Perundungan Beramai-ramai di KPI Pusat
Karyawan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan beramai-ramai oleh rekan kerjanya pada tahun 2015. Fisik dan kejiwaan terimbas.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian mulai merespons serius laporan perundungan dan pelecehan seksual yang dialami MSA, karyawan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, di Jakarta. Korban dugaan kasus tersebut melapor pernah mengalami pelecehan pada tahun 2015 yang berdampak gangguan psikis dan fisik.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Kamis (2/9/2021), menyampaikan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat mendatangi karyawan KPI Pusat berinisial MSA tersebut pada Senin malam. Pelapor laki-laki itu diminta membuat laporan.
”Tadi malam, pukul 23.30, saudara MSA didampingi oleh komisioner KPI sudah membuat laporan polisi dengan persangkaan Pasal 289 KUHP dan Pasal 281 KUHP juncto Pasal 335 KUHP,” ungkap Yusri di Gedung Humas Polda Metro Jaya, Jakarta.
Dalam keterangan awalnya, MSA membenarkan adanya dugaan pelecehan seksual. Kejadian itu terjadi 22 Oktober 2015 di tempat kerjanya di daerah Kecamatan Gambir.
”Dia melaporkan, saat itu dia lagi kerja di ruang kerjanya, didatangi terlapor ada 5, yaitu RM, FP, RT, EO, dan CL. Kelima terlapor pada saat itu masuk ruang kerja, lalu terlapor tiba-tiba langsung memegang badan, lalu melakukan hal yang tidak senonoh,” jelasnya.
Sementara itu, dalam keterangan awal semalam, pelapor mengaku tidak pernah membuat rilis yang telah beredar di media. MSA juga tidak pernah melapor ke Polsek Gambir. Adapun polisi masih akan menyelidiki kasus itu dengan memeriksa pelapor, mengklarifikasi kelima terlapor, termasuk menelusuri pembuat rilis.
Penasihat hukum MSA, Mualimin, saat dihubungi hari ini membenarkan bahwa MSA telah membuat laporan ke Polres Jakarta Pusat, semalam. MSA datang bersama komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah.
”Komisioner KPI bersama kapolsek dan bidang resersenya langsung berkunjung ke rumah korban setelah viral itu. (Korban) langsung difasilitasi dan diantar untuk membuat laporan lagi, tapi ke Polres Jakarta Pusat,” katanya.
Berbeda dengan keterangan Yusri, Mualimin mengatakan, MSA pernah melapor ke Polsek Gambir, tetapi tidak ditanggapi dengan alasan tidak memiliki cukup bukti. Mualimin juga mengaku membantu secara teknis pembuatan rilis yang telah viral tersebut.
”Saya yang menulis secara teknis, berdasarkan barang bukti dan keterangan MSA. Ini sudah didiskusikan dengan persetujuan dia,” jelasnya.
Ia pun menegaskan pihaknya akan melanjutkan proses hukum terkait kasus tersebut hingga ke meja sidang. ”Kami sepakat ketika sudah melapor harus ada penyelesaian hukum. Apalagi, setelah viral ini para pelaku enggak ada yang mengakui kesalahan atau mengunjungi korban. Ini membuat tekad kami bulat agar ini diselesaikan secara hukum,” pungkasnya.
Riwayat perundungan
Dalam rilis pers tertanggal 1 September 2021, MSA menceritakan riwayat kejadian dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya sejak pertama kali bekerja di KPI tahun 2011. Perlakuan itu ia terima dari tujuh teman sekantornya.
”Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya. Padahal, kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja. Tapi, mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh,” katanya.
Salah satu perlakuan traumatis yang ia alami terjadi pada tahun 2015. Para pelaku disebut beramai-ramai menyiksa dan mempermalukan secara fisik. Bahkan mendokumentasikannya dalam bentuk foto. Perundungan berikutnya pun sulit ia hindari beberapa tahun kemudian.
”Kadang saya pulang ke rumah di jam kerja hanya untuk menghindari perundungan yang tak sanggup saya tanggung. Mereka terus merundung dengan kata-kata kotor dan porno, seolah saya bahan hiburan mereka. Tapi, karena dimarahi ibu agar bekerja sampai tuntas, saya akhirnya terpaksa kembali ke kantor,” tuturnya.
Berbagai bentuk perundungan dan pelecehan lain yang dialami setidaknya sampai tahun 2019, membuat MSA mengalami gangguan mental dan stres berkepanjangan. Pengalaman itu meruntuhkan kepercayaan dirinya sebagai seorang suami dan ayah satu anak. Kondisi itu juga turut memengaruhi kesehatan fisiknya.
Pada medio 2017, MSA sempat melakukan endoskopi di salah satu rumah sakit milik badan usaha milik negara (BUMN). Diagnosis dokter menemukan ia mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres. Masalah fisik yang tak kunjung membaik membuatnya pergi ke psikiater atas saran keluarga. Ia juga sempat didiagnosis mengalami post traumatic stress disorder (PSTD).
Pada 2017, MSA juga pernah mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui surat elektronik dan dibalas saran agar melapor ke kepolisian. Pada 2019, MSA baru mengadukan kasusnya kepada polisi di Polsek Gambir. Namun, polisi menyuruhnya menyelesaikan kasus tersebut ke pihak internal.
Oleh pihak kantor, ia tidak mendapat solusi selain dipindahkan ke ruang kerja lain. Perundungan berlanjut hingga ia kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir di 2020. ”Tapi, di kantor polisi, petugas tidak menganggap cerita saya serius dan malah mengatakan, ’Begini saja Pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya’,” lanjutnya.
KPI Pusat langsung menanggapi hal ini dengan menyatakan keprihatinan dan tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan terhadap siapa pun, dan dalam bentuk apa pun. Mereka juga akan melakukan investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak. Lalu, mendukung agar aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus tersebut.
”Memberikan perlindungan, pendampingan hukum, dan pemulihan secara psikologi terhadap korban. Menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan terhadap korban, sesuai hukum yang berlaku,” tulis surat pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Agung Suprio.