Mencari Kedamaian Hati di Masa Pandemi
Semakin banyak orang yang mengaku sudah sangat lelah oleh pandemi. Rasa takut, cemas, duka, marah mewarnai kehidupan manusia dan menyeret mereka ke dalam situasi stres, bahkan depresi yang panjang.
Pandemi Covid-19 belum juga reda. Mereka yang mengalami kelelahan mental akibat digedor pandemi berusaha mencari ketenangan dan kedamaian hati.
Kabar meninggalnya orang-orang akibat Covid-19, termasuk sahabat, kerabat, bahkan keluarga, datang bertubi-tubi. Informasi duka mengalir nyaris setiap hari lewat beragam saluran mulai dari pengeras suara di tempat ibadah hingga pesan teks di media sosial.
Pada saat yang sama, aneka informasi yang mencemaskan lainnya terkait pandemi terus bermunculan, macam kemunculan varian baru virus, yang dikabarkan jauh lebih ganas dan cepat menyebar, hingga karut-marut penanganan pandemi di lapangan. Semua itu harus kita telan setiap hari dan tanpa disadari, bisa menggentarkan hati.
Semakin banyak orang yang mengaku sudah sangat lelah oleh pandemi. Rasa takut, cemas, duka, marah mewarnai kehidupan manusia dan menyeret mereka ke dalam situasi stres, bahkan depresi yang panjang. Untuk membantu mereka yang stres, sejumlah komunitas menggalang aksi-aksi simpatik, seperti doa bersama orang-orang yang tengah berduka untuk mengenang kepergian anggota keluarga atau sahabat yang wafat.
Beberapa lembaga profesi dan akademisi menyediakan jasa konseling pro bono. Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) bersama Komunitas Yoga Patanjali, misalnya, menggelar meditasi gratis secara daring setiap bulan purnama.
Sementara itu, para motivator dan praktisi mindfulness membuat kelas-kelas daring dengan isu mencari ketenangan, kesadaran, hingga bangkit dari luka dan duka. Layanan itu sebagian tidak berbayar.
Menurut Kepala Lembaga Pengembangan Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPKA UMY) Oki Wijaya, sejak pandemi merebak, permintaan konseling dari mahasiswa di sana melonjak tajam, dua hingga lima kali lipat dari rata-rata 20 orang per bulan sebelum pagebluk.
Lonjakan terutama terjadi pada akhir tahun lalu. Mereka datang dengan beragam keluhan. Ada yang tertekan karena kesulitan membayar biaya kuliah. Ada yang mengeluh karena keluarga dijauhi tetangga setelah tertular Covid 19 atau mengeluh lantaran orangtua terkena PHK. ”Ada mahasiswa menghubungi saya karena orangtuanya meninggal. Stres. Mau bayar biaya kuliah tidak bisa,” ujar Oki.
Konseling dilakukan lima dosen Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Agama Islam UMY. Universitas itu juga menyediakan empat konselor sebaya. Jumlah konselor sebaya dan dosen masih memadai. Sesekali, Oki juga ikut turun tangan.
”Paling laris, konselor-konselor sebaya. Mereka mahasiswa KPI juga atau baru lulus. Seumuran dengan rekannya yang mengikuti konseling,” kata Oki.
Proses konseling dilakukan lewat panggilan video, telepon, atau melalui media sosial. Sebulan terakhir, konselor-konselor juga mendatangi mahasiswa yang perlu diringankan bebannya. Semua layanan diberikan secara gratis.
Layanan konseling pro bono juga diberikan oleh Ikatan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran lewat program layanan konsultasi pertolongan pertama psikologis (PPP). Selain mahasiswa, sasaran layanan konseling mereka mencakup para tenaga kesehatan, penyintas Covid-19 dan keluarganya, para pengasuh anak dan warga lansia, serta masyarakat umum lainnya.
Layanan konseling darurat itu digelar daring. Peserta mesti mendaftar terlebih dahulu untuk mendapatkan jadwal pertemuan. Sedikitnya ada 60 tenaga konselor, yakni para alumnus Fakultas Psikologi Unpad, yang bertugas bergiliran sesuai dengan ketersediaan waktu mereka.
Menurut Koordinator PPP Ikapsi Unpad Dianda Azani, Kamis (29/7/2021), kasus yang mereka temui beragam. Kasus terberat, antara lain, pasien mengalami kesulitan tidur dan tak bisa melakukan kegiatan apa pun lagi lantaran cemas terhadap situasi pandemi.
Sebagian dari mereka mengalami kecemasan, antara lain, karena terinfeksi Covid-19 dan dirawat. Saat dirawat, mereka melihat pasien lain sesama penderita Covid-19 meninggal. Selain itu, ada yang mengalami kecemasan setelah kehilangan orang yang dicintainya akibat Covid-19.
”Ada juga penyintas, yang sebetulnya sudah dinyatakan sembuh, tapi lantaran terus-menerus cemas, dia merasa fisiknya tetap sakit, sesak, dan lemas. Bisa jadi hal itu disebabkan kejadian traumatis,” ucap Dianda.
Sebagai bentuk pertolongan pertama pada pasien, konselor biasanya mengajari mereka yang tengah cemas untuk mengenali jenis emosi mereka. Setelah mampu menyadari dan mengidentifikasi emosi, mereka diajarkan cara meredakan dan mengendalikan emosi beserta efeknya.
”Kami juga mengajarkan mereka beberapa teknis relaksasi, seperti olah pernapasan, meditasi, atau teknik spesifik macam butterflying hug. Jika dirasakan satu sesi tidak cukup, mereka akan kami rujuk untuk membuat pertemuan konseling lain di luar layanan ini,” kata alumnus Fakultas Psikologi Unpad tahun 2002 ini.
Program layanan PPP Ikapsi Unpad tersebut, menurut mereka, baru berjalan sebulan terakhir. Setiap sesi pun hanya berlangsung tak lebih dari satu jam. Saat ini tengah dirancang kemungkinan program layanan konseling secara berkelompok, yang diyakini bisa lebih efektif.
Ingin ketenangan
Sebagian masyarakat yang merasa cemas mencoba mengikuti kelas-kelas daring yang menawarkan motivasi, kesadaran diri, pengelolaan emosi lewat metode meditasi, mindfulness, dan sebagainya. Lembaga Soul of Speaking adalah salah satunya.
Pendiri Soul of Speaking sekaligus praktisi mindfulness, Rani Badri Kalianda, menceritakan, selama pandemi, kebutuhan orang untuk menenangkan diri terus meningkat. Mereka berburu konseling mental dan spiritual.
Permintaan tak hanya datang dari individu, tapi juga sejumlah perusahaan besar untuk karyawan mereka. ”Sepetinya perusahaan berusaha untuk meningkatkan kualitas mental dan spiritual karyawan mereka. Sekarang arahnya ke situ. Semua ingin mengembalikan lagi perasaan tenang yang, menurut mereka, hilang selama pandemi,” ujar Rani Badri, Kamis (22/7/2021), di Jakarta.
Selain kelas-kelas berbayar, Soul of Speaking belakangan ini juga rajin memberikan motivasi lewat acara bincang-bincang langsung di akun Instagramnya. Sebulan terakhir setidaknya sudah empat kali acara seperti itu digelar dengan beragam tema. Pesertanya pun selalu di atas 250 orang.
Beberapa tema yang dibahas, seperti bagaimana menyikapi musibah dan duka, menyebarkan kebahagiaan dan cinta, bagaimana berdamai dengan pandemi, serta bagaimana menjaga kesehatan dan ketenangan jiwa selama beristirahat di rumah (Rani menghindar istilah isoman yang dianggapnya negatif).
Dalam setiap kelas daring, Rani selalu mendorong peserta menerima pandemi sebagai bagian hidup yang mesti dijalani. Dengan begitu, perasaan takut, cemas, dan sakit akibat pandemi bisa diterima sebagai nikmat dari Tuhan, sebagaimana perasaan bahagia, suka, dan cinta.
”Perasaan adalah wujud pikiran. Karena itu, pola pikir dalam memandang pandemi dan peristiwa ikutannya harus diubah. Ketika orang berpikir pandemi sebagai bencana, maka itu pula yang akan kita rasakan,” ujarnya.
Sementara itu, jika orang bisa menerima pandemi sebagai momen refleksi dan melihat ke dalam diri sendiri, orang itu akan menemukan kesadaran baru.
”Saat ini umat manusia sedang disuruh berdiam diri di rumah dan berkumpul lebih lama bersama keluarga. Pandemi mendorong umat manusia berefleksi secara serentak dan bersama-sama. Manusia disuruh meredam kerakusan dan mengoreksi kerusakan yang dilakukan selama ini di dunia,” kata Rani.
Dukungan sahabat
Bentuk dukungan lebih personal ditunjukkan rekan-rekan mendiang musisi Aria Baron Suprayogi. Gitaris yang juga pendiri band rock besar Gigi itu dirawat dan meninggal akibat Covid-19 pada pertengahan hingga akhir Juni 2021.
Sejumlah rekannya, terutama sesama alumnus Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Parahyangan, Bandung, menggelar aksi doa bersama dan kemudian doa tujuh harian secara daring. Pada acara doa bersama tercatat 300 rekan, kenalan, dan keluarga besar Baron ikut serta. Di acara peringatan tujuh hari kematiannya jumlah peserta bahkan mencapai 600 orang.
”Dia adik angkatanku di Menwa. Ya, sudah aku tawari pakai fasilitas kantorku dibantu timku juga. Akhirnya full kami support,” ungkap Safrita Aryana, yang juga Direktur Idea Run, event organizer spesialis olahraga lari.
Safrita menambahkan, banyak teman dan sahabat Baron mulai dari SD hingga kuliah, juga para musisi sejawat, baik dari Jakarta, Padang, Palembang, maupun luar negeri ikut terlibat. Istri mendiang Baron pun sangat berterima kasih dan tak menyangka bahkan bisa bertemu dengan kenalan dan sanak saudara, yang bahkan sudah lama tidak bertemu. (BSW/BAY)