Berharap Peningkatan Pendapatan di Masa PPKM Level 4
Dalam instruksi menteri dalam negeri, makan-minum di warung makan, warteg, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan diizinkan dengan protokol kesehatan ketat. Namun, ini tak seketika membuat usaha menggeliat.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Dalam pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 4 di Kota Bogor, pelaku usaha makanan dan minuman diizinkan menerima pelanggan makan di tempat dengan pembatasan waktu dan jumlah. Namun, kebijakan ini menghadapi tantangan yang tidak mudah, yaitu mengawasi kepatuhan protokol kesehatan.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pemerintah pusat memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM level 4 mulai 26 Juli 2021 hingga 2 Agustus 2021. Dalam pelaksanaan PPKM level darurat itu ada beberapa penyesuaian terkait aktivitas dan mobilitas masyarakat secara bertahap.
Penyesuaian itu seperti pasar rakyat yang menjual barang non-kebutuhan sehari-hari dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen dan jam operasional sampai pukul 15.00. Di pasar tradisional Kota Bogor, tampak sejumlah pedagang non-kebutuhan pokok sudah mulai membuka kiosnya. Sebelumnya, yang boleh berjualan selama PPKM hanya pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan pokok.
Waktunya memang cukup, tapi rasanya seperti kesiangan sahur dan imsak sisa 20 menit lagi. Tidak mudah memang, baik praktik maupun pengawasannya.
Selain itu, juga ada penyesuaian aturan bagi pelaku usaha makanan atau pedagang kaki lima. Mereka diperbolehkan menerima pelanggan untuk makan di tempat. Dalam instruksi menteri dalam negeri, lanjut Bima, pelaksanaan kegiatan makan-minum di tempat umum, seperti warung makan, warteg, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan, diizinkan buka dengan protokol kesehatan yang ketat.
”Boleh menerima makan di tempat sampai dengan pukul 20.00 dengan maksimal pengunjung makan di tempat tiga orang dan waktu makan maksimal 20 menit,” ujar Bima, Selasa (27/7/2021).
Bima mengaku sudah mengunjungi dan makan di warung pecel lele di Jalan Dadali, Tanah Sareal, untuk mengetahui penerapannya di lapangan, terutama soal waktu makan maksimal 20 menit.
”Waktunya memang cukup, tapi rasanya seperti kesiangan sahur dan imsak sisa 20 menit lagi. Tidak mudah memang, baik praktik maupun pengawasannya. Tapi, ini untuk mengurangi risiko penularan ketika makan. Banyak yang tetap memilih untuk membawa pulang pesanan makanannya. Lebih aman,” lanjut Bima.
Di warung milik Agus Riono (37), pedagang ayam bakar taliwang, sore itu tidak ada satu pelanggan pun yang makan di tempat. Kondisi itu sudah terjadi sejak awal PPKM darurat karena ada larangan bagi pedagang sepertinya untuk tidak menerima makan di tempat. Meski begitu, ia beberapa kali menerima pelanggan untuk makan di tempat. Itu pun jika tidak ada patroli dari petugas satuan polisi pamong praja.
”Saya juga belum tahu jika sekarang sudah boleh menerima pelanggan makan di tempat. Tapi, sudah beberapa hari ini bahkan kalau dihitung ke belakang sudah beberapa bulan ini memang pelanggan jarang makan di tempat, lebih banyak dibungkus dan pesan ojek daring. Ini saja baru buka pagi pukul 10.00 sampai sore ini baru ada lima orang saja yang makan di tempat,” kata pria yang pernah bekerja di salah satu restoran di Nusa Tenggara Barat itu.
Agus merasa cukup beruntung, wilayah tempatnya berdagang berada di perbatasan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor sehingga jarang ada petugas yang patroli mengawasi aktivitas yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.
”Lebih banyak patroli kerumunan nongkrong, sih. Kalau kena sidak karena menerima pengunjung makan belum pernah. Ya, karena memang sepi seperti ini. Semoga dengan diizinkan makan di tempat ada peningkatan tambahan. Ini berasa betul pandemi mengurangi pendapatan saya,” tuturnya.
Di kedai kopi dan makanan milik Ghani Razaq (22), sejak buka pukul 11.00 hingga pukul 19.00, baru ada 20 pelanggan yang makan dan minum di tempatnya. Selama PPKM darurat, pelanggan turun hampir 40 persen. Hal itu pun berdampak pada penurunan pendapatan hingga 50 persen lebih.
Sepinya pelanggan yang datang atau yang pesan melalui daring membuat Ghani harus menutup kedainya selama hampir dua minggu. Ia baru tiga hari ini membuka kembali kedainya dan berharap ada perbaikan secara pendapatan. Alasan Ghani untuk menutup kedainya karena tidak ingin terus merugi.
”Kemarin itu ketika PPKM darurat yang pesan online sepi banget. Dalam seminggu hanya ada empat pemesanan secara online. Ini memang gila pandemi. Pelanggan yang pesan langsung dan nongkrong pun sepi. Saya, kan, harus beli bahan-bahan minuman dan makanan. Jika tidak laku, bahan-bahannya tidak segar dan bisa basi. Kondisi itu akan semakin rugi. Jadi tutup sementara,” tutur Ghani.
Ghani pun berharap, dengan diizinkannya pelanggan makan dan minum di tempat akan mampu mendongkrak pendapatannya.