Revisi Perda DKI, Diwacanakan Ancaman Kurungan dan Denda Rp 50 Juta
Pemprov DKI dan DPRD DKI mulai membahas revisi Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Karena sanksi administrasi belum memberi efek jera, sanksi pidana akan diterapkan apabila pelanggaran diulang.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas memberikan sanksi sosial dalam Operasi Kepatuhan Penegakan Peraturan Pemakaian Masker atau Ok Prend di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin, (27/7/2020). Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta dibantu jajaran TNI dan Polri terus mengawasi kepatuhan warga untuk mengenakan masker pada pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta memulai pembahasan revisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Pemprov DKI mengusulkan revisi, di antaranya kewenangan penuh aparat kepolisian, pelibatan penyidik pegawai negeri sipil, ancaman kurungan, dan denda maksimal.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria seusai rapat paripurna DPRD DKI Jakarta tentang penyampaian penjelasan terhadap rancangan peraturan daerah tentang perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2020 di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (21/07/2021), menjelaskan, pada November 2020 akhirnya DKI Jakarta memiliki Perda No 2/2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Perda itu menjadi payung hukum Pemprov DKI Jakarta menjalankan tanggung jawab memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat dari penyebaran Covid-19, serta melakukan pelindungan sosial dan pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19, yang memuat sanksi administrasi dan pidana.
Sanksi administrasi terhadap individu diberikan kepada orang yang tidak mengenakan masker. Mereka dikenai sanksi kerja sosial dan denda administratif. Adapun sanksi administrasi dikenakan terhadap subyek hukum tertentu yang tidak melaksanakan protokol pencegahan Covid-19.
Lalu dalam Perda No 2/2020 juga memuat ketentuan pidana, yaitu ditujukan kepada orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan tes cepat molekuler dan atau pemeriksaan penunjang; orang yang menolak dilakukan pengobatan atau vaksin; orang yang tanpa izin membawa jenazah yang terkondirmasi Covid- 19; serta orang yang meninggalkan fasilitas isolasi tanpa izin petugas.
”Dalam pelaksanaannya, baik ketentuan mengenai sanksi administratif maupun sanksi pidana belum efektif memberikan efek jera kepada masyarakat yang melanggar protokol kesehatan penanggulangan Covid-19. Masih banyak pelanggaran ditemukan,” kata Ahmad Riza.
Kemudian, saat ini ada peningkatan data kasus orang terkonfirmasi Covid-19 dan orang yang meninggal karena Covid-19 bertambah signifikan. Itu menjadi pertimbangan Pemprov DKI Jakarta mengajukan usulan Perubahan atas Perda No 2/2020.
”Perubahan atas Perda No 2/2020 sangat perlu dan mendesak mengingat pandemi Covid-19 telah menyebabkan kondisi darurat yang telah berdampak pada aspek kesehatan masyarakat, sosial ekonomi, dan pelayanan publik di Provinsi DKI Jakarta,” tutur Ahmad Riza.
Dalam usulan perubahan itu, DKI menyebutkan, perlu ada kolaborasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam menindak pelanggar protokol kesehatan. Penyidik Kepolisian Negara RI (Polri) diberi wewenang untuk melakukan penyidikan selain penyidik PPNS dalam hal terjadi tindak pidana pelanggaran prokes.
Usulan kedua adalah pengaturan sanksi administratif dapat dilakukan secara berjenjang dan atau tidak berjenjang. ”Dalam memberikan pengenaan sanksi administratif, perangkat daerah dapat langsung memberikan sanksi yang paling berat sesuai dengan akumulasi kesalahannya dan rinciannya akan diatur dalam SOP pada masing-masing perangkat daerah,” tutur Ahmad Riza.
Selanjutnya, DKI mengusulkan, penambahan ketentuan pidana merupakan materi paling krusial dalam usulan raperda. Pengaturan beberapa ketentuan pidana diatur dengan ultimum remedium.
Artinya, ketentuan pidana setiap orang yang mengulangi perbuatan tidak mengenakan masker setelah dikenai sanksi berupa kerja sosial atau denda administratif. Kedua, ketentuan pidana bagi subyek hukum tertentu yang mengulangi perbuatan pelanggaran protokol pencegahan Covid-19 setelah dikenai sanksi berupa pencabutan izin.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas mendata pelanggar sanksi sosial dalam Operasi Kepatuhan Penegakan Peraturan Pemakaian Masker atau Ok Prend di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin, (27/72020). Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta dibantu jajaran TNI dan Polri terus mengawasi kepatuhan warga untuk menggunakan masker pada pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi.
Subyek hukum dimaksud berlaku untuk beberapa sektor. Antara lain, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab perkantoran/tempat kerja, tempat usaha, tempat industri, perhotelan/penginapan lain yang sejenis dan tempat wisata; pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab transportasi umum, termasuk perusahaan aplikasi transportasi daring; dan pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab warung makan, rumah makan, kafe, atau restoran.
Menurut Ahmad Riza, prinsip ultimum remedium diterapkan ketika sanksi administratif tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggar prokes. Adapun masyarakat yang melakukan pengulangan pelanggaran setelah yang bersangkutan pemah dikenai sanksi administratif dikenakan delik pidana pelanggaran.
Dalam usulan ini, ada ancaman pidana 3 bulan kurungan atau denda Rp 500.000 untuk pelanggaran tidak menggunakan masker dan denda Rp 50 juta untuk pelanggaran prokes lainnya. Itu diharapkan dapat membuat masyarakat meningkatkan kedisiplinan pelaksanaan protokol pencegahan Covid-19.
Kewenangan polisi
M Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, dalam kesempatan yang sama, menegaskan, usulan perubahan perda tersebut adalah memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan penyidikan. ”Kemarin, di Perda No 2/2020, hal itu tidak ada,” ujarnya.
Pantas Nainggolan, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI, menjelaskan, polisi sebagai penyidik akan bekerja sama dengan PPNS. Dalam hal Satpol PP sebagai penyidik, tidak semua Satpol PP menjadi penyidik. Akan ada yang mendapat tugas sebagai penyidik.
Dalam usulan raperda perubahan itu, nantinya di antara bab IX dan X, akan ada bab IXA tentang penyidikan. Kemudian di antara Pasal 28 dan 29, akan disisipkan Pasal 28A tentang kewenangan polisi sebagai penyidik dan Satpol PP sebagai penyidik.
”Untuk kewenangan Satpol PP ini nanti akan kita bahas dalam rapat di Bapemperda,” kata Nainggolan.
Kemudian, masih dari raperda, di antara Pasal 32 dan 33 akan disisipkan dua pasal, yaitu Pasal 32A tentang denda bagi mereka yang mengulang pelanggaran dan Pasal 32B yang menjelaskan tindak pidana.
”Pekan ini, kami langsung membahas. Kalau kami cukup, akan dilanjutkan ke rapim DPRD lalu difasilitasi ke Kemendagri sehingga karena kedaruratannya pekan depan pada 29 Juli akan bisa disahkan,” tutur Nainggolan.