Sepuluh Hari yang Terasa Singkat di Wisma Atlet
Di Wisma Atlet ini, pasien Covid-19 dapat menikmati fasilitas lumayan mewah tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun. Mereka menempati ruangan sekelas apartemen, makan tiga kali sehari, dan mendapat obat-obatan.
Sambil menenteng sebuah tas berwarna biru, Wahid keluar dari kamarnya di lantai 26 Menara 7 Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (10/6/2021) malam. Beberapa saat kemudian dia berpamitan dengan sejumlah pasien yang sedang berbincang-bincang di dekat pintu kamarnya.
”Semoga cepat negatif. Sehat-sehat terus. Semangat!” katanya kepada para pasien yang memberinya ucapan selamat.
Malam itu, Wahid diizinkan pulang setelah menjalani isolasi mandiri di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet. Dia dinyatakan negatif Covid-19 pada hari ke-10 isolasi bersama 15 pasien lain di lantai 26 Menara 7 RSDC Wisma Atlet.
Baca juga : Mendoakan RSDC Wisma Atlet Berumur Pendek
Sebelumnya Wahid dinyatakan positif Covid-19 pada akhir Mei 2021. Dua pekan sebelumnya, sang istri lebih dulu terinfeksi Covid-19. Kala itu, sang istri memilih melakukan isolasi mandiri di rumah yang juga dihuni oleh Wahid dan satu anaknya. Ketika sang istri dinyatakan negatif, giliran Wahid yang dinyatakan positif Covid-19.
”Karena enggak mau anak ikut tertular. Akhirnya saya berangkat langsung ke Wisma Atlet lewat rujukan puskesmas. Bawa baju seadanya,” kata pria asal Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ini
Wahid mengaku menyesal tidak dari awal menempatkan sang istri di RSDC Wisma Atlet. Jika hal itu dilakukan, dia menduga kluster keluarga tidak akan terjadi. Selama sang istri menjalani isolasi di rumah, Wahid mengakui kesulitan menjaga jarak.
Karena enggak mau anak ikut tertular. Akhirnya saya berangkat langsung ke Wisma Atlet lewat rujukan puskesmas. Bawa baju seadanya.
Terlepas dari infeksi Covid-19 yang Wahid derita, keberadaannya di RSDC Wisma Atlet memang dia syukuri. Terlebih, saat dia masuk ke sana, kasus penularan Covid-19 di daerah sedang ramai-ramainya. Berita soal membeludaknya rumah sakit di beberapa daerah membuatnya miris.
”Beruntung banget Jakarta punya Wisma Atlet. Kalau lihat di daerah, ngeri. Rumah sakit di mana-mana penuh,” ungkapnya.
Baca juga : TNI Tambah 400 Tenaga Kesehatan ke Wisma Atlet
Di RSDC Wisma Atlet ini Wahid dapat menikmati fasilitas lumayan mewah tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Dia bisa menempati ruangan sekelas apartemen, makan tiga kali sehari, mendapat obat-obatan serta berkonsultasi dengan tenaga kesehatan kapanpun dia mau.
Menu makanan dalam nasi boks yang Wahid terima saban hari juga bukan menu kaleng-kaleng. Nasi boks biasanya berisi tiga jenis lauk dan satu sayuran. Hal itu belum termasuk snack yang dia terima setiap pagi.
Fasilitas mewah yang Wahid dapatkan di Wisma Atlet membuat masa isolasi bukan suatu hal yang mustahil untuk dilalui. Di tempat itu dia bisa fokus menjalani pemulihan tanpa khawatir menulari anggota keluarga ataupun tetangga.
Wahid bahkan betah tidak pernah melakukan panggilan video dengan keluarga selama masa isolasi. Dia hanya sesekali menghubungi keluarga lewat panggilan telepon. Itu pun selalu berakhir dengan tangisan dari sang anak.
”Enggak pernah (video call). Takut jadi tambah kangen. Orang kalau telepon saja pasti nangis si anak. Sudahlah daripada kepikiran mendingan fokus biar cepat sembuh saja,” katanya.
Lumayan di sini bisa dapat Wi-Fi gratis. Mandi juga pakai air hangat.
Malam itu, Wahid juga terlihat sangat percaya diri untuk pulang ke rumah. Surat keterangan selesai isolasi dari RSDC Wisma Atlet selalu dia genggam. Dia tak sabar menunjukkan surat tersebut kepada ketua RT, ketua RW, dan para tetangganya begitu sampai di rumah.
Wahid merasa perlu melakukan hal ini mengingat stigma pada pasien Covid-19 di lingkungannya masih sangat kuat. Sang anak bahkan sempat dijauhi oleh teman-temannya begitu tahu sang ayah sedang menjalani isolasi di Wisma Atlet. Perlakuan yang sama juga diterima sang istri dari para tetangga.
”Istri saya dikatain, ngapain keluar-keluar. Kan, kena Covid-19. Padahal, istri saya saat itu sudah negatif. Makanya, nanti surat (keterangan isolasi) ini mau saya tunjukin ke mereka. Kalau perlu ditempel di pintu rumah,” ujarnya.
Pasien Covid-19 lainnya, Matius (30), juga merasa beruntung bisa menjalani masa isolasi mandiri di RSDC Wisma Atlet. Setidaknya, selama 15 hari semenjak dinyatakan positif Covid-19, dia bisa mendapatkan tempat tinggal dengan layak.
Karyawan toko elektronik di Mal Mangga Dua itu dinyatakan positif Covid-19 sekitar dua hari sebelum masuk ke RSDC Wisma Atlet. Saat itu dia merasakan demam, sakit kepala, dan batuk. Dia kemudian datang ke klinik setempat dan melakukan tes swab PCR. Hasilnya positif.
Matius yang selama ini tinggal di rumah bosnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, kemudian pulang dan mengabarkan hasil tersebut kepada si bos. Ironisnya, sang bos justru meminta Matius keluar dari rumahnya dan mencari rumah kontrakan.
”Si bos khawatir karena istrinya sedang hamil. Makanya saya disuruh pindah untuk seterusnya. Saya bingung mau pindah ke mana. Badan juga lagi demam. Akhirnya baju-baju saya bawa dan pergi ke Wisma Atlet naik ojek daring,” katanya.
Setelah 10 hari menjalani isolasi mandiri di Wisma Atlet, Matius masih dinyatakan positif Covid-19. Dia diharuskan menambah masa isolasi selama lima hari. Namun, tidak terlihat raut wajah kekecewaan saat Matius menceritakan hal itu. Dia justru tenang karena dapat menunda untuk mencari rumah kontrakan.
”Lumayan di sini bisa dapat Wi-Fi gratis. Mandi juga pakai air hangat,” kata pria asal Bogor, Jawa Barat, itu.
Setelah isolasi 10 hari ternyata masih ada gejala batuk. Akhirnya disuruh tambah isolasi tiga hari. Kalau ada swab PCR cuma-cuma kayak di Wisma Atlet saya mau-mau saja. Biar jelas kalau sudah negatif.
Sementara Bastra (62) menganggap RSDC Wisma Atlet adalah tempat paling ideal untuk memulihkan diri dari infeksi Covid-19. Fasilitas yang tersedia di sana membuatnya selalu terdorong untuk berolahraga.
Hampir setiap pagi dan sore, Bastra terlihat berjalan kaki di balkon lantai 25 Menara 7 yang berada tidak jauh dari kamarnya. Tempat yang sama juga dia gunakan untuk berjemur setiap pagi.
”(Olahraga) apa saja. Yang penting meningkatkan metabolisme. Kalau (isolasi) di rumah, kan, pasti susah olahraga,” kata warga Klender, Jakarta Timur, ini.
Sejumlah sarana di RSDC Wisma Atlet juga kerap dimanfaatkan para pasien untuk berolahraga. Sebut saja lapangan kobra yang sering dipakai untuk senam dan sepak bola. Ada juga jogging track di halaman Wisma Atlet dan setiap menara.
Kesulitan di daerah
Fasilitas yang didapat para pasien isolasi di Wisma Atlet ini hanya bisa diimpikan oleh pasien Covid-19 di daerah. Salah satunya Bastian (30), warga Jepara, Jawa Tengah, yang dinyatakan positif Covid-19 pada awal Juni. Penuhnya rumah sakit dan ketiadaan tempat isolasi mandiri terpusat di sana membuatnya memilih menjalani isolasi mandiri di rumah.
”Makanan biasanya diantar sama orangtua dan ditaruh di depan rumah. Kadang juga dikirimi logistik dari kantor dan desa. Beberapa kali juga masak sayur pakai tumbuhan yang ditanam depan rumah,” kata pasien bergejala ringan tersebut.
Di Wisma Atlet, pasien bisa menjalani swab PCR secara cuma-cuma hingga dinyatakan negatif Covid-19. Hal itu tidak bisa didapatkan Bastian. Selama 13 hari menjalani isolasi di rumah, Bastian hanya dipantau oleh bidan yang bertugas di puskesmas tempat tinggalnya.
”Setelah isolasi 10 hari ternyata masih ada gejala batuk. Akhirnya disuruh tambah isolasi tiga hari. Kalau ada swab PCR cuma-cuma kayak di Wisma Atlet saya mau-mau saja. Biar jelas kalau sudah negatif,” katanya.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 sejak awal Juni 2021 menyebabkan sejumlah rumah sakit kewalahan. Hal ini memaksa para pasien bergejala ringan untuk menjalani isolasi di luar rumah sakit.
Untuk pasien bergejala ringan, isolasi mandiri bisa dilakukan di rumah. Namun, jika tidak memungkinkan, isolasi mandiri perlu dilakukan di tempat khusus, seperti Wisma Atlet. Penyediaan sarana isolasi mandiri yang memadai ini amat dibutuhkan di setiap daerah untuk membendung aliran pasien ke rumah sakit rujukan Covid-19.
”Jika di rumah, isolasi mandiri harus dipastikan mampu terlaksana dengan baik agar tidak terjadi penularan ke anggota keluarga serumah. Misalnya kamar tidur dan perlengkapan pribadi harus terpisah. Limbah masker juga harus selalu dikemas pada kantong tertutup sebelum dibuang,” katanya.
Menurut Husein, pemerintah perlu memikirkan tempat isolasi terpusat lainnya jika RSDC Wisma Atlet sudah melebihi kapasitas, khususnya di daerah. Sudah sepatutnya pihak swasta dan seluruh elemen masyarakat bergotong royong mengatasi pandemi ini. Salah satunya dengan menyediakan sarana isolasi mandiri yang memadai agar aliran pasien ke rumah sakit rujukan Covid-19 bisa terbendung.