Makin Kritis, Pemda Jabodetabek Diminta Satukan Suara dan Langkah
Pemimpin daerah harus bersama bersuara bahwa kondisi di Jabodetabek sudah dalam keadaan darurat dan kritis. Mereka harus kompak mendorong pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan pengetatan makro di Jabodetabek.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Paparan Covid-19 di Kota Depok semakin tak terkendali. Penambahan konfirmasi harian positif Covid-19 mencatat angka tertinggi selama pandemi, yaitu mencapai 798 kasus. Kepala daerah harus mendorong pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan pengetatan makro di Jabodetabek.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok Dadang Wihana mengatakan, mobilitas warga yang semakin tinggi tanpa kepatuhan protokol kesehatan ketat menyebabkan paparan Covid-19 semakin meluas, bahkan menjangkiti anak-anak.
”Warga terkonfirmasi positif cukup banyak, ada penambahan 798 kasus pada Minggu (27/6/2021), sehingga total mencapai 59.021 kasus. Sementara kasus meninggal bertambah cukup signifikan, yaitu 11 orang, total ada 1.052 kasus. Pasien sembuh bertambah 182 orang, total ada 50.601,” kata Dadang saat dikonfirmasi, Senin (28/6/2021).
Dadang melanjutkan, dampak mobilitas tinggi menyebabkan munculnya kluster keluarga di Kota Depok yang diduga berasal dari kluster perkantoran atau luar kota.
Adapun kluster keluarga di Kota Depok seperti di Perumahan Bukit Rivaria sebanyak 80 orang dan 1 kasus meninggal. Kemudian di Perumahan Taman Anyelir III dengan 45 kasus positif dan 2 kasus meninggal. Di Perumahan Taman Cipayung terdapat 34 kasus positif dan 1 kasus meninggal.
”Perumahan itu saat ini micro lockdown. Itu dilakukan atas inisiatif warga dan satgas ikut memantau. Kami juga upaya tracing dan testing. Sementara sejumlah warga terkonfirmasi positif isolasi mandiri di rumah masing-masing,” tutur Dadang.
Penambahan kasus harian yang tinggi itu, kata Dadang, menyebabkan keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di ICU mencapai 100,91 persen. Sementara BOR di ruang isolasi mencapai 95,05 persen.
Pemimpin daerah harus bersama bersuara bahwa kondisi di Jabodetabek sudah dalam keadaan darurat dan kritis. (Tri Yunis Miko)
Menurut Dadang, pihaknya saat ini fokus meningkatkan daya tampung fasilitas kesehatan di rumah sakit. Untuk itu Satgas Kota Depok menginstruksikan seluruh rumah sakit mengalihkan kuota tempat tidur pasien non-Covid-19 untuk pasien Covid-19.
Sejumlah rumah sakit, seperti RS Universitas Indonesia (UI), RSUD Depok, dan RSIA Asyifa Depok, sudah menerapkan pengalihan kuota ruangan untuk pasien Covid-19. Bahkan, RSIA Asyifa Depok menjadi tempat perawatan tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19.
Selain rumah sakit, lanjut Dadang, pihaknya juga bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menggunakan Wisma Makara dan Pusat Studi Jepang UI sebagai tempat karantina pasien Covid-19.
”Karena tingginya penularan, Satgas juga akan berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Barat terkait bantuan pendanaan untuk menggunakan asrama mahasiwa UI sebanyak 300 tempat tidur,” kata Dadang.
Harus bersuara
Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan, dalam situasi kedaruratan kasus positif, kasus meninggal, dan rumah sakit yang semakin kritis, kepala daerah di Jabodetabek tidak bisa sekadar melakukan penanganan pandemi dengan menambah fasilitas kesehatan.
Menurut dia, penambahan fasilitas kesehatan, seperti tempat tidur dan ruang isolasi, serta vaksinasi dinilai penting. Namun, upaya itu akan berat karena tenaga kesehatan saat ini banyak yang terpapar. Hal itu tentu akan semakin menambah beban berat tenaga kesehatan. Jika sudah begitu, pelayanan kesehatan akan semakin terganggu, tidak hanya pasien Covid-19, tetapi juga pasien umum lainnya.
”Yang perlu dilakukan adalah memutus mata rantai penularan. Saat ini justru makin melonjak karena tidak ada kebijakan tegas pengawasan ketat dari pemerintah. Jadi, penambahan fasilitas kesehatan itu penting, tetapi akan semakin menambah tenaga kesehatan yang terpapar. Pengetatan di segala lini sangat dibutuhkan, sekarang dan segera,” papar Miko.
Oleh karena itu, tambah Miko, pemimpin daerah di Jabodetabek harus serentak bersuara lantang untuk mendorong pemerintah pusat turun tangan mengeluarkan kebijakan tegas dan ketat.
Miko mengatakan, aglomerasi Jabodetabek menjadi zona penularan tinggi. Jika itu tidak segera diatasi, mustahil menekan penyebaran Covid-19 yang semakin tinggi dan akan semakin banyak korban warga dan tenaga kesehatan yang berjatuhan. Belum lagi ada varian virus baru. Perlu ada kebijakan berani dari pusat untuk memutus mata rantai penularan dengan menutup atau membatasi ketat transportasi umum serta kebijakan bekerja dari rumah 100 persen.
”Oleh karena itu, pemimpin daerah harus bersama bersuara bahwa kondisi di Jabodetabek sudah darurat dan kritis. Mereka harus kompak mendorong pemerintah pusat. Seperti yang dilakukan Wali Kota Bogor Bima (Arya) dengan tegas dan mendorong kebijakan tegas dan ketat dari pusat. Itu harus diikuti kepala daerah lainnya,” lanjutnya.
Sementara pemerintah pusat, menurut Miko, harus melihat data lapangan di Jabodetabek, setidaknya dari laporan kepala daerah, sebagai landasan untuk mengambil keputusan pengetatan di level makro di aglomerasi di Jabodetabek.
”Tidak bisa terus begini. Ada banyak kasus kematian. Ada warga yang meninggal di rumah saat isolasi mandiri. Stop itu. Sudah terlalu banyak korban. Pusat harus segera dan pemda harus keras bersuara terkait kasus darurat di wilayahnya,” tegas Miko.