PPKM Mikro Tak Efektif, Bima Minta Pemerintah Lakukan Pengetatan Makro
Kebijakan PPKM mikro yang selama ini berjalan dinilai belum menunjukkan hasil maksimal untuk mengatasi atau menekan penambahan kasus yang semakin hari semakin meningkat.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Wali Kota Bogor Bima Arya mengusulkan pemerintah pusat mengambil langkah cepat berupa kebijakan tegas pengetatan makro atau regional di aglomerasi Jabodetabek. Keputusan itu sangat dibutuhkan karena terjadi lonjakan kasus positif, tenaga kesehatan bertumbangan, dan keterisian kamar di rumah sakit semakin penuh.
Di Kota Bogor, kasus Covid-19 masih menunjukkan tren meningkat. Sepekan terakhir ada peningkatan 78 persen sehingga berdampak pada tingkat keterisian tempat tidur di 21 rumah sakit rujukan hingga 81,6 persen atau terisi 782 dari 958 tempat tidur. Sementara angka tenaga kesehatan yang terpapar juga bertambah menjadi 336 orang. Kasus kematian naik 125 persen dalam sepekan.
Kasus positif pada anak-anak juga tinggi dalam sepekan, meningkat 18 persen. Berdasarkan data Jumat (25/6/2021), anak umur 6 tahun ke bawah yang terpapar mencapai 92 kasus. Rentang usia 6-19 tahun mencapai 427 kasus, usia 20-29 tahun sebanyak 568 kasus, dan usia 30-39 tahun mencapai 510 kasus.
Data pembaruan Dinas Kesehatan Kota Bogor pada Minggu (27/6/2021), ada penambahan konfirmasi positif harian sebanyak 262 kasus sehingga totalnya 19.568 kasus. Adapun yang masih sakit 3.003 kasus, selesai isolasi atau sembuh 16.287 kasus, dan meninggal 278 kasus.
Dari data dan pemantauan di lapangan, menurut Bima, perlu ada kebijakan langkah yang luar biasa karena situasi sudah mengkhawatirkan. Belum lagi ada virus Covid-19 varian baru yang bisa memperburuk situasi penanganan pandemi. Kebijakan PPKM mikro yang selama ini berjalan dinilai belum menunjukkan hasil maksimal mengatasi atau menekan penambahan kasus yang semakin hari semakin meningkat.
Tidak hanya itu, langkah penanganan seperti percepatan vaksinasi serta penambahan tempat tidur dan ruang isolasi juga dinilai belum cukup karena tidak bisa mengimbangi jumlah tenaga kesehatan yang banyak terpapar Covid-19. Semakin banyaknya tenaga kesehatan terpapar berdampak atau memengaruhi target vaksinasi karena mereka merupakan vaksinator dan tentu memengaruhi pelayanan pasien Covid-19.
”PPKM mikro di wilayah tidak akan mampu mengatasi persoalan ketika tidak diimbangi kebijakan lebih tegas dan ketat di wilayah makro. Harus ketat dalam hal pembatasan aktivitas warga di tingkat yang lebih makro. Pemerintah pusat harus berani mengambil langkah kebijakan lebih ketat. Tidak dipukul rata secara nasional, tetapi bisa diberlakukan sesuai kedaruratan wilayah, misalnya pembatasan lebih ketat di Jabodetabek atau berbasis pengetatan regional,” tegas Bima, Minggu (27/6/2021).
Bima sudah berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan dan menyampaikan data serta kondisi situasi lapangan di Kota Bogor. Dari komunikasi itu, ia berharap bisa segera direspons lebih luas.
Kewenangan daerah terbatas
Menurut Bima, harus ada kebijakan langsung dari pemerintah pusat dan kementerian lain karena pemerintah kota atau daerah memiliki kewenangan terbatas dalam mengambil kebijakan memperkuat pembatasan, seperti PSBB atau PPKM mikro. Selain itu, pemerintah daerah tidak mungkin melakukan pembatasan jam operasional, jam kantor, hingga aktivitas atau mobilitas warga tanpa instrumen kebijakan tingkat nasional.
Jabodetabek sebagai wilayah aglomerasi membutuhkan kebijakan lebih luas dalam penanganan pandemi Covid-19, khususnya pengetatan aktivitas dan mobilitas warga antarwilayah Jabodetabek. Bogor tidak bisa berdiri sendiri dalam penanganan lonjakan kasus karena penambahan kasus berasal dari kluster perjalanan luar kota dan perkantoran. Dari kluster itu meluas ke kluster keluarga yang saat ini menyumbang kasus tertinggi sehingga anak-anak berpotensi terpapar.
Meski begitu, kata Bima, bukan berarti pemerintah daerah tidak bisa mengambil kebijakan terkait penanganan di level daerahnya. Misalnya di Kota Bogor, selaku kepala daerah sekaligus ketua Satgas Penanganan Covid-19, Bima memutuskan untuk menerapkan 100 persen bekerja dari rumah atau work from home bagi seluruh ASN, kecuali kantor atau dinas yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, seperti dinas kesehatan.
Selain itu, Pemkot Bogor segera mengaktifkan kembali rumah sakit lapangan di Tanah Sareal, pusat isolasi di BNN Lido, hingga akan mengaktifkan pusat isolasi berbasis masyarakat di tingkat kelurahan.
”Namun, sekali lagi, upaya pemerintah daerah tidak akan maksimal ketika tidak diiringi kebijakan lebih tegas, lebih ketat dalam hal pembatasan aktivitas warga di tingkat lebih makro. Jadi, sebaiknya mengambil keputusan cepat. Jika tidak, semakin banyak korban berjatuhan, semakin banyak tenaga kesehatan yang terpapar. Kita harus berempati kepada tenaga kesehatan yang terus bertumbangan,” tuturnya.
Sementara Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi, Fidiansjah Mursyid, menambahkan, rumah sakitnya tidak hanya menjadi rujukan utama dalam menangani pasien orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang terpapar Covid-19, tetapi juga untuk pasien umum. Hal itu karena sejumlah rumah sakit rujukan sudah sulit menerima pasien.
Namun, penanganan pasien Covid-19 saat ini cukup terkendala bukan karena fasilitas kesehatan, melainkan karena tenaga kesehatan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi banyak yang terpapar, mencapai 62 kasus.
”Total tenaga kesehatan kami ada sekitar 600 orang, 62 di antaranya terpapar. Paling banyak perawat, lalu petugas farmasi dan dokter. Sementara pasien ODGJ terpapar Covid-19 yang dirawat di sini ada 28 kasus. Saat ini kami akan kembali menambah tempat tidur karena untuk penanganan pasien umum juga,” kata Fidiansjah.
Fidiansjah menjelaskan, di RSJ Marzoeki Mahdi total ada 96 tempat tidur khusus penanganan pasien Covid-19. Saat ini tersisa 68 tempat tidur. Pihak rumah sakit akan mengalokasikan lagi 37 tempat tidur.
”Badan SDM kami juga akan menambah 21 tempat tidur, tetapi sementara belum dalam waktu dekat karena tenaga kesehatan kami berkurang akibat terpapar Covid-19,” jelas Fidiansjah.
Selain berharap pemerintah pusat bisa cepat mengambil kebijakan pengetatan mikro atau regional, lanjut Bima, pemerintah daerah juga harus bersiap ada konsekuensi jika kebijakan pengetatan terlaksana, seperti kesiapan bantuan sosial kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mempersiapkan pendataan warga, khususnya kepada pekerja harian dan pekerja lepas. Selain itu, siap mengaktifkan dapur umum dan mempersiapkan lumpung pangan di setiap kelurahan.
”Ada konsekuensi logistik. Saya kira setiap pemerintah kota/daerah bisa mengambil langkah dari kebijakan nasional tersebut. Pemerintah daerah harus siap, misalnya melakukan refocusing anggaran, alokasi bansos, dan sebagainya dalam keadaan darurat. Saya juga yakin solidaritas sosial kita masih sangat tinggi supaya memastikan warga tetap bisa makan, terutama warga pekerja harian,” tutur Bima.