Keterisian Tempat Tidur Tinggi, Ombudsman Sarankan DKI Tarik Rem Darurat
Data Dinas Kesehatan DKI menunjukkan, 51 persen kasus Covid-19 baru berasal dari RT-RT yang telah menerapkan ”micro-lockdown”. Pengawasan dan penegakan aturan perlu ditingkatkan, termasuk dengan pengetatan pembatasan.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai dengan 15 Juni 2021, keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio) di DKI Jakarta sudah mencapai 78 persen. Meski begitu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum akan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar di Ibu Kota. Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menegaskan inilah saatnya DKI Jakarta menarik rem darurat untuk mengendalikan kasus.
Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (16/6/2021), menjelaskan, sampai dengan 15 Juni 2021, memang terjadi peningkatan kasus Covid-19 di DKI Jakarta. Melihat data tempat tidur isolasi sebanyak 7.861, sementara yang terpakai 6.117 tempat tidur atau sudah 78 persen. Kemudian tempat tidur ICU, dari 1.127 tempat tidur di ruang ICU, yang terpakai 824 tempat tidur atau sudah 73 persen.
”Ini terjadi peningkatan luar biasa, hampir 50 persen dalam seminggu terakhir,” kata Ahmad Riza.
Per Rabu pukul 08.00 untuk pasien yang dirawat di Wisma Atlet sudah bertambah menjadi 5.551 orang atau bertambah 98 orang dari hari sebelumnya. Ruang isolasi terkendali yang disiapkan Pemprov DKI juga mulai terisi.
Kalau perkantoran diminta 50 persen WFO, tetapi tempat hiburan tetap dibuka ya percuma. Angka Covid-19 tetap akan melonjak. Tempat penyebaran Covid-19 bukan hanya di perkantoran. (Teguh P Nugroho)
Kepala Unit Pelaksana Anjungan dan Graha Wisata Disparekraf DKI Jakarta Yayang Kustiawan mengatakan, hingga Rabu pukul 14.15, orang tanpa gejala (OTG) yang masuk ke Graha Wisata TMII sudah 21 orang. Sementara untuk pasien yang dirawat di Graha Wisata Ragunan 140 orang.
Meski begitu, kata Ahmad Riza, Pemprov DKI Jakarta belum akan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti tahun lalu. Ia beralasan Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan kebijakan perpanjangan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) hingga dua pekan ke depan. ”Jadi masih tetap seperti yang kemarin,” katanya.
Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam masa perpanjangan PPKM ini, Pemprov DKI Jakarta harus bisa memastikan implementasi PPKM mikro di lapangan. ”Semua kebijakan yang ada yang tertulis harus dapat diwujudkan di lapangan,” katanya.
Arahan lainnya yang mesti dilakukan adalah memastikan penggunaan masker bagi seluruh warga Jakarta meningkat. Peningkatan penggunaan masker harus setinggi mungkin.
Terpisah, Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad menyatakan, dengan peningkatan kasus yang sangat tinggi, seharusnya Pemprov DKI fokus menegakkan aturan PPKM mikro sehingga tidak terjadi kerumunan ataupun kluster-kluster, baik di permukiman maupun perkantoran.
”Aturan batas kapasitas 30 persen tidak lagi diawasi, aturan kerja di rumah tidak dipantau sehingga kembali muncul kluster perkantoran dan kerumunan di mana-mana,” papar Idris.
Selain itu, pelaksanaan micro-lockdown di lingkungan RT yang masuk zona merah juga kerap diabaikan karena pengawasan yang minim. Itu seperti yang diungkap Dinas Kesehatan DKI Jakarta bahwa 51 persen kasus Covid-19 baru berasal dari RT-RT yang justru telah menerapkan micro-lockdown.
”Percuma membuat aturan kalau tidak diawasi. Tidak cukup hanya pasrah menyerahkan kepada warga,” kata Idris.
Rem darurat
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho menegaskan, dengan situasi lonjakan kasus tinggi, ini saatnya menarik rem darurat. Penarikan rem darurat itu diikuti dengan tidak ada uji coba pembelajaran tatap muka (PTM), pembukaan tempat hiburan ditunda, tempat-tempat rekreasi seperti Ancol dan Ragunan ditutup, hingga pengawasan ketat penerapan kebijakan yang boleh bekerja dari kantor (WFO) dibatasi 50 persen.
”Kalau perkantoran diminta 50 persen WFO, tetapi tempat hiburan tetap dibuka ya percuma. Angka Covid-19 tetap akan melonjak. Tempat penyebaran Covid-19 bukan hanya di perkantoran,” kata Teguh.
Penarikan rem darurat, Teguh melanjutkan, sebaiknya dilakukan sambil melihat positivity rate. Apabila positivity rate sudah cukup baik, rem darurat bisa dihentikan.
”Kalau penanganan Covid-19 setengah-setengah, hasilnya juga setengah-setengah. Ekonomi tidak jalan, kesehatan juga tidak jalan. Ini tinggal kepastian langkah mana yang akan diambil, mau pandemi dulu atau ekonomi, tetapi tidak bisa berbarengan,” katanya.
Langkah rem darurat disarankan Teguh karena kasus saat ini sangat tidak terprediksi. ”Jangan sampai kita mengalami kejadian seperti Kuala Lumpur (Malaysia). Telat melakukan pengetatan, sekarang mereka merasakan dampaknya,” katanya.