Tuntutan kenaikan upah saat demo Hari Buruh tahun ini bakal sulit terwujud. Buruh kembali dihadapkan dengan persoalan turunnya upah dan tidak adanya kenaikan upah minimum pada masa pandemi.
Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Jika ditarik ke belakang, peringatan internasional buruh diawali dengan tuntutan jam kerja yang lebih pendek. Merujuk buku The History of May Day, sejak awal abad ke-19 pekerja di Amerika Serikat mengeluhkan jam kerja yang panjang.
Situasi itu kemudian menghadirkan semboyan ”dari matahari terbit hingga matahari terbenam”. Jam kerja saat itu mencapai dua belas jam, bahkan delapan belas jam, sehari. Peringatan itu pada akhirnya diadopsi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Tidak jauh berbeda, eksploitasi tenaga kerja juga terjadi di Indonesia seiring dengan industrialisasi kala itu.
Seiring waktu, tuntutan buruh di Indonesia berubah, yakni kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan. Perlahan, upah buruh terus naik meski belum sigfikan meningkatkan kesejahteraan para pekerja.
Namun, pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini memberikan ”cerita” yang lain bagi buruh di Indonesia. Tahun lalu, peringatan Hari Buruh diwarnai dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sebagai dampak pandemi. Tahun ini, tren PHK masih akan terjadi di tengah kondisi ekonomi nasional yang belum membaik.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2020, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19. Sebagian besar di antaranya mengalami pengurangan jam kerja. Sebanyak 2,56 juta lainnya menjadi pengangguran karena Covid-19.
Penurunan upah
Pengurangan jam kerja yang terjadi di tengah pandemi menjadi pukulan bagi buruh. Hal itu berdampak pada penurunan pendapatan pekerja.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, upah buruh pada Agustus 2020 turun 5,2 persen. Pada Agustus 2019, upah buruh secara nasional mencapai Rp 2,91 juta per bulan, turun menjadi Rp 2,76 per bulan pada periode berikutnya.
Penurunan upah buruh ini terjadi pada semua sektor ekonomi. Penurunan paling besar terjadi pada sektor akomodasi dan makan minum, yakni -17,28 persen. Berikutnya adalah sektor real estat (-15,7 persen) serta transportasi dan pergudangan (-12,13 persen).
Proporsi buruh dengan upah di atas UMP kian turun pada Agustus 2020. Ini menunjukkan posisi buruh yang makin tertekan.
Situasi itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sektor tersebut yang mengalami kontraksi. Sektor transportasi dan pergudangan, misalnya, tumbuh minus 30,80 persen, menjadi sektor yang terkontraksi terdalam pada triwulan II 2020. Diikuti dengan sektor akomodasi dan makan minum yang lajunya minus 22,02 persen. Kondisi tersebut berlanjut hingga triwulan berikutnya.
Selama lima tahun terakhir ini tren peningkatan upah buruh kian menurun. Namun, tidak pernah tumbuh minus seperti yang terjadi tahun 2020.
Pertumbuhan upah buruh tahun 2016, yakni 23,4 persen, menjadi angka tertinggi. Setelah itu, angka laju upah terus menurun. Tahun 2017 upah buruh turun menjadi 7,4 persen.
Tahun 2019, pertumbuhan rata-rata upah buruh terus menurun menjadi 3 persen. Hingga 2020 saat pandemi, angka pertumbuhan upah buruh menurun, mencapai minus 5,4 persen.
Upah minimum
Layaknya pertumbuhan rata-rata upah buruh yang kian melambat, tren pertumbuhan kenaikan UMP sepanjang lima tahun terakhir pun menurun. Setelah tahun 2016, kenaikan UMP tidak pernah menyentuh angka 10 persen lagi.
Padahal, lima tahun ke belakang, terhitung dari 2016, kenaikan UMP selalu melampaui 10 persen. Bahkan, tahun 2014 kenaikan UMP menembus 22,2 persen. Tahun 2017 hingga 2020, kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah hanya berada pada kisaran 8 persen. Terakhir, tahun 2020, kenaikan UMP hanya 8,15 persen.
Berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2019, angka kenaikan UMP diperoleh dari penjumlahan inflasi nasional September 2019 (y-on-y) sebesar 3,39 persen dengan pertumbuhan ekonomi nasional 5,12 persen. Pertumbuhan ekonomi dihitung dari pertumbuhan PDB triwulan III dan IV tahun sebelumnya dan periode triwulan I dan II tahun berjalan.
Idealnya, kenaikan UMP dirumuskan setiap tahun oleh pemerintah. Hal ini tak lepas dari tuntutan buruh dan tujuan penetapan upah minimum itu sendiri, yakni sebagai jaring pengaman, agar buruh tak jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Namun, berdasarkan SE Menakertrans No M/11/HK.04/X/2020, tidak ada kenaikan UMP tahun ini. Pemerintah menetapkan besaran UMP tahun 2021 sama dengan UMP 2020 di setiap provinsi.
Menurut perhitungan Litbang Kompas, jika menggunakan formula yang sama dengan perhitungan kenaikan UMP 2020, UMP 2021 akan naik sebesar 3,3 persen. Perhitungan tersebut menggunakan data inflasi September 2020 (y-on-y) sebesar 1,42 persen dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 1,90 persen.
Ironinya, dengan menggunakan standar UMP 2020, sesuai data BPS, proporsi buruh dengan upah di atas UMP kian turun pada Agustus 2020. Nilai tersebut tidak mencapai separuh dari total buruh. Agustus tahun sebelumnya, sebesar 56,54 persen buruh memiliki upah di atas UMP, bahkan mencapai 57,55 persen tahun 2018.
Sejumlah angka tersebut menunjukkan bahwa posisi buruh beberapa tahun belakangan kian tertekan. Pandemi yang tak kunjung berakhir juga membuat buruh kian terimpit. Jika situasi tersebut berkepanjangan, hal itu berpotensi membawa buruh makin dekat dengan jurang kemiskinan.