Tunjangan hari raya mulai ada sejak tahun 1951 demi meningkatkan kesejahteraan pegawai. Di masa pandemi ini, kewajiban perusahaan membayarkan THR menghadapi tantangan terbesarnya. Namun, aturan itu tetap wajib dipatuhi.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Tunjangan hari raya selalu dinanti buruh/karyawan jelang Lebaran. Namun, dalam kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada perekonomian, pembayaran THR akan menjadi masalah bagi sebagian perusahaan untuk merealisasikan kewajibannya.
Pemberian tunjangan hari raya (THR) di Indonesia bermula pada tahun 1951 melalui program di kabinet Soekiman Wirjosandjojo di masa Presiden Soekarno. Kala itu THR diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (aparatur sipil negara). Namun seiring berjalannya waktu, pegawai swasta pun turut menikmati tunjangan ini.
Peraturan khusus terkait THR baru dibuat pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No 04 Tahun 1994. Selanjutnya diperbarui dengan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No 06 Tahun 2016.
Pada peraturan terbaru disebutkan THR wajib diberikan pengusaha kepada pekerja sesuai hari raya agama yang dianut. Besarannya satu bulan upah jika pekerja sudah mempunyai masa kerja minimal 12 bulan atau sesuai proporsi jika masa kerjanya antara satu dan kurang dari 12 bulan. THR ini berikan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Andalan
Tunjangan hari raya menjadi andalan untuk melaksanakan tradisi Lebaran. Mulai dari mudik ke kampung halaman, silaturahmi dengan sanak saudara, berbagi rezeki untuk keluarga dan kerabat di kampung, serta berlibur ke luar kota. Berbagai rangkaian kegiatan ini membutuhkan dana ekstra di luar pengeluaran rutin setiap bulan.
Platform pembayaran Digital OVO membuat survei mengenai perilaku masyarakat dalam pengelolaan keuangan pada bulan Ramadhan 2021. Hasilnya, sebanyak 43 persen menggunakan seluruh THR-nya untuk kebutuhan puasa dan hari raya. Ada pula 52 persen responden yang terpaksa menggunakan dana darurat dari tabungan/invenstasi untuk memenuhi kebutuhan saat Ramadhan.
Penggunaan dana darurat bisa jadi dilakukan karena THR yang diberikan oleh perusahaan tidak mencukupi. Nilai THR yang tidak cukup itu berkaitan dengan menurunnya rata-rata upah bersih bulanan yang diterima pekerja selama pandemi. Catatan BPS, rata-rata upah bulanan menurun dari Rp 2,9 juta pada Agustus 2019, menjadi Rp 2,7 juta pada Agustus 2020.
Kemungkinan lainnya, masyarakat sudah tidak menerima THR karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Data BPS pada Agustus 2020, ada 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Dari angka tersebut, terbanyak (24,03 juta orang) penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja. Sisanya menjadi pengangguran dan sementara tidak bekerja karena Covid-19, serta bukan angkatan kerja.
Khawatir
Kemungkinan terburuk lain saat masyarakat terpaksa menggunakan tabungannya di Lebaran kali ini adalah perusahaan tidak memberikan THR. Hal ini juga yang membuat sebagian besar responden Survei Riset Pasar OVO khawatir jika tidak mendapatkan THR pada masa Lebaran tahun ini.
Keresahan tersebut wajar terjadi mengingat hari raya tahun lalu banyak perusahaan yang tidak membayar THR lebaran bagi karyawannya.
Catatan Kemenaker tahun 2020, ada 410 laporan pengaduan pembayaran THR Lebaran. Dari total laporan tersebut, baru 307 perusahaan yang telah melunasi (Kompas, 13/4/2021).
Aturannya, pengusaha yang terlambat membayar akan dikenai denda 5 persen dari total THR. Bahkan jika tidak membayar tunjangan akan dikenai sanksi administratif.
Sebelum pandemi saja, aturan tersebut banyak diabaikan. Kondisi sekarang agaknya akan semakin banyak perusahaan yang tidak memberikan THR, terkait dengan belum stabilnya perekonomian Indonesia.
Dampak pandemi
Perekonomian Indonesia di masa pandemi ini belum stabil. Ekonomi Indonesia triwulan IV-2020 dibandingkan triwulan IV-2019 masih terkontraksi 2,19 persen. Meski sebenarnya angka tersebut sedikit mengalami perbaikan dibandingkan pertumbuhan triwulan III, yakni -3,49 persen.
Kontraksi kegiatan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh beberapa sektor ekonomi yang masih tumbuh negatif. Di antaranya industri pengolahan (-3,14%), perdagangan (-3,64%), konstruksi (-5,67%), pertambangan dan penggalian (-1,2%), serta transportasi dan pergudangan (-13,42 persen).
Disusul sektor penyediaan akomodasi dan makan minum serta jasa perusahaan. Kondisi ekonomi sektor-sektor tersebut belum bisa pulih seperti sebelum pandemi.
Hal tersebut akan memengaruhi kinerja perusahaan dalam sektor ekonomi tersebut. Selanjutnya bisa jadi berdampak pada pemberian THR. Dari hitungan Litbang Kompas, diperkirakan ada sekitar 57 persen tenaga kerja dari sejumlah sektor yang terkontraksi tersebut yang bakal terkena pengaruh.
Tidak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 menjadi masa pelik yang sulit dihadapi sebagian pengusaha. Namun, THR sebagai kewajiban sudah seharusnya tetap dibayarkan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.