Pembatasan fisik di awal pandemi awalnya membuat sektor jasa ekspedisi terpuruk. Namun, geliat ekonomi dan maraknya penjualan daring pascanormal baru, menjadi berkah tersendiri bagi perusahaan jasa pos dan kurir.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI (LITBANG KOMPAS)
·3 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Penjaga toko Aci Sport sedang menunjukkan produk papan catur yang dijual di toko itu, Kamis (25/3/2021).
Ingin makan lumpia Semarang atau gudeg Yogya tak perlu lagi harus datang langsung ke kotanya. Tak perlu juga menunggu berhari-hari untuk dapat menikmatinya. Sejumlah jasa pengiriman barang sudah menyediakan layanan sameday delivery, pengiriman paket sehari sampai tujuan.
Dengan kecanggihan teknologi, konsumen dimanjakan dan dilayani kebutuhannya hanya dengan memainkan jari di telepon pintarnya. Transaksi pun bisa dilakukan secara daring sehingga tidak perlu ribet keluar rumah dan mengeluarkan biaya transportasi. Demikian pula untuk pengiriman barang, ada kurir yang akan mengambil barang yang hendak dikirim.
Tak dapat dimungkiri, pada awal pandemi Covid-19, kinerja sektor jasa penunjang angkutan, pos, dan kurir terjun bebas. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran Covid-19 membuat pergerakan transportasi terbatas yang salah satunya berdampak pada sektor jasa kurir dan pos.
Pertumbuhan bisnis industri jasa ekspedisi ini tak lepas dari inovasi teknologi dan adaptasi terhadap perubahan perilaku konsumsi masyarakat.
Data BPS menunjukkan, pada triwulan II-2020, laju pertumbuhan sektor ini terkontraksi hingga minus 29,18 persen dibandingkan dengan triwulan I. Meski demikian, pada awal tahun 2020 sektor logistik ini sudah tumbuh negatif 10,87 persen.
Namun, seiring dengan pelonggaran pembatasan sosial, salah satu subsektor transportasi ini tumbuh cukup tinggi hingga 41,31 persen. Angka pertumbuhan antarkuartal ini tercatat tertinggi selama tiga tahun terakhir.
Sektor ekspedisi ini juga mencatat prestasi baik selama 2015-2019. Pertumbuhannya 2,6 persen, di atas pertumbuhan produk domestik bruto atau 7,7 persen secara tahunan. Tren ini diprediksi akan berlanjut pasca-Covid-19 dengan pertumbuhan mendekati 10 persen per tahun (Kompas, 5/5/2020).
Pertumbuhan bisnis industri jasa ekspedisi ini tak lepas dari inovasi teknologi dan adaptasi terhadap perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Sejumlah perusahaan mampu bertumbuh selama pandemi.
Mengutip dari laman Kontan, perusahaan ekspedisi SiCepat Ekspres mencatat pertumbuhan kinerja 110 persen sepanjang 2020. Demikian juga dengan PT Paxel Algorita Unggul (Paxel), bisnisnya tumbuh 30-50 persen per bulan selama pandemi (Kompas, 12/03/2021)
Peningkatan e-dagang
Pertumbuhan ini sebenarnya terjadi saat masyarakat sudah mulai beradaptasi dengan sistem pembatasan sosial. Aktivitas belanja yang selama ini banyak dilakukan dengan berkunjung ke pusat perbelanjaan berubah menjadi daring lewat berbagai aplikasi e-dagang. Pergeseran pola belanja ini menjadi peluang yang dimanfaatkan industri jasa ekspedisi untuk bangkit kembali.
Kompas/Priyombodo
Desi mengemas produk tas dan dompet yang dipasarkan secara daring melalui pasar digital atau marketplace di kios miliknya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (30/11/2020).
Peningkatan aktivitas belanja daring di tengah pandemi terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh MarkPlus Inc pada Oktober 2020. Selama masa new normal, aktivitas belanja daring mengalami peningkatan dari 4,7 persen menjadi 28,9 persen.
Survei cepat kepada 155 responden tersebut menemukan penggunaan kurir telah meningkat lebih dari 50 persen selama pandemi. Peningkatan penggunaan tertinggi ditemukan di kelas menengah sebesar 79,2 persen. Sebagian besar responden juga puas dengan layanan kurir yang dipilih (82,6 persen).
Di samping itu, perilaku responden pada umumnya juga semakin selektif dalam memilih jasa kurir yang tepat selama Covid-19, terutama terkait ongkos kirim. Sebanyak 54,8 persen responden mengaku semakin selektif memilih jasa kurir, 70 persen di antaranya menjadi lebih selektif karena keterbatasan keuangan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja sedang mendata paket barang yang masuk di Stasiun Jakarta Gudang, Kampung Bandan, Jakarta, sebelum dikirim ke sejumlah kota di Pulau Jawa dengan menggunakan jasa kereta barang yang dikelola oleh Rail Express, Rabu (29/7/2020).
Laporan studi ”Southeast Asian Map of E-Commerce (iPrice, 2020)” juga menunjukkan orang Indonesia paling sering mengakses aplikasi belanja dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Total sesi atau kunjungan yang dicatat aplikasi belanja di Indonesia 28,5 miliar pada kuartal II-2020 yang naik 34 persen dari kuartal sebelumnya.
Meningkatnya aktivitas belanja daring tersebut membuat jasa kurir barang kewalahan dengan melonjaknya pesanan. Hal ini membuat perusahaan ekspedisi merekrut karyawan dalam jumlah banyak untuk mempertahankan kualitas pelayanan kepada konsumen. Survei Society of Human Resource Management (SHRM) mencatat, perekrutan penjualan daring meningkat 16 persen karena kebutuhan berbelanja secara virtual di tengah pandemi.
Perubahan perilaku belanja masyarakat selama masa pandemi yang berpindah ke transaksi e-dagang berdampak pada peningkatan sektor jasa logistik ini. Ke depan, perusahaan jasa ekspedisi dituntut untuk menghadirkan layanan yang efisien disertai pemanfaatan teknologi untuk menghadapi persaingan antar-perusahaan. (LITBANG KOMPAS)