Perilaku masyarakat Ibu Kota dan sekitarnya saat menggunakan transportasi publik masih sering melenceng dari aturan. Edukasi dan pengawasan serta penindakan tegas diperlukan.
Oleh
Helena F Nababan / I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·6 menit baca
Annissa (28) tertahan di eskalator turun saat hendak keluar dari Stasiun Tanah Abang di Jakarta Pusat, Senin (19/4/2021). Ia pun mencolek penumpang di depannya agar berjalan atau bergeser memberinya ruang untuk meluncur turun.
”Kalau begini, saya jadi ingat saat stasiun Tanah Abang belum ditata menjadi sebagus ini. PKL masih berjajar rapat di depan gerbang masuk sisi utara dan menghambat pergerakan menuju titik bus stop di ujung depan di Jalan Jati Baru Raya,” kata Annisa yang ditemui di halte Transjakarta di Stasiun Tanah Abang.
Bagi Annisa yang tinggal di Depok, Jawa Barat, dan sehari-hari beraktivitas di sebuah perkantoran di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, naik kereta komuter untuk pergi dan pulang bekerja adalah andalannya. Ia merasa heran dengan sebagian penumpang kereta yang terlihat santai dan tidak peduli terhadap penumpang lain yang memburu waktu sehingga seharusnya diberi ruang bergerak, seperti saat di eskalator.
Saat area luar stasiun masih dipenuhi PKL, sejumlah penumpang juga seenaknya berhenti. Mereka tidak peduli penumpang lain harus segera menuju tujuan.
”Sekarang saat penataan selesai, masih kurang tertib, banyak yang tidak menjaga jarak, padahal lagi pandemi. Belum paham lajur kanan di eskalator harus jalan. Banyak yang berhenti di lajur kanan eskalator. Naik tangga juga sama, belum rapi. Padahal sudah ada panahnya,” kata Annisa lagi.
Bicara pandemi dan ketertiban, Amin Hidayat (35), warga Tangerang, Banten, yang hari-hari ini mulai kembali beraktivitas di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat, menyatakan, saat awal-awal pandemi tahun lalu dan sesekali mesti ke kantor karena jadwal yang bergantian, ia melihat penumpang bisa tertib dan disiplin di area luar dan di dalam stasiun serta di peron dan kereta.
Karena tinggal di Tangerang, Amin terkadang turun di Stasiun Sudirman atau Stasiun Tanah Abang. Di Stasiun Tanah Abang, ia mengalami dan melihat sendiri para penumpang mengantre dengan jarak yang dijaga di area sebelum gerbang pembayaran. Kemudian patuh antre lagi di area berbayar untuk menunggu giliran naik ke lantai dua yang akan menuju peron dan kereta. Di kereta, apabila kursi sudah penuh karena pembatasan, mereka bisa berdiri dengan saling menjaga jarak.
”Mungkin karena saat itu pembatasan sangat ketat sehingga penumpang yang terpaksa masih harus berkegiatan dengan angkutan umum ikut aturan. Mana saat itu petugas banyak sekali dan selalu mengingatkan, menegur, dan memandu penumpang,” kata Amin.
Di hari-hari sekarang ini, setahun setelah pandemi, ia kembali dibuat geleng-geleng kepala dengan kelakuan para penumpang kereta. Para penumpang yang hendak naik kereta sering ia lihat gegabah, tidak menghiraukan penumpang yang hendak turun. Sama seperti sebelum ada pandemi.
Adli (27), warga Kalibata, Jakarta Selatan, yang sehari-hari berkantor di Kota Bekasi, Jawa Barat, juga mendapat pengalaman serupa. Itu terutama terlihat saat pagi hari ketika banyak penumpang KRL sedang menuju tempat kerja.
”Masih pada suka egois, maksa masuk ke kereta, padahal penumpang di dalam belum sempat turun. Yang begitu itu kebanyakan karena rebutan biar dapat kursi,” kata Adli yang ditemui di Stasiun Manggarai saat hendak berganti kereta menuju Bekasi.
Masih pada suka egois, maksa masuk ke kereta, padahal penumpang di dalam belum sempat turun. Yang begitu itu kebanyakan karena rebutan biar dapat kursi.
Kondisi itu, kata Adli, jarang terjadi jika kebetulan ada petugas stasiun yang mengawasi naik turun penumpang. Jika sedang tak ada petugas, penumpang kembali tak mematuhi aturan dan berebut masuk ke kereta.
Yayat Supriyatna, pengamat perkotaan, mengatakan, melihat perilaku masyarakat, memang seharusnya jika ada rambu atau penanda, harus ada petugas yg mengarahkan. ”Tidak ada petugas di kita tidak ada artinya. Rambu bisa ditaati kalau ada petugas di lapangan,” ujarnya.
Itu akan sama seperti rambu atau penanda dan penunjuk arah yang sudah banyak dipasang di stasiun, tetapi penumpang lebih memilih berhenti dan bertanya kepada petugas. Sering kali penumpang yang berhenti mendadak demi bertanya kepada petugas menghambat perjalanan dan malah menimbulkan kerumunan.
Adrianus Satrio Adi Nugroho dari Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) mengatakan, pada proses transformasi empat stasiun KRL dan halte bus Transjakarta, FDTJ yang turut terlibat dalam penataan berupaya menyusun papan informasi, penanda atau signage, dan penunjuk arah atau wayfinding dengan sejelasnya. Seharusnya dengan adanya penunjuk arah dan penanda yang dibuat itu, penumpang lebih mudah memahami. Namun, memang kemampuan penumpang memahami rambu dan penanda beda-beda.
”Tanah Abang ini menjadi evaluasi pengalaman pengguna atau user experience awal. Untuk selanjutnya, kami akan memperhatikan user experience. Kami akan mencoba membuat semudah mungkin,” kata Satrio.
Lagi-lagi, menurut Yayat, untuk masyarakat kita, apabila ada aturan, maka harus ada aktornya juga. ”Jadi ada aktor di situ, ada petugas, ada aparat di situ. Jadi di kita tidak bisa dengan kesadaran bahwa ada rambu, ada petunjuk, terus semua taat dan patuh. Belum tentu. Maka, kehadiran petugas itu masih dibutuhkan. Apalagi dalam situasi kondisi seperti ini,” tutur Yayat.
Jadi, jika saat awal pandemi kesan penumpang tertib dan disiplin muncul, hal itu karena memang banyak petugas yang mengawal dan mengawasi. Ditambah lagi ada banyak aturan pembatas yang mengatur. Saat sekarang dengan kegiatan yang pelan-pelan terjadi di semua aspek, meski pandemi masih membayang, ia melihat pengelola stasiun mesti memiliki skenario pengaturan dan pengawasan saat kondisi ramai dan tidak ramai. Hal ini supaya aturan protokol kesehatan juga kedisplinan bisa ditegakkan.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengingatkan, perilaku dan kebiasaan bertransportasi umum yang baik bisa dibentuk sedikit demi sedikit asalkan ada konsistensi dari pemangku kepentingan, regulator, dan operator.
Penumpang KRL hari ini, menurut Aditya, sudah menunjukkan perubahan. Dari dulunya terbiasa naik di atas atap, semrawut, dan tidak teratur menjadi seperti sekarang.
Itu semua karena ada langkah peremajaan sarana dan sistem serta peningkatan pengawasan kedisiplinan. ”Sedikit demi sedikit penumpang KRL sekarang sudah jauh lebih beradab dan tertib,” kata Aditya.
Melalui penataan kawasan stasiun yang bertujuan menjadikan pergerakan penumpang menerus dan lancar dengan adanya integrasi antarmoda di dalamnya, Aditya menilai, KRL sedang menuju transformasi kedua. ”Kalau perubahan tadi transformasi pertama, ini menuju transformasi kedua dari sisi integrasi antarmoda dan penataan kawasan stasiun,” katanya.
Senada dengan Yayat, untuk transformasi kedua pun tetap dibutuhkan aktor, seperti petugas dan aparat yang konsisten dan intensif menegakkan kedisiplinan, ketertiban, serta pengawasan, baik kepada pengguna angkutan, pelaku angkutan pengumpan, maupun masyarakat yang beraktivitas di kawasan itu, seperti PKL.
Karena itu, jika demi kelancaran pergerakan di dalam stasiun ada petugas dengan pengeras suara yang menyuruh penumpang di eskalator sisi kanan untuk berjalan, sementara di sisi kiri diam, itu tidak bisa dilakukan sesekali. Meski terlihat menggelikan, upaya itu harus dilakukan terus-menerus dalam tingkatan progresif yang makin tegas dan keras karena membentuk kultur memang tidak bisa sebentar.
Aditya mengingatkan, dalam proses transformasi itu, semua pihak semestinya tidak hanya terfokus pada dimensi infrastruktur yang berwujud (tangible), tetapi juga harus memperhatikan dimensi yang intangible atau dimensi yang tak berwujud.