Langgar Karantina? Segera Saja Dihukum Berat biar Jera
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, merekomendasikan agar lembaga-lembaga penegak hukum bersepakat mempercepat proses hukum terhadap perkara-perkara terkait penanggulangan pandemi.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menetapkan satu orang lagi sebagai tersangka kasus lolosnya JD, warga negara Indonesia yang pernah ke India, dari kewajiban karantina 14 hari. Agar berefek jera, lembaga penegak hukum didorong untuk mempercepat penjatuhan sanksi terhadap para pelaku, terutama untuk hukuman penjara.
Tersangka tambahan berinisial GC sehingga total terdapat empat tersangka dalam kasus JD. Adapun tiga tersangka lain adalah JD serta dua orang yang membantunya lolos dari karantina, S dan RW (anak S).
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyampaikan, JD membayar Rp 6,5 juta kepada S dan RW. Namun, uang itu kemudian diketahui juga dinikmati GC.
Bahkan, GC mendapat bagian paling besar. ”Saudara GC, tersangka keempat ini, dapat bagian Rp 4 juta,” kata Yusri dalam keterangan resmi hari Rabu (28/4/2021).
Meski hukuman penjara hanya maksimal satu tahun, setidaknya pelaku segera merasakan penderitaan dibui. (Abdul Fickar)
Yusri menjelaskan, GC berperan membuat data JD masuk ke fasilitas karantina terpusat yang sudah ditetapkan Kementerian Kesehatan. Namun, JD tidak benar-benar hadir secara fisik di tempat itu. Ia malah pulang ke rumahnya sehingga berisiko membawa virus dari India bagi orang-orang di sekitarnya.
JD tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Minggu (25/4/2021) pukul 19.30. Karena memiliki riwayat perjalanan ke India dalam 14 hari sebelum masuk Indonesia, JD seharusnya diangkut ke fasilitas karantina terpusat untuk berdiam selama dua pekan.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menerapkan kebijakan itu mengingat India tengah didera lonjakan drastis kasus Covid-19. Bahkan di sana muncul varian virus SARS-CoV-2 yang memiliki dua mutasi yang bisa menghindari antibodi yang terbentuk dari vaksin. Terhadap pelaku perjalanan asal negara lain, pemerintah hanya mewajibkan mereka menjalani karantina lima hari.
Terkait kasus JD, polisi hingga kini juga masih mendalami cara S dan RW bisa memiliki kartu akses masuk dan keluar bandara. Menurut Yusri, S merupakan pensiunan dari dinas pariwisata daerah tertentu.
Sebelumnya, Ketua Satgas Udara Penanganan Covid-19 Kolonel PAS MA Silaban (TNI Angkatan Udara) menyebutkan, S dan RW hanya mengaku-aku sebagai petugas Bandara Soekarno-Hatta. ”Diduga kedua oknum itu, yang di sejumlah pemberitaan berinisial S dan RW, adalah pihak berkepentingan dengan instansi lain di bandara. Oleh karena itu, mereka memiliki kartu pas bandara, dan mereka tidak bertanggung jawab, tetapi justru melakukan penyalahgunaan kartu pas bandara,” ujarnya.
Executive General Manager Bandara Soekarno-Hatta Agus Haryadi menambahkan, pihaknya pun sudah mengecek data pegawai. Hasilnya, ia bisa menjamin bahwa S dan RW bukan petugas bandara (Kompas.id, 27/4/2021).
Meski sudah dijadikan tersangka, S, RW, JD, dan GC tidak ditahan polisi. Itu lantaran petugas sejauh ini hanya mendapati mereka melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Ancaman hukuman penjara bagi mereka maksimal hanya satu tahun.
Berdasarkan Pasal 21 Ayat 4 Huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang tindak pidananya diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Menanggapi situasi tersebut, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, merekomendasikan agar lembaga-lembaga penegak hukum bersepakat mempercepat proses hukum terhadap perkara-perkara yang terkait penanggulangan Covid-19. ”Jadi, kalau ketahuan, orang itu langsung diproses. Langsung pakai sidang cepat seperti tilang,” katanya.
Dengan demikian, meski hukuman penjara hanya maksimal satu tahun, setidaknya pelaku segera merasakan penderitaan dibui. ”Supaya ada efek jeranya, kalau (hukumannya) kurungan, ya langsung suruh masuk,” ucap Abdul Fickar.
Ia mencontohkan, polisi cukup membuat berita acara perkara 2-3 lembar, kemudian langsung diajukan ke pengadilan. Ia berharap proses sidang hanya berlangsung maksimal satu bulan sampai vonis dijatuhkan.