Banyak Kantor Masih Berpersepsi Konservatif dan Melarang WFH
Masih lazim anggapan bahwa bekerja itu hanya jika karyawan berada di kubikel masing-masing dan langsung dipantau oleh bos. Padahal, belum tentu bekerja di kantor itu efektif dalam segi capaian kinerja
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Masih konservatifnya pemikiran sejumlah perusahaan mengakibatkan ada karyawan yang tetap wajib masuk kantor setiap hari meskipun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membuat aturan agar setiap perusahaan memberlakukan kuota masuk 25-50 persen dari jumlah total karyawan. Perkembangan teknologi dan profesionalitas karyawan belum menjadi pertimbangan untuk memaksimalkan bekerja dari rumah demi mencegah penularan Covid-19 di lingkungan perkantoran.
Salah seorang yang harus masuk kantor setiap hari ialah CS, karyawati salah satu kantor swasta di Jakarta Selatan. Ketika dihubungi pada Selasa (27/4/2021), ia mengungkapkan bahwa di kantornya ada 20 karyawan, termasuk atasan. Mereka semua bekerja di dalam satu ruangan.
”Dulu pernah ada satu rekan yang terkena (virus) korona dan satu kantor langsung di-swab antigen. Untungnya enggak ada yang tertular,” katanya.
Meskipun demikian, ternyata perusahaan tempat CS bekerja tidak memakai pengalaman itu untuk membuat sistem bekerja dari rumah dan piket masuk kantor untuk karyawan tertentu. Mereka tetap meminta para pegawainya masuk seperti biasa.
Kami enggak berani minta ke bos untuk dibuatkan jadwal bekerja dari rumah. (CS)
Menurut CS, kantor memang menyediakan petugas satuan pengamanan (satpam) di pintu masuk untuk mengukur suhu karyawan. Terdapat pula botol-botol cairan antiseptik yang bisa dipakai oleh karyawan. Akan tetapi, mereka tetap harus duduk di kubikel masing-masing yang jaraknya kurang dari 1 meter, bahkan berhadap-hadapan.
Semua bergantung pada kedisiplinan setiap karyawan untuk memakai masker. Terkadang, tetap ada rekan yang bandel dan lalai bermasker. Biasanya orang bandel tersebut ditegur oleh karyawan lain dan kadang-kadang oleh atasan. Waktu yang paling dikhawatirkan oleh karyawan adalah ketika makan siang karena mereka harus makan di meja masing-masing yang jaraknya kurang dari 1 meter dari orang di depan dan di sebelah.
”Kami enggak berani minta ke bos untuk dibuatkan jadwal WFH (bekerja dari rumah). Dulu pas awal pandemi tahun 2020 masih banyak yang nyinyir, tapi kayaknya lama-lama jadi terbiasa masuk kantor lagi,” tutur CS.
Kesenjangan sosial
Lizbeth, karyawati di sebuah perusahaan manufaktur di Jakarta Utara, mengatakan bahwa di tempat kerjanya tidak ada piket karena alasan kesenjangan sosial. Mayoritas karyawan kantor tersebut sudah lanjut usia sehingga berbagai pekerjaan masih dikerjakan secara manual. Pemakaian teknologi digital tergolong asing bagi kantor itu.
Selain itu, karena perusahaan bergerak di bidang manufaktur, para buruh, karyawan di bidang pemasaran, dan sumber daya manusia tetap harus masuk setiap hari. Berbagai permintaan pembelian dari pihak lain juga masih dilakukan secara manual. Oleh sebab itu, para pemimpin perusahaan menilai apabila ada divisi yang diperbolehkan bekerja dari rumah, akan tidak adil bagi karyawan yang lain.
Lizbeth mengungkapkan, sudah ada lebih dari 15 orang, baik karyawan maupun buruh, yang terkena Covid-19 dan harus menjalani isolasi. Berpegang pada alasan menghindari kesenjangan sosial, karyawan yang sehat tetap menerapkan masuk kantor seperti biasa dengan berbagai penyesuaian. Ruang-ruang kosong yang sebelumnya hanya dipakai untuk rapat kini dipakai untuk bekerja sehari-hari, semua jendela dibuka demi melancarkan aliran udara, dan karyawan hanya boleh makan di meja masing-masing secara bergantian agar tidak ada yang membuka masker pada saat bersamaan.
”Para direksi sendiri setiap hari keliling kantor untuk memantau kami. Mereka pasti menegur karyawan, buruh, sampai (petugas) satpam yang maskernya enggak benar,” ujar Lizbeth.
Berpikir konservatif
Pada 26 April 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan, pada periode 5-11 April 2021 ada 157 kasus penularan Covid-19 di 78 perkantoran. Setelah itu periode 12-18 April 2021 ada 425 kasus yang terjadi di 177 perkantoran. Mayoritas kantor itu memiliki pegawai yang telah disuntik vaksin Covid-19 sehingga pemerintah menyimpulkan ada kelengahan akibat menganggap diri telah kebal tertular virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2 (Kompas, 27 April 2021).
Guru Besar Pendidikan Ekonomi yang menekuni bidang studi administrasi perkantoran, Henry Eryanto menjelaskan, perusahaan masih banyak yang berpersepsi konservatif dan belum memaksimalkan teknologi digital untuk efisiensi kinerja.
”Masih lazim anggapan bahwa bekerja itu hanya jika karyawan berada di kubikel masing-masing dan langsung dipantau oleh bos. Padahal, belum tentu bekerja di kantor itu efektif dalam segi capaian kinerja,” tuturnya.
Minimnya kecakapan membangun sistem bekerja dari rumah berasal dari minimnya membangun struktur cara kerja, target kerja, dan takaran capaian. Henry menerangkan, perusahaan banyak yang penugasannya bersifat harian atau mendadak, bukan berbasis perencanaan mingguan atau bulanan yang kemudian dipersiapkan jika sewaktu-waktu terjadi perubahan.
”Jika definisi pekerjaan dan capaian jelas, semestinya tidak masalah karyawan itu bekerja dari rumah ataupun kantor karena semua sudah memiliki target terukur. Memang di rumah ada berbagai kendala seperti harus mengurus anak, tetapi sebenarnya di kantor juga banyak distraksi seperti bermain media sosial dan menonton Youtube,” ucapnya.
Prinsip profesionalitas atasan dan karyawan memang dasar kepercayaan bekerja jarak jauh, baru disusul dengan kemampuan memanfaatkan teknologi digital. Adanya pandemi membuat percepatan penggunaan teknologi bagi semua jenis perkantoran walaupun belum semua mau beradaptasi atau setidaknya meningkatkan kompetensi karyawan di kecakapan digitalnya.