Meterai Baru Bisa Dipalsukan, Koordinasi Pemangku Kepentingan Diperkuat
Kasus pemalsuan meterai baru menjadi sinyal kecepatan penjahat mengakali sistem keamanan yang dibuat pemerintah. Kepolisian dan pihak terkait menyadari pentingnya koordinasi untuk mencegah kasus terulang
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Meski baru diluncurkan pada 28 Januari 2021, meterai Rp 10.000 bisa dipalsukan oleh komplotan spesialis pemalsu meterai. Kasus ini membuat negara diperkirakan kehilangan penerimaan mencapai Rp 37 miliar. Kepolisian bersama pemangku kepentingan terkait bakal mengintensifkan kerja sama serta koordinasi dalam mencegah kasus serupa berulang.
Komplotan pemalsu meterai tersebut diringkus personel Polresta Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten di sebuah rumah di Kota Bekasi, Jawa Barat pada 7 Maret 2021. Total ada enam orang tersangka yang ditangkap, yaitu RPI, YUN, SNK, BST, HND, dan ASR. Tersangka ASR merupakan suami dari YUN. ASR kini berstatus narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Salemba. Sedangkan satu orang tersangka lainnya, ANT masih dalam pencarian polisi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menjelaskan, keenam tersangka memiliki peran berbeda-beda. Ada yang berperan membuat meterai palsu, menjual dan mengirim kepada pemesan, membuat desain dan mencetak meterai, pembeli, dan pengelola akun media sosial yang digunakan sebagai alat pemasaran.
“Kasus terbongkar bermula dari laporan kepada reserse bahwa ada pengiriman melalui bandara menggunakan sistem collect item yang biasanya digunakan untuk mengirim barang-barang berharga. Dari sana timbul kecurigaan dan anggota melakukan penyelidikan,” tutur Yusri saat konferensi pers pengungkapan kasus tersebut di Markas Polresta Bandara Soetta, Rabu (17/3/2021).
Menurut Yusri, keahlian membuat meterai palsu diperoleh para tersangka secara otodidak. Selain itu, tersangka SNK dulunya sempat bekerja pada sebuah percetakan swasta. Ia mendapat pengetahuan cara membuat meterai saat bekerja di sana.
Yusri menyebut komplotan pemalsu meterai itu telah beraksi sejak 3,5 tahun yang lalu. Mereka merupakan komplotan spesialis pemalsu meterai Rp 6.000. Di awal tahun 2021, pemerintah meluncurkan meterai Rp 10.000, komplotan ini kemudian beralih memproduksi meterai baru tersebut.
Selama 3,5 tahun beraksi memproduksi meterai palsu, Yusri memperkirakan negara telah kehilangan potensi penerimaan dari pajak dokumen sebesar Rp 37 miliar akibat aksi komplotan tersebut. Meterai-meterai palsu itu sudah beredar di sejumlah provinsi.
“Ini (meterai palsu) sudah beredar cukup banyak sekali. Pemakai meterai agar lebih teliti lagi. Kasus ini masih kami dalami,” kata Yusri.
Polisi menjerat para tersangka dengan pasal berlapis. Pasal yang dipersangkakan terhadap mereka adalah pasal tentang kerugian negara. Para tersangka dijerat Pasal 251, 256, dan 257 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu mereka juga dijerat dengan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dan UU 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencurian Uang.
“Ancaman hukumannya cukup tinggi, kami akan lapis mereka semuanya, 7 tahun dan ada yang 6 tahun penjara. Karena ini terus terang merugikan keuangan negara yang cukup besar,” ujar Yusri.
Lebih teliti
Pesan untuk lebih teliti terhadap meterai yang telah dibeli disuarakan Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor. Neilmadrin mengimbau masyarakat selalu memastikan meterai yang dibeli adalah meterai asli. Dengan begitu, penerimaannya akan masuk ke kas negara sebagai pajak.
“Apabila masyarakat menemukan penjualan meterai di bawah harga nominal yang tertera, hampir bisa dipastikan meterai tersebut palsu,” ujar Neilmadrin.
Apabila masyarakat menemukan penjualan meterai di bawah harga nominal yang tertera, hampir bisa dipastikan meterai tersebut palsu
Direktur Operasi Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Saiful Bahri mengatakan, agar tidak terkecoh membeli meterai palsu, ada tiga indikator yang bisa dilihat masyarakat untuk mengetahui keaslian suatu meterai. Tiga indikator itu antara lain melihat, meraba, dan menggoyang meterai.
Melihat meterai bisa difokuskan pada perforasi atau lubang-lubang kecil yang menyambungkan meterai satu dengan yang lainnya. Ada tiga jenis perforasi yang biasa terdapat pada meterai, yaitu perforasi berbentuk bulat, oval, dan bintang. Menurut Saiful, perforasi itu tidak mungkin bisa dipalsukan karena teknologinya cukup rumit.
Kemudian, saat meraba meterai, masyarakat bisa merasakan tekstur kasar pada cetakan angka atau nominal meterai. Cetakan nominal Rp 6.000 atau Rp 10.000 pada meterai palsu, kata dia, tidak terasa kasar. Terakhir adalah menggoyangkan meterai. Dengan menggoyangkan meterai asli, akan terjadi perubahan warna (colour shifting). Misalnya pada meterai baru Rp 10.000 yang tadinya berwarna magenta ketika digoyangkan akan berubah menjadi kehijau-hijauan.
Intensifkan koordinasi
Pengungkapan kasus pemalsuan meterai ini menyentak para pemangku kepentingan, dalam hal ini kepolisian, Direktorat Jenderal Pajak, dan Perum Peruri. Mereka melihat modus operandi para pemalsu meterai kian canggih dan lihai mengelabui sistem keamanan yang telah dirancang. Oleh sebab itu para pemangku kepentingan menyadari perlunya mengambil langkah untuk mengintensifkan koordinasi.
“Ini luar biasa. Undang-undangnya (UU 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai) diundangkan Oktober 2020. Kemudian peredarannya baru Januari dan sudah bisa dipalsukan. Sekarang, dengan kerja sama dan koordinasi ini kita bisa mengungkap secara cepat,” kata Neilmadrin.
Adapun Yusri menyatakan akan lebih mengintensifkan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait ke depannya. Tujuannya untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tindak pidana serupa terulang.