Sebulan Pembatasan Mikro, Tingkat Keterisian Wisma Atlet Terus Turun
Dinamika tingkat keterisian Wisma Atlet sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 serta mobilitas masyarakat.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat keterisian Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, semakin lowong hingga pada Senin (15/3/2021) tinggal 47,58 persen. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro yang sudah berjalan lebih dari sebulan diyakini turut berkontribusi pada penurunan tersebut.
”Ini angka yang menggembirakan dan harapan kami akan turun terus. Mungkin ini juga ada efek dari program-program pemerintah yang efektif,” ucap Letnan Kolonel Laut dokter gigi M Arifin dari Humas RSDC Wisma Atlet, dalam gelar wicara yang diadakan di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, dan disiarkan langsung pada Senin.
RSDC Wisma Atlet Kemayoran terdiri dari empat menara (Menara 4-7) yang bisa menampung total 5.994 pasien terkonfirmasi positif Covid-19, mulai dari yang tidak bergejala hingga bergejala sedang. Pada Senin pukul 06.00, jumlah pasien di sana 2.852 orang sehingga tingkat okupansinya 47,58 persen.
Sebagai perbandingan, pasien sepekan sebelumnya, Senin (8/3), sebanyak 3.748 orang sehingga tingkat keterisian 62,52 persen. Pada 1 Maret, tingkat keterisian 79,54 persen karena RSDC Wisma Atlet Kemayoran merawat 4.768 pasien.
PPKM mikro jadi model yang pas bagi Indonesia untuk menghentikan penularan di daerah padat penduduk baik di desa, kelurahan, maupun tempat terpencil.
Padahal, RSDC Wisma Atlet Kemayoran sudah tidak ”dibantu” lagi oleh Wisma Atlet Pademangan di Jakarta Utara. Sebelumnya, Menara 8 dan 9 di Pademangan turut dijadikan RSDC di bulan Januari setelah libur Natal dan Tahun Baru karena Kemayoran sudah sangat kewalahan menerima pasien yang jumlahnya terus melonjak hingga tingkat keterisian hampir 90 persen.
Pertengahan Februari, tinggal Menara 8 di Pademangan yang digunakan untuk menerima pasien Covid-19 karena jumlah pasien terus menurun. Kini, Menara 8 pun tidak menerima pasien lagi sehingga seluruh pasien yang dirujuk ke RSDC diarahkan untuk ditempatkan di Menara 4-7 Kemayoran.
Menara 8-10 di Pademangan sekarang dikembalikan fungsinya sebagai tempat karantina warga negara Indonesia berkriteria tertentu (pekerja migran, pelajar, aparatur sipil negara) yang baru saja kembali ke Tanah Air seusai bekerja atau berkegiatan di luar negeri.
Arifin mengatakan, berdasarkan fakta di lapangan, dinamika tingkat keterisian Wisma Atlet sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 serta mobilitas masyarakat. Ia mencontohkan, setiap sekitar dua pekan setelah libur panjang pada tahun lalu, lonjakan jumlah pasien terjadi. Ketika kegiatan dan pergerakan warga dibatasi, misalnya dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diperketat di Jakarta pada September 2020, jumlah pasien turun.
Sejak Februari, tren pelandaian angka tingkat hunian RSDC terus berlanjut meski sempat ada libur panjang Imlek. Ada kemungkinan ini karena pemerintah mengeluarkan kebijakan melarang aparatur sipil negara bepergian ke luar daerah sepanjang Kamis-Minggu (12-14/2/2021).
Arifin menambahkan, PPKM mikro kemungkinan juga berpengaruh terhadap makin lowongnya Wisma Atlet. ”PPKM skala mikro menurut kami efektif dan itu jika bisa dilaksanakan di seluruh Indonesia dengan baik saya yakin bisa mengendalikan dengan ketat angka terkonfirmasi positif,” ujarnya.
Menurut Brigadir Jenderal (Purn) dokter Alexander K Ginting S, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, PPKM mikro jadi model yang pas bagi Indonesia untuk menghentikan penularan di daerah padat penduduk, baik di desa, kelurahan, maupun tempat terpencil. Situasi saat PPKM mikro seakan tidak berbeda dengan PSBB karena restoran, mal, dan kantor masih bisa beroperasi dengan mengikuti protokol kesehatan. Itu lantaran intervensi pembatasan dibedakan hingga skala RT dan RW, tidak sama rata sekota atau kabupaten.
Dampaknya, lanjut Ginting, pertambahan kasus positif Covid-19 di tujuh provinsi di Jawa dan Bali mulai melandai. Tingkat keterisian tempat tidur di berbagai RS rujukan Covid-19 juga sudah di bawah 60 persen.
Pada Minggu (14/3), kasus harian nasional 4.714 kasus, berbeda dengan di bulan lalu yang bisa 7.000-an hingga 8.000-an kasus per hari. ”Sekarang kita tunggu empat minggu ke depan, apakah kasus positifnya bisa turun di bawah 4.000 dan kemudian melandai,” kata Ginting.
Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) DKI Jakarta Baequni Boerman menyampaikan, ahli pemodelan IAKMI DKI Jakarta Ibnu Susanto Joyosemito membuat prediksi jumlah kasus aktif di Indonesia pada Desember 2021 untuk mengetahui dampak dari kebijakan vaksinasi. Pemodelan menggunakan data historis dan prediksi dengan simulasi waktu Maret 2020-Desember 2021.
Hasil simulasi model tersebut, jika terus menggunakan vaksin Sinovac seperti sekarang, kasus aktif Covid-19 Desember mendatang diperkirakan lebih rendah 49,98 persen dibanding jika tidak ada vaksinasi. Jika menggunakan vaksin lain, angka penurunan berkisar 49,87 persen-51,02 persen.
”Berdasarkan hasil pemodelan IAKMI DKI Jakarta tersebut terjadi penurunan jumlah kasus yang signifikan antara adanya program vaksinasi dan tanpa adanya program vaksinasi,” ujar Baequni. Namun, angka itu belum dalam batas aman. Vaksinasi saja dengan demikian tidak cukup sehingga 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas) mesti terus dikampanyekan.
Karena itu, Baequni mendorong pemerintah mempercepat perluasan vaksinasi sekaligus makin menggencarkan edukasi 5M hingga tingkat akar rumput. Pemerintah bisa bermitra dengan tenaga kesehatan masyarakat untuk mengawal masyarakat hingga level RW dan desa atau kelurahan dalam mencegah penyebaran Covid-19.