Kebijakan Pengelolaan Sampah Tangsel yang Tak Selesaikan Masalah
Untuk mengatasi persoalan sampah, Pemerintah Kota Tangerang Selatan memilih mengirim sampah ke Kota Serang. Upaya yang dinilai hanya memindahkan masalah ke tempat lain.
Upaya mengatasi sampah di Kota Tangerang Selatan, Banten, memasuki babak baru. DPRD Tangerang Selatan, Senin (8/3/2021), akhirnya menyetujui rencana Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengirim ratusan ton sampah per hari ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cilowong di Kota Serang, Banten. Namun, kebijakan tersebut dinilai hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Rencana kerja sama pengelolaan sampah dengan Kota Serang bak oase di gurun pasir bagi Kota Tangsel yang selama ini bergelut dengan masalah sampah. Kota Tangsel memiliki Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Cipeucang yang terdiri atas dua zona, zona pertama memiliki luas 2,5 hektar dan zona kedua seluas 1,7 hektar.
Namun, beberapa waktu terakhir TPAS Cipeucang tak sanggup lagi menampung 980 ton sampah warga Tangsel setiap harinya. Sebab, kapasitas TPAS Cipeucang hanya mampu menampung sekitar 400 ton sampah per hari.
Surat sudah dilayangkan ke banyak daerah, tetapi yang menerima hanya Kota Serang. (Wawan Syakir)
Puncaknya, TPAS Cipeucang longsor pada 22 Mei 2020. Longsoran itu membuat gunungan sampah tumpah ke Sungai Cisadane yang terletak sekitar 50 meter di samping TPAS yang beroperasi sejak 2012 itu. Dua pertiga badan sungai tertutup timbunan sampah. Tembok turap penahan sampah jebol sekitar 60 meter.
Setelah longsor itu, Pemkot Tangsel menyadari TPAS Cipeucang sudah tak mungkin lagi dipertahankan untuk jangka panjang. Hal serupa juga diungkapkan anggota DPRD Tangsel dari Fraksi Partai Demokrat, Wawan Syakir. Kerja sama antara Pemkot Tangsel dan Pemkot Serang terjadi karena TPAS Cipeucang sudah tidak bisa digunakan untuk terus menampung sampah.
Baca juga : Alarm Peringatan Longsornya TPA Cipeucang
Selain itu, keberadaan TPAS Cipeucang juga tidak sesuai karena menyalahi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3 Tahun 2013. Sesuai aturan itu, TPA tidak boleh berada di kawasan lindung. Adapun TPAS Cipeucang berada di bantaran Sungai Cisadane yang merupakan kawasan lindung. Jarak TPA dengan permukiman juga seharusnya lebih dari 1 kilometer, sedangkan lokasi TPA dengan permukiman sekitarnya tidak sampai 50 meter.
Peraturan menteri itu juga menetapkan syarat-syarat tambahan bagi TPA lama yang sudah beroperasi untuk meminimalkan dampak terhadap permukiman. Syaratnya, antara lain, TPA dioperasikan dengan metode lahan uruk terkendali atau lahan uruk saniter. Caranya dengan menutup timbunan sampah menggunakan tanah penutup secara periodik, mengolah air lindi yang dihasilkan, mengelola biogas, serta membangun area tanaman penyangga di sekeliling lokasi TPA.
Tiada pilihan
Pemkot Tangsel tidak punya pilihan lokasi lagi untuk membuang sampah karena ketiadaan lahan yang representatif. Lahan tersisa di wilayah Pemkot Tangsel rata-rata merupakan bank tanah atau lahan cadangan dari pengembang perumahan.
Oleh karena itu, Pemkot Tangsel harus mencari lokasi baru sebagai tempat pembuangan sampah. Wawan yang juga menjadi bagian dari Panitia Khusus (Pansus) Kerja Sama Pengelolaan Sampah antara Pemkot Tangsel dan Pemkot Serang menyebut penjajakan kerja sama pengelolaan sampah dengan daerah lain juga sudah dilakukan.
”Surat sudah dilayangkan ke banyak daerah, tetapi yang menerima hanya Kota Serang,” ujarnya.
Kemudian terjalin kesepakatan bersama antara Pemkot Serang dengan Pemkot Tangsel terkait rencana kerja sama pengelolaan sampah pada 22 Januari 2021. Kedua pemerintah kota menyepakati pembuangan sampah 400 ton per hari ke TPAS Cilowong.
Dari kesepakatan bersama itu kemudian akan ditindaklanjuti lagi oleh kedua pemkot menjadi perjanjian kerja sama. Namun, rencana kerja sama harus mendapat persetujuan DPRD Tangsel terlebih dulu.
DPRD Tangsel melalui pansus kerja sama pengelolaan sampah lalu mengkaji rencana kerja sama tersebut. Pansus butuh waktu 45 hari untuk mengkaji. Tidak ada dinamika berarti selama pembahasan hingga pansus akhirnya menyetujui rencana kerja sama.
Dinamika yang sesungguhnya justru terjadi di Kota Serang. Sejumlah mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat di sekitar TPAS Cilowong menolak rencana Pemkot Serang menampung 400 ton sampah dari Tangsel. Mahasiswa menggelar aksi penolakan dengan cara menginap di TPAS Cilowong.
Baca juga : Aroma Busuk Sampah TPA Cipeucang Menguar hingga Radius 6 Kilometer
Menurut salah satu mahasiswa yang menolak rencana kerja sama antara Pemkot Serang dan Pemkot Tangsel, Furqon, pengelolaan sampah di TPAS Cilowong yang saat ini berasal dari Kota Serang dan Kabupaten Serang belum dilakukan dengan benar.
”Berdasarkan hasil kajian, pengelolaan sampah di Kota Serang masih belum dirasa cukup maksimal sehingga kami menyarankan untuk membenahi dulu, baru bisa membantu daerah lain,” ujar Furqon dikutip dari Kompas.com.
Pendapat berbeda diutarakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Serang Ipiyanto. Ia mengatakan, kerja sama pengelolaan sampah dengan Pemkot Tangsel dinilai menguntungkan.
Kota Serang setidaknya akan mendapatkan bantuan keuangan khusus (BKK) dari Kota Tangsel sebesar Rp 21 miliar selama tiga tahun kerja sama berlangsung. Selain itu, ada juga kompensasi dampak negatif (KDN) yang akan dibayarkan Pemkot Tangsel.
Ipiyanto menyampaikan, keuntungan yang diperoleh dari kerja sama itu bakal digunakan meningkatkan kapasitas pengolahan sampah di TPAS Cilowong. Menurut dia, dengan hanya mengandalkan APBD, Kota Serang tidak akan dapat menuntaskan permasalahan sampah yang saat ini terjadi.
”Satu hal menjadi keuntungan adalah bahwa dengan adanya bantuan dari Tangsel ini, kami Pemkot Serang dapat membeli alat sekaligus menyelesaikan persoalan sampah dari Tangsel dan persoalan sampah di kami yang sudah cukup lama,” kata Ipiyanto.
Memindahkan masalah
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi melihat, upaya Pemkot Tangsel mengirim sampah ke Kota Serang hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengirim sampah ke Kota Serang, bagi Ahmadi, tidak menyelesaikan inti masalah sampah di Tangsel.
Upaya kerja sama itu justru menambah beban baru ke Pemkot Serang. Pada akhirnya yang dikorbankan lagi adalah masyarakat dan lingkungannya. ”Harusnya Pemkot Tangsel melakukan upaya pengurangan, pengendalian, atau pengelolaan sampah mulai di tingkat sumbernya. Itu yang belum mereka lakukan,” kata Ahmadi.
Baca juga : Konflik dan Musibah Karena Sampah
Modal awal untuk mengurangi volume sampah harian sebenarnya telah dimiliki Kota Tangsel. Sejak Mei 2011, Pemkot Tangsel membangun tempat pembuangan sampah terpadu recycle, reuse, dan reduce (TPST3R). Berdasarkan data DLH Tangsel, jumlah TPST3R cenderung menurun.
Pada 2021 terdapat 39 TPST3R di Tangsel. Sebelumnya pada 2018, tercatat ada 53 TPST3R. TPST3R akan memilah serta mengolah sampah organik dan anorganik sehingga volume sampah bisa ditekan.
Namun, upaya itu kembali dihadapkan pada tantangan membangun kesadaran masyarakat untuk peduli dengan sampah. Berdasarkan penelitian kinerja Dinas Kebersihan Tangsel dalam pengelolaan sampah di Kota Tangsel (Retnowati, 2016), warga Tangsel pada umumnya belum terlalu peduli pada pengelolaan sampah rumah tangga. Warga jarang memilah sampah dan membuangnya sembarangan, seperti mudah terlihat di jalan dekat kampung atau permukiman hingga pasar.
Selain itu, DLH Tangsel juga kesulitan memperbanyak jumlah TPST3R. Kepala Seksi Kemitraan Pemberdayaan Masyarakat DLH Tangsel Ahmad Rivai menuturkan, ketika hendak membangun TPST3R di lahan kosong, masyarakat yang memiliki atau berada di sekitar lahan tersebut menolak. Persoalan bau sampah serta lingkungan yang jorok menjadi penyebab penolakan itu.
”Jumlah TPST3R semakin berkurang karena masyarakat yang punya tanah itu menjual tanahnya sehingga TPST3R tidak bisa berlanjut. Menambah TPST3R di lokasi baru juga sulit karena sedikit masyarakat yang bersedia,” kata Rivai.
Baca juga : Percepat Pembersihan dan Pemulihan Sungai Cisadane
Adapun menurut Ahmadi, masyarakat belum tumbuh banyak kesadaran akan bahaya sampah karena sosialisasi dari pemerintah tergolong minim. Ia menyebut ada beberapa komunitas yang sudah mengolah sampah di Tangsel. Namun, belum didorong dan diperluas oleh pemerintah.
Bagi Ahmadi, yang terpenting untuk dilakukan Pemkot Tangsel sekarang adalah segera mendorong pengelolaan sampah berbasis rumah. Untuk pengelolaan sampah di rumah tangga harus berbasiskan karakter sampahnya. Sebagai contoh untuk sampah organik, bisa dibuat semacam pemberian intensif kepada masyarakat dari pemerintah.
”Misalnya, pemerintah akan membeli produk kompos yang dikelola komunitas sampah organik. Jadi, kan, taman-taman di kota ini perlu diberi pupuk organik secara berkala. Nah, bisa diambil dari sana. Jadi, komunitas dapat meningkatkan ekonominya kemudian sampah jadi terkelola. Harusnya bisa seperti itu. Ini tergantung pada keseriusan di pemerintahnya saja,” tutur Ahmadi.
Ahmadi menambahkan, persoalan sampah semestinya lebih diprioritaskan oleh Pemkot Tangsel. Sebagaimana diungkapkan juga oleh Bakti Setiawan dalam bukunya, Transformasi Perkotaan di Indonesia (2020), kota yang mengalami keadaan darurat sampah tak akan dapat bertransfomasi secara berkelanjutan ke depan.
Diperlukan tidak saja perubahan paradigma, tetapi juga gerakan inovatif, komprehensif, dan strategis untuk memastikan kota-kota yang akan hidup dan berkembang tanpa sampah serta menjadikannya sebagai salah satu sumber daya kota utama. Di Kota Tangsel, soal gerakan dan paradigma itu juga bagian dari masalah pengelolaan sampah.