Korban Banjir Jakarta Sadar Krisis Iklim Kian Nyata
Masyarakat Jakarta semakin menyadari pembangunan kota yang tidak tertata bukan satu-satunya pemicu bencana banjir. Curah hujan yang tinggi dan tidak dapat diprediksi kini menjadi ancaman, setidaknya dua tahun terakhir.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Gang di permukiman warga RT 016 RW 011 Kramatjati, Jakarta Timur, masih tergenang banjir pada Minggu (21/2/2021) siang.
Pasangan suami-istri Wahyudi (36) dan Jamilah (35) sibuk mengepel lantai rumah, sambil memindahkan barang yang basah karena banjir untuk dijemur. Minggu (21/2/2021) siang, banjir tinggal menggenangi jalanan dan perlahan surut ke arah Kali Cipinang, yang berada di perbatasan timur RT 016 RW 011, Kelurahan Kramatjati, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur.
Sabtu lalu, banjir merendam rumah kontrakan mereka setinggi sekitar 1,5 meter. Hujan deras yang turun pada Sabtu dini hari membuat genangan yang sempat menghampiri pada hari sebelumnya naik semakin tinggi. Sabtu pagi, mereka sekeluarga mengungsi ke masjid yang lokasinya lebih tinggi ketika genangan air sudah setinggi lebih kurang 100 cm.
Kejadian kemarin mengingatkan Jamilah pada banjir besar yang menyambut mereka pada awal 2020. Hujan berjam-jam pada malam pergantian tahun juga membuat rumah mereka terendam beberapa hari, walau tidak setinggi banjir awal tahun ini. Pada Februari 2020, banjir besar juga kembali menerjang.
”Jujur, kami, sih, enggak trauma, ya, sama banjir. Cuma heran aja, kenapa sekarang banjirnya datang setiap tahun,” ujar Jamilah, seorang ibu rumah tangga.
Setelah tinggal bersama suami di daerah tersebut selama belasan tahun, Jamilah yang besar di Tambora, Jakarta Barat, mengaku sudah terbiasa dengan banjir dan risikonya. Namun, ia mengakui perubahan iklim yang membuat curah hujan lebih tinggi menjadi ancaman baru.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Warga RW 011 Kramatjati, Jakarta Timur, membersihkan jalanan yang dikotori sampah dan lumpur dari air banjir yang perlahan surut, Minggu (21/2/2021) siang.
Keresahan itu juga diakui Wahyudi, pemuda Betawi yang tinggal di kawasan tersebut sejak lahir. Sebelum kejadian banjir tinggi kemarin, ia sempat mendengar kabar peringatan bahwa hujan besar akan turun dan warga diminta waspada.
Namun, ia mengaku pasrah karena daerah dekat kali tersebut rentan banjir setiap musim hujan. Banjir besar kerap muncul ketika banyak empang di sekitar kali ditutup untuk dibangun rumah-rumah belasan tahun lalu.
Hilangnya empang dan sempitnya saluran air di kawasan permukiman dinilai sebagai penyebab banjir besar rentan terjadi, kendati kali sudah diperlebar. Sejak saat itu, mereka mengantisipasi banjir besar yang biasanya terjadi lima tahun sekali.
”Tetapi, kok, sekarang banjir besar datang tiap tahun. Tahun lalu aja ada sampai tiga kali banjir. Jadi, ini semakin enggak bisa ditebak,” kata pria yang sehari-hari bekerja serabutan tersebut.
Menghadapi situasi itu, Wahyudi tidak bisa berbuat banyak. Di satu sisi ia mengharapkan hidup yang layak dengan memiliki rumah sendiri yang bebas dari banjir untuk ditinggali bersama istri dan tiga anaknya. Di sisi lain ia sulit meninggalkan orangtua yang juga menetap di kawasan tersebut dan kenangan kecil di kampung tercintanya.
Warga Ciracas, Jakarta Timur, seperti Nurul Huda (52), juga merasakan kekhawatiran serupa setelah banjir kemarin yang sudah perlahan surut. Tinggal berpuluh-puluh tahun di daerah tersebut, ia tidak pernah mengalami banjir besar tiap tahun berturut-turut.
Kejadian banjir pada Januari 2020 ia anggap sebagai bencana terbesar, setelah lebih dari lima tahun tidak ada banjir. Pengalaman itu membuat ia meninggikan jalan masuk ke rumahnya sampai setengah meter dari permukaan jalan gang. Namun, hujan besar Sabtu kemarin tetap menggenangi rumahnya sampai sekitar 50 cm. Di luar rumahnya, banjir bahkan mencapai 1 meter.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Gang di permukiman warga RW 011 Kramatjati, Jakarta Timur, dipenuhi barang-barang yang selamat dari banjir, Minggu (21/2/2021) siang.
”Hujan yang enggak berhenti dari tengah malam sampai pagi katanya bikin tanggul Kali Cipinang jebol. Air dari luar sampai bisa masuk ke sini, padahal rumah sudah ditinggiin,” kata Nur saat dihubungi Kompas.
Ia menduga curah hujan tinggi menjadi faktor terbesar banjir. Daerah yang dilalui Kali Cipinang memang kerap melimpahkan air ke daerah di sekitarnya ketika sedang meluap. Namun, rumahnya terbilang jarang terkena banjir, melainkan hanya genangan yang lewat sesaat.
Tidak seperti biasanya, Nur mengaku agak trauma ketika hujan turun berjam-jam. Apalagi, setelah ia mengetahui prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa potensi hujan dengan intensitas lebat merata di seluruh wilayah Indonesia pekan depan. Puncak musim hujan juga diperkirakan hingga awal Maret 2021.
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, banjir terjadi sejak hujan bercurah tinggi berturut-turut pada Kamis hingga Sabtu (18-20/2/2021) di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sebanyak 113 rukun warga (RW) tergenang banjir dan 3.311 warga mengungsi, berdasarkan data per 20 Februari pukul 12.00 WIB.
BPBD DKI Jakarta juga mencatat, curah hujan tertinggi selama banjir kali ini mencapai 226 milimeter (mm) per hari. Curah hujan tersebut tidak setinggi rekor pada kejadian banjir 1 Januari 2020 yang mencapai 377 mm per hari. Sebanyak 36.445 warga dari 390 RW yang tergenang mengungsi.
Intensitas hujan hampir sama pernah terjadi pada Februari 2007 dengan 340 mm per hari. Saat itu, 955 RW tergenang dan 276.333 orang harus mengungsi.
Kebijakan Iklim
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta kembali mengingatkan, berbagai krisis lingkungan hidup yang terakumulasi telah memicu bencana ekologis.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengemukakan, banjir Jakarta menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemerintah provinsi yang berada di sekitarnya, dan pemerintah pusat.
”Pemerintah belum juga memiliki political will untuk melakukan koreksi terhadap arah kebijakan ruang yang semakin eksploitatif terhadap alam. Kita tahu, krisis iklim disebabkan kebijakan pembangunan dan ekonomi yang terus menggerus alam,” katanya dalam keterangan tertulis.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Barang-barang yang selamat dari banjir, Minggu (21/2/2021) siang, di rumah warga RW 011 Kramatjati, Jakarta Timur.
Atas dasar itu, Walhi DKI Jakarta mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk tidak hanya menanggulangi bencana dan menyelamatkan warga korban banjir, tetapi juga mengoreksi dan mengevaluasi kebijakan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup dan keselamatan warga. Ini, antara lain, proyek reklamasi dan pemberian izin-izin bangunan.
Selain itu, memulihkan lingkungan hidup yang sebelumnya telah dihancurkan oleh kebijakan pembangunan, memulihkan ekonomi dan sosial warga yang terdampak banjir, dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami warga terdampak.
Pemerintah juga harus menjamin ketidakberulangan banjir serupa, dengan memastikan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi bencana yang sejalan dengan Undang-undang Penanggulangan Bencana dengan melibatkan partisipasi warga serta mengoreksi komitmen penurunan emisi Indonesia menjadi lebih ambisius.
Masukan untuk jangka pendek juga diharapkan dilakukan segera mengingat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memperingatkan adanya tren bencana hidrometeorologi di Indonesia yang dinilai rentan dengan krisis iklim.
BNPB mencatat, sejak awal 2021 hingga 9 Februari telah terjadi 386 bencana di Indonesia. Bencana tersebut didominasi bencana banjir sebanyak 232 kejadian, puting beliung 73 kejadian, serta tanah longsor 62 kejadian.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat meninjau Pintu Air Manggarai di Jakarta Selatan menuturkan, curah hujan ekstrem di atas 150 mm per hari tidak mampu ditampung Jakarta. Saluran air di Jakarta hanya mampu mengalirkan paling banyak air hujan dengan intensitas 100 mm per hari (Kompas, 20/2/2021).
”Prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ialah tak boleh ada korban jiwa dalam banjir ini dan genangan harus bisa surut dalam waktu enam jam,” kata Anies.
Berdasarkan data BPBD DKI Jakarta, per Minggu pukul 09.00 WIB, banjir menyebabkan lima orang meninggal. Korban meninggal terdiri dari 1 orang dewasa dan 4 anak-anak. Para korban meninggal karena terkunci di dalam rumah, hanyut, hingga tenggelam arus banjir.