Angkutan Umum dan Kendaraan Dinas Jadi Pionir Penerapan Rendah Emisi di DKI Jakarta
Pemakaian kendaraan rendah emisi di Ibu Kota semakin diperlukan mengingat Jakarta tercatat sebagai kota nomor lima di Asia Tenggara dengan pencemaran udara terburuk.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemakaian kendaraan rendah emisi di Ibu Kota semakin diperlukan mengingat Jakarta tercatat sebagai kota nomor lima di Asia Tenggara dengan pencemaran udara terburuk. Apabila belum bisa membuat kebijakan yang mengikat masyarakat secara umum, bisa dimulai dari angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi mengenai pengelolaan belanja publik berkelanjutan yang diadakan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal di Jakarta, Rabu (17/2/2021). Disebutkan pula data Dewan Internasional untuk Transportasi Ramah Lingkungan (ICCT) yang mengatakan bahwa kota-kota di Indonesia menduduki sepuluh besar kota dengan mutu udara terburuk di Asia Tenggara.
Berdasarkan data IQ Air 2019, kota-kota di Indonesia dengan pencemaran udara terburuk meliputi Tangerang Selatan, Bekasi, Pekanbaru, Pontianak, Jakarta, dan Surabaya. Kota lain di Asia Tenggara, di antaranya, adalah Hanoi di Vietnam dan Nakhon Ratchasima di Thailand.
Jakarta memiliki rekor konsentrasi partikulat yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron dan bisa terhirup manusia sebanyak 67,2 mikrogram per meter kubik. Penyebab pencemaran ini adalah asap kendaraan bermotor, pabrik, dan pembangkit listrik tenaga batubara yang berada di sejumlah wilayah satelit.
Hayidrali Muhammad dari Indonesia Procurement Watch mengatakan, penting bagi Jakarta untuk memulai inisiatif memopulerkan kendaraan ramah lingkungan dan beremisi rendah. Hal ini karena Jakarta masih dianggap sebagai acuan bagi kota-kota lain. Sebagai contoh, sistem Transjakarta kini juga berkembang di Yogyakarta dalam rupa Transjogja. Demikian pula hari bebas kendaraan bermotor yang kini juga diterapkan di beberpa kabupaten/kota.
”Pintu masuk yang tepat ialah dari angkutan umum, seperti bus listrik dan berbagai kendaraan operasional Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” tuturnya. Di tingkat pusat, Kementerian Perhubungan sudah memulai inisiatif mengganti mobil-mobil dinas pejabatnya dengan mobil listrik.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Angkutan Jalanan Dinas Perhubungan Jakarta Susilo Dewanto mengungkapkan, pada 2021 pihaknya menargetkan memperoleh 100 bus listrik. Rinciannya, 70 bus berdek rendah untuk mengangkut penumpang dari halte di trotoar dan 30 bus berdek tinggi untuk mengangkut penumpang dari halte di median jalan. Semua akan dioperasikan di bawah naungan PT Transjakarta.
Pintu masuk yang tepat ialah dari angkutan umum, seperti bus listrik dan berbagai kendaraan operasional Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Susilo, Dishub secara bertahap akan mengganti kendaraan-kendaraan umum yang sudah tua. Di Jakarta, aturan penggantian bus atau mikrolet ialah setelah berusia 10 tahun sesuai dengan Instruksi Kepala Dishub Jakarta No 105/2019. Integrasi angkutan umum ke program Jak Lingko juga mempermudah koordinasi peremajaan kendaraan. Tercatat per Desember 2020 sudah 4.000 unit kendaraan umum yang dikelola oleh Jak Lingko Transjakarta.
Target untuk tahun 2030 ialah 60 persen pergerakan manusia di Ibu Kota dilakukan dengan menggunakan angkutan umum, baik bus maupun yang berbasis rel. Sisanya dipecah ke dalam angkutan ramah lingkungan, seperti sepeda, berjalan kaki, serta terakhir dengan memakai kendaraan pribadi. Adapun dari sisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2021 akan menyediakan 200 motor listrik untuk menjadi kendaraan operasional petugas Dishub.
Sekretaris Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Rosita Sinaga memaparkan, cita-cita untuk memperbanyak kendaraan rendah emisi sudah ada setidaknya sejak dua dekade lalu. Lembaga ini memiliki program yang lebih ambisius dibandingkan dengan Dishub Jakarta, yaitu pada 2024 di Jabodetabek ada 41.000 angkutan umum bertenaga listrik dan target tahun 2029 terdapat fasilitas isi daya di setiap 2 kilometer. Pandemi Covid-19 membuat BPTJ harus meramu kembali rencana program tersebut.
”Terlepas dari bisa atau tidaknya kita mencapai lebih banyak angkutan bertenaga listrik, kendala utamanya ialah produksi kendaraan di Indonesia masih yang berbasis bahan bakar minyak. Ditambah lagi cicilan pembelian kendaraan, terutama sepeda motor, relatif murah, misalnya dimulai dari Rp 500.000. Selama produksi kendaraan jenis ini tinggi, masyarakat akan sukar beralih ke kendaraan listrik,” kata Rosita.
BPTJ mencatat pertambahan kendaran pribadi masih tinggi. Pada 2019 ada 2,8 juta mobil penumpang di Jakarta, tahun 2018 jumlahnya 2,7 juta, dan pada 2017 sebanyak 2,6 juta. Demikian pula dengan jumlah sepeda motor yang terus meningkat dari 2017 hingga 2019, yaitu 7,7 juta unit, 8,136 juta unit, dan terakhir ada 8.194 juta unit. Sebaliknya, selama tiga tahun ini, jumlah bus tetap sama, yaitu 295.000 unit.
Peneliti ICCT, Francisco Posada, yang mengkaji tren pemakaian kendaraan rendah emisi secara global menjelaskan, salah satu keraguan pemerintah pusat dan daerah membeli kendaraan rendah emisi, seperti kendaraan listrik, ialah karena harganya bisa tiga kali lebih mahal dibandingkan dengan kendaraan berbasis BBM. Perawatannya juga relatif lebih spesifik mengingat membutuhkan peralatan dan sarana yang berbeda dibandingkan dengan bengkel-bengkel reguler yang ada.
”Akan tetapi, jika dihitung total dengan lama pemakaian yang melebihi kendaraan BBM, dampak ke lingkungan, dampak sosial, dan percepatan perkembangan teknologi, di daerah-daerah yang beralih ke kendaraan listrik ongkos operasional yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih rendah. Energi yang dibutuhkan oleh bus listrik bisa tiga kali lebih rendah,” paparnya. Wilayah yang telah beralih ke bus listrik adalah China, Negara Bagian California di Amerika Serikat, dan ibu kota Chile, Santiago.
ICCT mengusulkan agar pembelian kendaraan rendah emisi untuk angkutan umum dan kendaraan dinas harus disertai dengan pengembangan industri lokal. Tujuannya agar komponen kendaraan tersebut bisa diproduksi di dalam negeri sehingga mengurangi emisi karbon.