Warga Kian Berhemat Atasi Kesulitan Keuangan Selama Pandemi
Sebagian warga menghadapi sulitnya kondisi keuangan hampir satu tahun selama pandemi Covid-19. Meski harga kebutuhan kian mahal serta sulit mendapat lapangan pekerjaan, mereka tetap berjuang menghidupi keluarga.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pembatasan interaksi sosial untuk mengendalikan penularan Covid-19 membuat kondisi ekonomi warga jadi terpuruk. Hampir setahun pandemi berlangsung memaksa warga berjuang dengan berbagai cara untuk mencukupi keuangan diri dan keluarga.
Sejumlah warga di Jakarta merasakan kondisi yang kian sulit, terutama karena mahalnya harga kebutuhan pokok. Sebagian dari mereka juga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga menambah derita keuangan selama pandemi.
Parsandi (30) merasakan kesulitan lapangan kerja serta mahalnya harga bahan pokok itu hampir tiga bulan terakhir. Setelah dipecat dari pabrik kecap, dia berdagang nasi uduk bersama istri untuk tetap punya pemasukan. Keputusan berdagang juga tidak mudah lantaran harga bahan baku sedang mahal dan lingkungan tempat tinggalnya juga terendam banjir.
”Selama pandemi, beban hidup menumpuk karena bahan pokok, seperti cabai, daging, pelan-pelan makin mahal. Sudah susah mendapat pekerjaan dengan gaji bulanan, ini kena lagi musibah rumah terendam banjir,” kata warga RW 008 Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, ini, Selasa (16/2/2021).
Keluarga Parsandi bersiasat mengirit belanja harian, terutama lauk tertentu diiris lebih tipis. Lauk seperti tahu, tempe, dan telur kerap disajikan dengan ukuran yang lebih kecil. Biaya belanja di pasar sekitar Rp 400.000 mesti dicukupkan untuk berbagai keperluan.
Sementara harga cabai per kilogram di Jakarta belakangan mencapai Rp 90.000. Begitu pula harga tempe yang kini berkisar Rp 10.000-Rp 12.000 per potong. Tingginya harga bahan makanan itu membuat Parsandi semakin sulit mendapat keuntungan yang maksimal dari berdagang.
Kalau tidak dapat bansos, mungkin setiap hari makan pakai tempe, tahu, dan telur asin saja.
Kesulitan serupa juga dikeluhkan Kunaenah (53). Guru sekolah pendidikan anak usia dini ini mengurangi belanja bahan pokok karena keterbatasan uang. Dia membatasi belanja harian dengan uang Rp 50.000 untuk berbagai keperluan, termasuk bumbu dapur. Uang sebesar itu, menurut dia, dengan sendirinya tidak akan cukup untuk membeli daging ayam atau sapi.
Namun, ibu tiga anak ini mengakui, ia cukup terbantu dengan bantuan sosial bahan pokok. Dalam beberapa kali kesempatan, dia bisa memasak variasi lauk dengan sarden kaleng atau telur.
”Pengeluaran selama pandemi justru makin banyak untuk kuota internet saat mengajar sekolah. Kalau tidak dapat bansos, mungkin setiap hari makan pakai tempe, tahu, dan telur asin saja,” ujarnya.
Seiring dengan kesulitan keuangan yang dialami sebagian kelompok masyarakat, angka kemiskinan di Indonesia selama setahun ini pun bertambah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (15/2/2021) menunjukkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen. Total penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,55 juta orang, naik 1,13 juta orang dari Maret 2020 atau naik 2,76 juta orang dari September 2019.
Kemiskinan bertambah, antara lain, akibat 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi, termasuk 2,56 juta orang menjadi penganggur. Akibatnya, per Agustus 2020 ada 9,77 juta penganggur di Indonesia.
Khusus di Jakarta, jumlah penduduk miskin di Jakarta kini 4,69 persen dari total penduduknya atau 496.840 jiwa. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan angka penduduk miskin nasional, yakni 10,21 persen. Dalam enam bulan total ada penambahan warga miskin sekitar 16.000 jiwa.
”Pandemi memang memberi dampak bagi kenaikan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan perhitungan, garis kemiskinan (GK) Jakarta September 2020 ialah Rp 683.339. Artinya, setiap orang miskin membelanjakan lebih sedikit dari GK per bulan. Mayoritas, yaitu 68,46 persen uang, dibelanjakan untuk makanan,” kata Kepala BPS DKI Jakarta Buyung Airlangga pada Senin (15/2/2021).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kondisi ini relatif sama dengan pertengahan tahun 2020 silam. Sebagian besar pekerja informal serta UMKM paling terdampak situasi pandemi. Maka, kebijakan yang keluar harus berorientasi pada kalangan tersebut.
Menurut Faisal, bantuan sosial serta lapangan pekerjaan adalah hal yang dibutuhkan mereka. Seiring dengan itu, layanan kesehatan untuk mereka juga harus menjadi perhatian.
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta, Carunia Mulya Firdausy menuturkan, bansos dan stimulus memang bukan solusi permanen. Menurut dia, sambil terus mengucurkan bansos, harus ada pengalokasian anggaran penanganan pandemi yang bersifat pencegahan guna menurunkan biaya pengobatan. Ada pula stimulus berupa penurunan biaya listrik atau bahan bakar minyak untuk masyarakat miskin.
Selain itu, penting ada kegiatan produktif agar masyarakat bisa swasembada. ”Jakarta memiliki banyak aset tanah menganggur karena penundaan pembangunan atau lainnya. Tanah-tanah ini bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, seperti pertanian perkotaan, di bawah dampingan pemerintah atau lembaga mitra,” kata Carunia.