Penelusuran kontak erat dalam kasus Covid-19 di Jakarta tidak selalu mudah, salah satunya terkait alamat warga. Padahal, pengendalian Covid-19 di masa PPKM mikro bakal mengandalkan penelusuran kasus.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelacakan kasus Covid-19 di Jakarta menemui sejumlah kendala, seperti warga yang sudah pindah alamat dan penghuni tempat kos yang tidak melapor ke pengurus RT/RW. Kondisi ini perlu dibenahi agar penelusuran kasus Covid-19 bisa semakin efektif.
Pada Selasa (9/2/2021), pengendalian kasus Covid-19 akan mengacu pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro. Setiap RT dibagi ke dalam empat zona, yaitu zona hijau (tak ada kasus), kuning apabila ada 1-5 rumah dengan kasus positif Covid-19, oranye (6-10 kasus positif), dan merah (lebih dari 10 kasus positif). Setiap zona menentukan skenario pengendalian kasus.
PPKM skala mikro berlaku hingga 22 Februari. Aturan ini berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Ketua RW 002 Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Baharudin, Senin (8/2/2021), menjelaskan, ketika ada warga terkonfirmasi positif Covid-19, pihak puskesmas akan mengabari pengurus RW. Lalu, tenaga kesehatan bersama petugas RT/RW mendatangi kediaman yang bersangkutan. ”Nanti tenaga kesehatan yang menentukan, apakah warga itu harus dirujuk atau bisa isolasi di rumah,” katanya.
Dia menambahkan, petugas RT/RW pun ikut membantu tenaga kesehatan melacak warga yang positif atau tergolong kontak erat. Biasanya, informasi terkait warga terkonfirmasi positif datang dari dua arah. ”Ada informasi dari puskesmas, ada juga yang inisiatif warga yang melapor ke kami,” tambahnya.
Menurut dia, salah satu kendala dalam pelacakan adalah menemukan warga yang alamatnya tak sesuai domisili. Di RW 002, misalnya, sekitar 40 persen warga dengan alamat RW 002 Gelora, tetapi tak lagi tinggal di wilayah ini. Beberapa dari mereka masih bisa ditemukan alamat barunya. Namun, ada pula warga yang pindah domisili dan tak bisa dilacak alamatnya.
”Kadang data dari puskesmas, ada warga kami yang positif, tetapi ketika tes usap tak melampirkan nomor kontak. Ini kalau masih bisa dicari, kami bantu. Yang susah itu (mereka yang sudah) pindah alamat, dan kami juga tak mengetahui alamat barunya. Mau dicari ke mana,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mendorong setiap warga baru untuk segera melapor ke RT setempat, termasuk penghuni tempat kos. Menurut dia, belum semua penghuni tempat kos melapor ke RT di wilayah RW 002.
”Kami serba salah sama anak kos ini. Mereka enggak bayar retribusi, tak ikut gotong royong warga. Tetapi, ketika sedang ada wabah begini, mau tak mau harus diurus karena mereka ada di wilayah kami. Makanya, paling tidak melaporlah. Biar nanti kalau ada kasus positif Covid-19 yang melibatkan mereka, pelacakan jadi lebih mudah,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Baharudin, ada empat warga terkonfirmasi positif Covid-19 di RW 002. Mereka semua dirawat di rumah sakit rujukan. Sebelumnya, ada sejumlah warga melakukan isolasi mandiri (isoman) di RW 002.
”Warga isoman sama sekali tak kami bolehkan keluar rumah. Itu nanti ada petugas kami yang ngawasin. Dari RW nanti ada bantuan sembako berupa beras 20 kg, minyak goreng, dan mi instan,” ujarnya.
Baharudin menyatakan belum menerima instruksi khusus terkait PPKM mikro. Namun, Gugus Tugas Pengendalian Covid-19 di tingkat RT/RW sudah terlatih dalam pengendalian kasus.
Di RW 002 terdapat Posko Kampung Tangguh Jaya bentukan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di posko ini, ada petugas RW yang menjaga wilayah selama 24 jam. Mereka terbagi ke dalam tiga sif. Setiap sif ada empat petugas RW. Selain memastikan warga menerapkan protokol kesehatan, petugas akan mengawasi pintu perbatasan RW 002. Sejumlah portal akan ditutup di waktu tertentu.
Lurah Grogol Utara, Jakarta Selatan, Sariman mencatat ada dua persoalan besar dalam pengendalian Covid-19 di tingkat RT/RW. Pertama, ketidakcocokan alamat domisili. ”Kadang, alamatnya bukan Grogol Utara, tetapi mereka tinggal di sini. Makanya, setiap petugas RT selalu mendorong kepada anak kos atau warga yang ngontrak untuk mendaftarkan diri. Tetapi, kenyataannya, belum semuanya punya kesadaran untuk mendaftar,” ujarnya.
Terkait hal ini, Gugus Tugas Pengendalian Covid-19 di RT/RW Grogol Utara sering menyambangi tempat kos atau rumah warga yang belum mendaftarkan diri. Pemilik tempat kos diminta segera melapor ketika ada penghuni baru atau ada penghuni kos yang keluar.
Selain ketidakcocokan alamat domisili, masalah yang tak kalah pelik dalam pelacakan adalah mobilitas warga. Warga yang berprofesi sebagai pedagang kadang tak mau menjalani isolasi.
"Pernah ada warga kami positif Covid-19. Dia jualan di Palmerah (Jakarta Barat). Disuruh isolasi enggak mau karena khawatir enggak bisa makan. Pihak RW lalu menyediakan sembako, terus masih juga menghubungi saya. Dia nanya bagaimana cara cari uang. Saya yang pusing jawabnya,” ujarnya.
Hingga kemarin, kata Sariman, ada 99 warga Grogol Utara menjalani isoman. Sebanyak 18 warga dirawat di rumah sakit rujukan.
Tanpa penerapan PPKM skala mikro pun, dia melanjutkan, pengendalian kasus di tingkat RT/RW sudah berjalan. Ada Satgas Pengendalian Covid-19 yang rutin memeriksa kepatuhan warga dalam menerapkan protokol kesehatan. ”Para sukarelawan ini kami lengkapi rompi dan ban. Biasanya ini efektif untuk mengingatkan warga. Kalau mereka datang, warga yang maskernya melorot dibenerin semua. Yang tak pakai masker pasti kabur melihat mereka,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Ikhwani Sofia (26), perempuan yang indekos di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, mengatakan bahwa dirinya tak pernah melapor atau bertemu langsung petugas RT di wilayah tempat kosnya. Namun, dia sudah memberikan fotokopi identitas ke pemilik tempat kos. ”Enggak tahu, ya, dari pemilik kosnya apakah dilanjutkan ke RT apa tidak,” ujar perempuan yang sudah 1,5 tahun indekos di kawasan itu.
Sebagai penghuni rumah kos, dia siap membantu petugas RT/RW dalam pengendalian kasus Covid-19 di tempat tinggalnya. Hanya saja, selama ini tidak pernah ada forum yang mempertemukan penghuni kos dan petugas RT. ”Kalau dibilang individualis enggak juga. Mungkin karena komunikasi saja kurang lancar. Kalau misalnya RT butuh bantuan atau ada kegiatan terkait Covid-19, kami anak kos kalau lagi senggang mau ikut kok,” ujarnya.
Berdasarkan data per 6 Februari yang diolah Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara, 88 dari total 265 kelurahan di Jakarta berkategori hitam. Disebut daerah hitam karena kasus aktif di wilayah itu lebih dari 100. Menurut peneliti senior Centropolis, Suryono Herlambang, belum ada penjelasan dari pemerintah mengenai tingginya kasus aktif di kelurahan-kelurahan itu. Kluster penularan pun belum terlacak (Kompas, 8/2/2021).