Gelandangan Ingin Mandiri Tentukan Nasib
Mereka merasakan jalanan yang memberikan penghidupan meskipun teramat minim. Tidur di rumah semipermanen atau di emperan toko pun cukup.
Soleh baru bangun dari istirahat siangnya, Senin (25/1/2021). Tangannya langsung sibuk mengupas kulit rambutan yang sudah kering, menghitam, dan mengerut. Camilan manis itu buah tangan sang istri, seusai pergi memulung sampah pagi harinya. Pria usia 60 tahunan ini tidak lagi bisa bekerja karena kakinya tidak mampu berjalan jauh.
Berbaring di samping Soleh, sang istri, Siti Nurmala Dewi, membuka setengah matanya ketika beberapa anak kucing bermain di dekat tubuhnya. Terhitung ada lima anak kucing berusia beberapa hari, meramaikan peraduan pasangan suami-istri tersebut.
Peraduan mereka berupa kasur busa tebal yang sudah koyak sana sini. Kerangka atap bambu berlapis terpal dan parasut menaungi kasur itu. Atap tersebut ditopang tiang dari kayu bekas, dengan fondasi kotak-kotak kayu. Berbagai barang rongsokan bertebaran, memenuhi bedeng seluas kurang lebih 5 meter persegi dan tinggi 1,5 meter itu.
Di bawah pohon rindang di pinggir Sungai Ciliwung, kawasan Karet, Tanah Abang, Jakarta Pusat, keduanya berharap hujan deras yang kerap menandai puncak musim hujan pada Januari tidak menghancurkan tempat tinggal mereka. Kalau doa mereka tidak terkabul berarti malapetaka membayangi pasangan yang baru lima bulan menggelandang itu.
Baca juga : Gelandangan Belum Optimal Tertangani
Ancaman cuaca bagi perempuan berusia setengah abad yang biasa disapa Mak Nur ini, sama menakutkannya dengan risiko penggusuran oleh satuan polisi pamong praja. Pasalnya, mereka mendirikan bedeng di sempadan sungai yang menjadi jalan inspeksi untuk dilewati kendaraan, tepatnya di Jalan Tenaga Listrik.
Di lokasi tersebut, tidak hanya ada Soleh dan Mak Nur. Belasan tunawisma yang bekerja sebagai pengumpul sampah atau barang bekas juga tinggal di sana. Selayaknya gelandangan, hidup mereka penuh waswas.
”Waktu itu pernah didatangi petugas. Mereka enggak ngusir, sih, cuma minta kami urus KTP (kartu tanda penduduk) dan KK (kartu keluarga). Dokumen-dokumen kami soalnya sudah lama hilang karena kebakaran beberapa tahun lalu. Mau urus enggak ada uang,” ujar Mak Nur saat ditemui.
Baca juga : Panti Sosial Belum Membuat Nyaman Gelandangan
Tidak adanya dokumen atau surat kependudukan membuat pasangan asal daerah transmigrasi di Lampung itu tidak pernah mendapatkan bantuan sosial, terlebih selama masa pandemi Covid-19. Padahal, mereka menjadi gelandangan sejak pandemi.
Pekerjaan sebagai pengumpul sampah sebelumnya mampu membuat pasangan ini menyewa kontrakan rumah Rp 500.000 per bulan, juga biaya mandi cuci kakus (MCK), dan keperluan makan sehari-hari. Sejak pandemi terjadi, pendapatan mereka malah merosot.
Menurut Soleh, mereka jadi kesulitan mengumpulkan banyak sampah karena pesaing mereka, yaitu sesama pemulung sampah, dirasa semakin banyak. ”Dulu, sekali jalan, bisa dapat sampah dua karung. Sekarang, perlu tiga empat kali jalan untuk dapat dua karung,” kata Soleh.
Baca juga : Memulung Nasib di Emperan Toko
Penghasilan yang didapat dari mengumpulkan sampah saat ini sekitar Rp 30.000 dalam dua hari. Uang itu sebagian besar didapat dari hasil mengumpulkan sampah gelas atau botol plastik yang sudah dibersihkan. Selain itu, kardus juga biasa dikumpulkan untuk mereka jual.
Pendapatan tersebut diakui cukup untuk membiayai hidup menggelandang. Mak Nur masih bisa berbelanja sayuran dan membeli beras untuk dimasak dengan kompor kayu bakar di samping ”rumah”.
Sesekali, kebutuhan makan mereka juga ditopang anak kandung yang tinggal tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun, pasangan ini tetap tidak mau terlalu bergantung pada keluarga anak lantaran anak-anak mereka pun memiliki kesulitan ekonomi dan masalah keluarga masing-masing.
Soleh dan Nur memilih tetap bekerja semampunya dan menikmati hidup. Mak Nur yang senang berkebun, misalnya, memanfaatkan sedikit lahan tanah di pinggir jalan untuk ditanami berbagai bibit tanaman. Ia menanam tanaman rimpang, talas, buah naga, bahkan durian.
Perempuan asli Jawa Timur itu bahkan masih mampu memenuhi makan kucing-kucing kampung peliharaannya. Saat pergi mencari sampah di pasar, ia mencari sisa daging atau tulang di restoran untuk pakan bagi hewan kesayangannya ini.
Kendati merasa cukup dengan kehidupan saat ini, Soleh dan Nur tetap ingin menghabiskan masa tua dengan kehidupan yang lebih baik. ”Kalau ada uang, Rp 1,5 juta aja, saya maunya ajak bapak balik ke kampung di Lampung, kerja berkebun, dan tinggal sama saudara di sana,” pungkas Mak Nur.
Baca juga : Pengembara Jalanan, Penjaga Kebersihan Kota
Bebas ikatan
Firmansyah (50) alias Imang, tunawisma yang baru setahun hidup di Ibu Kota, juga masih ingin hidup mandiri dan bebas ikatan. Ditemui di kawasan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Imang, yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar, mengaku tidak mau jika harus hidup terikat, terutama di panti sosial yang menjadi tempat rehabilitasi para penyandang masalah kesejahteraan sosial.
”Saya pernah dengar saja, sih, soal panti sosial itu. Kalau saya ditawari, saya enggak mau. Walaupun dapat tempat tinggal dan pelatihan, hidup jadi terikat,” ujar pria yang mengaku berasal dari Surabaya, Jawa Timur, tersebut.
Pekerjaan sebagai kuli panggul ia akui tidak menguntungkan, terlebih ketika aktivitas usaha masih dibatasi selama pandemi. Bekerja sejak pukul 07.00 hingga 15.00, Imang mendapat penghasilan beragam. Umumnya Rp 40.000 mengisi sakunya hari itu. Kalau beruntung, Rp 100.000 menjadi rezeki hari itu.
Pernah juga ia tidak bisa mendapatkan uang sepeser pun saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di awal pandemi. Ia pun sampai tidak makan empat hari. Bantuan dari orang-orang yang tidak kenal sesekali datang memberinya makanan atau uang. Namun, rezeki seperti itu tidak bisa diharapkan setiap hari.
Penghasilan tidak pasti membuat pria, yang sebelumnya mengaku bekerja sebagai kuli proyek di Surabaya, itu sulit menyisihkan uang untuk menyewa rumah kontrakan yang layak.
Baca juga : Di Emperan Toko, Mereka Menanti Remahan Belas Kasih Warga
Alhasil, setiap malam ia memilih tidur di depan ruko di pinggir Jalan Hayam Wuruk, bersama beberapa gelandangan senasib. Ia menggelar papan karton untuk beristirahat dalam berbalut sarung tipis, serta topi kupluk dan buff di kepala.
Di titik tersebut, ia menitipkan pakaiannya di laci yang dipakai bersama oleh tunawisma lainnya. Untuk keperluan mandi cuci kakus, ia memanfaatkan toilet umum di sekitar lokasi.
”Kalau ada uang lebih, saya lebih pilih pakai untuk modal usaha. Usaha kecil-kecilan saja, entah jual masker atau mainan. Kalau tempat tinggal nanti bisa menyesuaikan,” pungkasnya.
Di lokasi sama, gelandangan seperti Herman (54) mengaku lebih memilih hidup tanpa tempat tinggal, kendati nasibnya lebih beruntung daripada Imang atau pasangan Soleh dan Mak Nur.
Dua tahun terakhir ini, Herman dipekerjakan sebagai petugas kebersihan oleh pengurus Rukun Warga (RW) 005 di Kelurahan Pinangsia. Setiap bulan, ia menerima upah sekitar Rp 2 juta, belum termasuk uang terima kasih yang biasa diberi warga yang terbantu karena Herman membersihkan sampah rumah dan toko.
”Pendapatan saya bisa saja dipakai kontrak rumah barang Rp 300.000 sebulan. Tapi, dari pengalaman ngontrak sebelumnya, saya jadi banyak bengong karena enggak ada pasangan atau anak,” kata pria yang sudah lama menduda tersebut.
Sama-sama berasal dari Jawa Timur, Herman mengaku lebih senang bisa berkumpul dengan teman-teman tunawisma lainnya, seperti Imang. Lalu, tidur menumpang di mana saja.
Bagaimanapun, kepercayaan yang diberikan oleh warga sekitar kepada Herman, sekalipun hanya sebagai petugas kebersihan, berperan besar menyambung hidupnya. Lewat pekerjaan itu, Herman bisa merasakan kecukupan hidup.
Sebelum berakhir di posisi saat ini, ia mengaku sudah mencicipi pekerjaan sebagai tukang kebun di tanah transmigrasi di Kalimantan Timur, puluhan tahun lalu. Pernah juga ia menjadi anak buah kapal ikan yang membawanya ke berbagai pelosok Indonesia.
”Pekerjaan sekarang, menurut saya, sudah cukup. Kalau sudah tua begini, saya juga enggak berharap macam-macam lagi. Kalau pemerintah bisa bantu kasih pekerjaan lebih layak, mau saja, tetapi jangan kasih tempat tinggal bagus kalau ujung-ujungnya saya cuma bisa plonga-plongo,” pungkasnya disusul gelak tawa.