Saat Rumah Sakit Kibarkan Bendera Putih
Tidak hanya warga yang kesulitan mendapatkan akses ruang perawatan, tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 pun harus menunggu berhari-hari untuk masuk ruang perawatan, bahkan banyak yang tidak bisa masuk.
Setidaknya sejak awal Desember hingga saat ini, entah berapa banyak warga yang terpapar Covid-19 tidak bisa masuk ke ruang perawatatan karena kondisi rumah sakit rujukan mencapai 70 hingga 80 persen lebih. Tidak hanya warga, tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 pun begitu sulit mengakses ruang perawatan. Tingginya tingkat okupansi membuat sejumlah rumah sakit mengibarkan bendera putih.
Alif Noeriyanto Rahman, dokter yang bertugas di Rumah Sakit Sentra Medika Cisalak dan Rumah Sakit Bunda Margonda, mengambarkan, situasi rumah sakit di Depok termasuk di tempatnya bekerja dalam kondisi penuh, kritis, dan mengkhawatirkan. Banyak calon pasien antre berhari-hari untuk masuk ke ruang isolasi dan ruang ICU. Bahkan, tidak sedikit, mereka harus pasrah pulang karena tak kunjung mendapatkan ruang perawatan.
”Sejak awal Desember terus meningkat. Sebelum libur Natal dan Tahun Baru drastis meningkat hingga sekarang. Untuk ruang isolasi dan ICU sudah mencapai sekitar 80 persen. Dalam kondisi 65-70 persen saja itu sudah sangat tidak sehat, tidak kondusif. Nah, ini kondisi sudah 80 persen lebih. Pasca Natal dan Tahun Baru, kami kibarkan bendera putih, terutama di ruang ICU di Depok dan sejumlah rumah sakit di Jawa,” kata dokter Alif yang juga Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Depok, Selasa (12/1/2021).
Nah, ini kondisi sudah 80 persen lebih. Pasca Natal dan Tahun Baru, kami kibarkan bendera putih, terutama di ruang ICU di Depok dan sejumlah rumah sakit di Jawa.
Pengalaman susahnya mencari rumah sakit dirasakan oleh Wisnan (40), warga Cinere, Kota Depok. Saat ini, Wisnan merasa beruntung dan bisa bernapas lega setelah berhasil melewati masa sulit dan penuh kecemasan. Kondisi ayahnya yang berumur 68 tahun perlahan membaik. Meski belum pulih sepenuhnya, ayahnya sudah bisa beraktivitas kecil. Hanya saja, sejak keluar dari rumah sakit dan dinyatakan negatif Covid-19, fisiknya tidak lagi prima.
”Sejak sembuh, dua minggu yang lalu, napas ayah masih pendek-pendek, seperti mudah lelah. Ini mungkin pengaruh dari Covid-19. Saya bersyukur ayah bisa melewati periode penyembuhan,” kata Wisnan yang meminta namanya tak disebut secara lengkap.
Meski sudah bisa bernapas lega, Wisnan sempat diselimuti rasa khawatir karena pada awal Desember 2020 kondisi ayahnya melemah dan suhu tubuhnya tinggi. Wisnan saat itu tidak berpikir jika ayahnya positif Covid-19, ia hanya berpikir sang ayah demam bisa. Ia dan sang istri memberikan obat penurun panas. Anehnya, setelah dua hari panas ayahnya tidak turun dan tidak mau makan, perut mual, dan indera perasa hilang.
Baca Juga: Rumah Sakit Penuh dan Kurang Ventilator
Pada 9 Desember, Wisnan membawa ayahnya berobat ke klinik. Setelah diperiksa, dokter memberi tahu jika ayahnya terindikasi Covid-19 dan diminta segera menjalani tes usap. Keesokan hari, hasil tes usap keluar dan ayahnya terkonfirmasi positif. Mengetahui hal itu, Wisnan mulai panik karena satu keluarga terus kontak erat dengan ayahnya. Keluarga Wisnan pun diminta langsung tes usap oleh dokter.
”Di situ saya mulai cemas. Selain saya, istri dan dua anak saya juga kontak dengan ayah. Kami harus segera membawa ayah ke rumah sakit karena beliau ada penyakit gula. Saya takut, jika lama saya urus, kondisi ayah akan semakin memburuk. Namun, pikiran saya bercabang karena kami yang kontak juga perlu tes usap. Akhirnya, saya menyuruh istiri membawa anak-anak ke klinik untuk diperiksa, sementara saya mengurus ayah untuk dibawa ke rumah sakit,” tutur Wisnan.
Pada 11 Desember, pagi-pagi buta, Wisnan membawa ayahnya ke rumah sakit rujukan dan berharap ayahnya bisa langsung mendapat ruang perawatan. Namun, pihak rumah sakit tidak bisa menerima karena ruang isolasi pasien penuh. Pihak rumah sakit pun segera meminta Wisnan langsung ke RSUD Kota Depok.
Ternyata sesampai di RSUD Kota Depok, ayahnya tidak bisa langsung masuk ruang perawatan karena kondisinya juga penuh. Wisnan diminta untuk menunggu satu hari. Namun, Wisnan tidak mau menunggu sehari karena ia tidak ingin kondisi ayahnya memburuk. Ia pun meminta rekomendasi dokter untuk dirujuk ke rumah sakit mana pun yang masih tersedia ruang perawatan. Dokter pun memberikan dua opsi rumah sakit di Jakarta.
”Dokter bilang, kondisi rumah sakit hampir penuh dan sangat sulit jika langsung masuk ruang perawatan isolasi. Dokter pun memberi dua opsi ke rumah sakit rujukan di Jakarta, tetapi ia juga tak menjamin apakah akan mendapat ruangan. Sementara opsi lainnya untuk menunggu satu hari lagi, menunggu kabar panggilan dirawat di RSUD Kota Depok. Itu pun jika tersedia. Saat itu, saya juga hubungi semua keluarganya untuk bergerak mencari rumah sakit yang masih tersedia,” papar Wisnan
Mendengar pernyataan dokter, Wisnan pesimistis akan mendapat ruang perawatan di dua rumah sakit rujukan di Jakarta. Wisnan membawa kembali ayahnya pulang sembari menunggu kabar dari pihak rumah sakit dan kabar dari keluarga lainnya.
Pada 12 Desember pagi, Wisnan sudah tiba di RSUD Kota Depok untuk menunggu kabar ketersedian ruang perawatan. Namun, hingga sore belum ada ruangan yang tersedia. Begitu pula dengan keluarga lainnya juga belum mendapat informasi ketersedian ruang perawatan.
”Di sela waktu menunggu kabar ketersedian ruang perawat itu, saya ikut tes usap. Alhamdulilah hasilnya negatif. Meski negatif, saya tetap khawatir saya masih bawa virus. Kondisi saya mungkin fit sehingga negatif, tetapi teman kerja yang telanjur kontak dengan saya mungkin terpapar. Hingga saat ini, saya belum kabari ke teman-teman kantor jika saya terpapar. Saya takut malah makin ribet urusannya,” tutur Wisnan.
Belum selesai rasa takut itu, Wisnan mendapat kabar jika istri terkonfirmasi positif Covid-19 tanpa gejala, sementara dua anaknya negatif. ”Saya merasa seperti tidak karuan. Saya langsung minta anak-anak keluar rumah dan mengungsi ke rumah om dan tantenya di Bogor agar mamanya bisa isolasi mandiri di rumah. Kepala saya panas. Saya hanya pasrah dan berdoa semoga ayah dan keluarga dalam kondisi baik,” lanjut Wisnan.
Jangankan warga, tenaga kesehatan saja sulit mendapatkan akses perawatan, sulit banget.
Akhirnya, pada 13 Desember, Wisna mendapat kabar ayahnya bisa dirawat di RSUD Kota Depok. Ia langsung membawa ayahnya. Ia merasa lega karena ayahnya bisa segera dirawat. Empat hari dirawat, kondisi ayahnya semakin membaik. Setelah menjalani perawatan intesif sekitar enam hari, ayahnya dinyatakan negatif dan dibolehkan pulang. Begitu pula dengan istrinya.
Kondisi ruang perawatan yang penuh tidak hanya berdampak kepada warga atau pasien, kata dokter Alif, tenaga medis yang terpapar Covid-19 pun merasakan hal yang sama untuk mengakses ruang perawatan.
”Jangankan warga, tenaga kesehatan saja sulit mendapatkan akses perawatan, sulit banget. Sama seperti warga, tenaga kesehatan minimal harus menunggu 4-6 hari untuk antre masuk. Kalau tidak bisa masuk, terpaksa isolasi mandiri. Dan, itu jelas membahayakan keluarga lainnya. Dari awal, sejak Desember, saya terus diminta membantu untuk masukin warga dan tenaga medis ke ruang perawatan di rumah sakit mana pun, tetapi memang kondisi penuh,” tutur dokter Alif.
Penuhnya keterisian ruang perawatan, lanjut dokter Alif, tidak hanya berdampak pada pelayanan dan penanganan pasien covid-19, tenaga kesehatan memiliki beban lebih berat dengan bekerja lebih panjang untuk menggantikan tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19.
Dokter Alif menuturkan, untuk di Kota Depok saja, sudah banyak dokter dan perawat yang terpapar Covid-19. Bahkan, di sejumlah puskesmas terpaksa ditutup karena tenaga medis satu persatu bertumbangan.
”Perawat bergantian terpapar Covid-19. Satu per satu seperti bergantian saja menunggu terpapar Covid-19. Dari temuan kami, tenaga medis justru banyak terpapar di lingkungan luar. Ini memperlihatkan kondisi protokol kesehatan di lingkungan sangat berisiko tinggi. Lemahnya aturan protokol kesehatan dan pengawasan menyebabkan siapa saja bisa terpapar. Dengan demikian, ketika kembali ke rumah bisa memapari anggota keluarga lainnya. Ini yang jadi masalah,” papar Alif.
Fondasi kesehatan kita hampir kolaps. Jika fondasi ini runtuh, apakah akan mudah kita membangun ekonomi? Jika kita biarkan terus-menerus seperti ini, seluruh Jawa Bali akan bendera putih semua.
Jaga fondasi kesehatan
Keputusan pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) se-Jawa-Bali dari 11-25 Januari memberikan harapan besar agar kasus penularan bisa mereda sehingga kondisi rumah sakit tidak penuh seperti saat ini. Namun, kebijakan PPKM harus tegas dijalankan melalui pengawasan ketat oleh pemerintah dan petugas TNI/Polri.
Menurut Alif, apabila PPKM tidak dijalankan serius dan masyarakat masih abai, penanganan pandemi Covid-19 tidak akan pernah selesai. Selain itu, upaya pemerintah menambah kapasitas ruang isolasi, ICU, hingga mendirikan rumah sakit darurat tidak akan ada artinya. Menambah ruang perawatan dan rumah sakit darurat, artinya menambah tenaga kesehatan. Sementara tenaga kesehatan juga terus berjatuhan. Lalu, siapa yang akan merawat pasien jika tenaga kesehatan kurang dan mereka juga ikut terpapar?
Alif menilai pemerintah mulai sadar bahwa kesehatan adalah hal utama dan penting karena banyak rumah sakit dan tenaga kesehatan yang sudah kewalahan. Untuk itu, kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM se-Jawa Bali menjadi kesempatan bersama untuk berjuang menyelamatkan semua aspek.
Baca Juga: Laju Covid-19 Meningkat, Rumah Sakit Berisiko Tak Mampu Tampung Pasien
”Kesehatan menjadi kunci kita untuk bangkit lagi di segala aspek, termasuk ekonomi. Saya tetap berpegang bahwa sulit kesehatan dan ekonomi berjalan bersama. Kita perlu prioritas utama saat ini, yaitu menjaga fondasi kesehatan. PPKM harus dijalankan secara serius dan tegas. Fondasi kesehatan kita hampir kolaps. Jika fondasi ini runtuh, apakah akan mudah kita membangun ekonomi? Jika kita biarkan terus-menerus seperti ini, seluruh Jawa Bali akan bendera putih semua,” tutur Alif.
Alif berharap warga juga selalu menjaga diri dan keluarga dengan mematuhi protokol kesehatan. Tanpa kesadaran menjalankan protokol kesehatan, risiko terpapar Covid-19 akan semakin tinggi. Jika warga terpapar, dalam kondisi rumah sakit penuh, mereka tidak akan sulit mendapatkan penanganan dan perawatan. Sementara pemerintah juga perlu semakin mengencarkan 3T (tracing, testing, dan treatment).