Di masa pandemi Covid-19 ini, tahu dan tempe sama-sama semakin diburu. Selain harganya yang terjangkau, para penggemar tahu-tempe juga mencarinya untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Oleh
Bima Baskara (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Bagi masyarakat Indonesia, tempe dan tahu bukanlah sebatas lauk-pauk pelengkap makanan. Tempe-tahu tersaji di piring makan setiap orang hampir setiap hari dan semakin dicari sejak pandemi.
Tidak heran ketika terjadi lonjakan harga kacang kedelai, bahan baku pembuatan tempe dan tahu, pengusaha tempe tahu, pengecer, dan warung-warung makan penjual menu berbasis olahan kedelai bereaksi keras. Dari catatan koran ini dan Kompas.id, lonjakan harga kedelai pada awal tahun ini dari harga sekitar Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 9.500 per kg. Sebagian pengusaha tempe tahu, seperti yang berada di Jakarta, sempat mogok kerja demi menarik perhatian pemerintah agar turun tangan mengatasi lonjakan harga tersebut (Kompas.id, 7 Januari 2021).
Masyarakat umum turut bereaksi atas lonjakan harga kedelai dan mogok kerja para pembuat tempe tahu. Mereka waswas pasokan makanan kesukaannya bakal terganggu. Pemerintah akhirnya turun tangan dan menjanjikan untuk penstabilan kembali harga kedelai.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2020 menunjukkan, rata-rata setiap orang mengonsumsi tempe dan tahu 37 potong setiap bulan.
Animo masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi tempe dan tahu cukup besar. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2020 menunjukkan, rata-rata setiap orang mengonsumsi tempe dan tahu 37 potong setiap bulan.
Angka itu menunjukkan dalam sehari orang mengonsumsi minimal sepotong tempe atau tahu. Kebiasaan orang mengonsumsi tempe dan tahu setiap hari pun cenderung tak banyak berubah dalam lima tahun belakangan.
Publikasi Susenas itu juga menunjukkan bahwa tempe lebih digemari masyarakat ketimbang tahu. Tempe dikonsumsi hampir dua kali lebih banyak daripada tahu. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata setiap orang mengonsumsi 24 potong tempe setiap bulan. Sementara konsumsi tahu per orang hanya 13 potong dalam sebulan.
Orang pun tak segan merogoh kocek lebih untuk mengonsumsi tempe atau tahu. Harganya yang jauh lebih murah ketimbang sumber protein lain, seperti telur atau daging ayam, menjadikan tempe dan tahu terus dicari.
Pada Maret 2016, setiap orang rata-rata mengeluarkan uang Rp 9.900 per bulan untuk membeli tempe dan tahu. Pada bulan yang sama tahun 2020, rata-rata orang menambah pengeluaran sekitar Rp 1.000 per bulan untuk membeli dua jenis makanan ini.
Penggemar tempe dan tahu sedemikian banyak hingga dua makanan protein ini pun menjadi salah satu komoditas pangan yang turut menentukan batas kemiskinan. Tempe dan tahu berada di urutan keempat dari 10 komoditas yang paling menentukan garis kemiskinan, merujuk data BPS Maret 2020.
Berdasarkan fakta itu, lagi-lagi tak mengherankan jika kelangkaan tempe dan tahu yang terjadi di sejumlah wilayah beberapa waktu lalu menjadi hal yang ramai dibicarakan. Tempe dan tahu menjadi sumber makanan penting yang terjangkau masyarakat miskin.
Gaya hidup
Namun, tempe-tahu tak hanya dicari oleh masyarakat kelas bawah. Harganya yang murah dan mudah diperoleh menjadikan popularitas tempe dan tahu meluas di kalangan masyarakat menengah atas.
Tempe dan tahu pun tak hanya diolah menjadi makanan dengan cara digoreng, direbus, atau berbentuk keripik/kerupuk yang paling umum dikenal orang. Kini, semakin banyak juga bermunculan kreasi olahan tempe dan tahu yang dipadupadankan sedemikian rupa menjadi rolade, brownies, cokelat serabi, spageti, steik, biskuit, bakso, dan aneka makanan lainnya.
Aneka variasi makanan berbahan tempe dan tahu juga identik dengan gaya hidup kuliner masyarakat menengah atas, khususnya di perkotaan. Individu di kawasan perkotaan, dari data BPS, mengonsumsi tempe dan tahu rata-rata 40 potong per bulan. Adapun di perdesaan lebih sedikit, 34 potong per orang setiap bulan.
Secara nominal, individu di perkotaan rata-rata mengeluarkan uang lebih dari Rp 11.000 setiap bulan untuk membeli tempe atau tahu. Pengeluaran di desa lebih rendah, kurang dari Rp 10.000 per orang dalam sebulan.
Kreasi olahan tempe dan tahu yang semakin menguat di kalangan kaum urban ikut mendorong sumber protein ini naik kelas. Makanan tahu tempe ini pun dirayakan dalam berbagai ajang festival makanan selama 2018-2019, di antaranya Festival Tahu Tempe (Banyuwangi), Festival Kampung Tahu (Sukoharjo), Festival Ngintip Tahu (Cirebon), dan Festival Banjir Tahu (Lumajang).
Semakin dicari
Kini, pandemi Covid-19 juga membawa tempe dan tahu menjadi makanan yang semakin sering dicari. Hal ini terindikasi dari impor kedelai yang meningkat signifikan sejak pandemi.
Kementerian Pertanian dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, pertengahan November 2020, menyampaikan, impor kedelai sepanjang Januari-September 2020 mencapai 5,71 juta ton. Pada periode yang sama tahun 2019, impor kedelai tercatat 5,12 juta ton (Kontan, 18/11/2020).
Kedelai sebagai bahan baku utama tempe dan tahu semakin dicari lantaran manfaatnya yang penting bagi kesehatan tubuh. Makanan fermentasi kedelai tersebut, menurut Antonius Suwanto, Dekan Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya, dalam webinar ”Peran Tempe di Masa New Normal”, kaya akan prebiotik dan paraprobiotik yang bermanfaat mendukung kekebalan tubuh.
Tempe memang lebih digemari daripada tahu. Namun, di masa pandemi Covid-19 ini, keduanya sama-sama semakin diburu. Selain harganya yang terjangkau, para penggemar tahu-tempe juga mencarinya untuk meningkatkan imunitas.