Ada rasa antara percaya dan tak percaya saat mendengar kenyataan ini. Tapi, keluarga para penumpang Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu masih sangat berharap ada mukjizat.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra/Emanuel Edi Saputra
·4 menit baca
Puluhan keluarga penumpang pesawat Sriwijaya Air duduk termenung di ruang tunggu Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Mata mereka berkaca-kaca, menatap kosong para petugas Jasa Raharja dan bandara yang tengah sibuk membolak-balik dokumen berisikan daftar penumpang pesawat.
Dalam kegamangan dan ketidakpastian informasi, para keluarga penumpang pesawat dengan nomor penerbangan SJ-182 rute Jakarta-Pontianak bergeming menanti kabar baik tiba. Beberapa keluarga penumpang telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta sejak pukul 17.00. Mereka, dengan harap-harap cemas, bersabar menanti kepastian nasib keluarga.
”Keluarga di Pontianak mengabarkan kalau pesawat tidak sampai-sampai juga. Karena cemas, saya langsung berangkat ke bandara untuk cari informasi,” kata Yudi (36), salah seorang keluarga penumpang pesawat Sriwijaya Air.
Kami tetap berharap ada keajaiban dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.
Yudi berjalan bolak-balik antara meja petugas di ruang tunggu dan bangku yang ditempati anggota keluarganya. Sesekali ia berbincang dengan petugas bandara, kemudian kembali menenangkan anggota keluarganya di bangku ruang tunggu.
Ada lima anggota keluarga Yudi yang berada di dalam pesawat yang hingga kini belum ditemukan keberadaannya tersebut. Mereka baru saja hendak kembali ke Pontianak, Kalimantan Barat, seusai berlibur di Jakarta.
”Kami tetap berharap ada keajaiban dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk,” ucap Yudi.
Di pusat krisis Bandara Supadio, Pontianak, keluarga penumpang SJ-182 di sana tak kalah cemas, panik, dan sedih. Yamanzai salah satunya. Ia menanti kabar istri dan tiga anak kandungnya yang menumpang pesawat naas itu.
”Saya tak menyangka. Istri saya masih telepon sekitar pukul 13.35. Dia bilang jadwal keberangkatan agak terlambat. Ia telepon dari dalam pesawat sebelum pesawat lepas landas,” kata Yamanzai.
Saat tak kunjung mendapatkan kabar dari istri, ia masih berpikir pesawat terlambat berangkat sehingga kedatangannya molor. Setelah pukul 17.00 tak ada kabar dari keluarganya, Yamanzai menelepon ke nomor istri, tetapi telepon genggam tujuannya mati. Kekhawatirannya bertambah setelah ia mendapat kabar adanya pesawat hilang. Ia pun langsung bergegas berangkat ke Bandara Supadio.
Di sana ia menemukan wajah-wajah cemas dan sedih serupa dirinya melekati keluarga-keluarga lain. Sebagian dari mereka duduk dan diam di ruang crisis center. Suasana di ruangan itu begitu suram.
Badan SAR Nasional (Basarnas) Pontianak mendapatkan informasi SJ-182 kehilangan kontak pukul 15.53. Basarnas Pusat telah mengerahkan kapal dari Jakarta dan Pangkal Pinang untuk melacak keberadaan pesawat yang diduga jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.
General Manager Airnav Pontianak Wasyudi, dalam jumpa pers di Bandara Supadio, mengatakan, pesawat itu berangkat dari Jakarta pukul 14.36. Pesawat belum sempat berkontak dengan Airnav Jakarta. Lalu, sekitar pukul 15.53, pesawat hilang kontak. Pesawat itu seharusnya mendarat di Bandara Supadio pada pukul 16.00.
Perasaan kalut juga menyelimuti Arief Rosyid Hasan (34). Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2013-2015 tersebut masih menanti kejelasan informasi terkait pesawat Sriwijaya Air yang hilang kontak. Arief menanti kabar dari Mulyadi yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI periode 2016-2018.
Menurut Arief, Mulyadi sedang dalam perjalanan bertolak ke kediaman istrinya di Pontianak dengan menumpang pesawat Sriwijaya Air. Ada empat anggota keluarga Mulyadi yang juga berada di dalam pesawat.
Arief awalnya tidak mengetahui Mulyadi berangkat menumpang pesawat Sriwijaya Air. Sore harinya, ia menyaksikan berita di televisi tentang pesawat yang hilang kontak dari Jakarta menuju Pontianak.
”Dari sana saya dapat manifest yang beredar. Setelah saya baca, ternyata ada nama Mulyadi dan istrinya di sana. Begitu tahu, saya langsung menuju bandara buat memastikan,” ucapnya.
Sesampainya di Bandara Soetta, Arief tak langsung mendapat informasi atau kepastian dari pihak maskapai. Di tengah ketidakpastian, Arief mencoba tegar. Ia berusaha menahan air matanya menetes selama berbincang dengan Kompas.
”Ada rasa antara percaya dan tidak percaya saat mendengar kenyataan ini. Tapi, kami masih sangat berharap ada mukjizat,” kata Arief.
Dukungan
Di belakang Arief, isak tangis terus terdengar dari seorang ibu yang juga merupakan keluarga penumpang pesawat. Tangan ibu tersebut tak bisa terlepas dari ponsel. Matanya menatap tajam setiap untaian pesan singkat yang masuk.
Tak beberapa lama, seorang polisi wanita (polwan) datang menghampiri ibu tersebut. Polwan itu memberikan sebotol air mineral dalam kemasan kepada sang ibu. ”Ibu harus tetap tabah dan tegar. Semoga ada kabar baik datang,” ucapnya memberi semangat.
Sejurus kemudian, polwan tersebut kembali mengambil air mineral dan berjalan membagikannya kepada keluarga penumpang lainnya. Dari kejauhan, keluarga para penumpang tampak saling berangkulan. Mereka berusaha saling menguatkan satu sama lain. Adapun keluarga penumpang yang baru tiba di ruang tunggu, mereka langsung menangis sejadi-jadinya. Sejumlah petugas bandara dan Jasa Raharja dengan sigap berusaha menenangkan mereka.
Begitulah, dalam kegamangan, mereka masih memendam harapan bahwa akan terjadi keajaiban terhadap nasib keluarga di dalam pesawat.