logo Kompas.id
MetropolitanTipisnya Irisan Tempe yang...
Iklan

Tipisnya Irisan Tempe yang Mengusik Keamanan Pangan Kita

Aglomerasi kota-kota dengan ekonomi terkuat di seluruh negeri, yaitu Jakarta dan sekitarnya, sempat kembali terguncang hanya karena harga dan pasokan kedelai terganggu. Keamanan pangan urban masih jauh dari terpenuhi.

Oleh
neli triana
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/6QYpn_MT84ZOS5M6-Ad4jXb4wKg=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F6feebd6a-c99c-4268-80e3-07eba9f5d254_jpg.jpg
KOMPAS/INSAN ALFAJRI

Kesibukan Ani (48) menggoreng tempe dan menyiapkan mi instan di warungnya di Gelora, Tanah Abang, Jumat (16/10/2020).

Tiga belas tahun lalu, krisis kedelai di Indonesia mewarnai pemberitaan berbagai media massa, termasuk Kompas, selama berhari-hari. Kesaksian pengunjuk rasa kala itu menyatakan, sedikitnya dalam 30 tahun mereka belum pernah mengalami kenaikan harga kedelai, bahan utama produksi tempe dan tahu, yang sedemikian drastis.

Pada 15 Januari 2008, dalam infografis Kompas, diketahui gejala krisis terendus mulai Agustus 2007. Saat itu, harga kedelai yang semula sekitar Rp 3.800 per kilogram (kg) menjadi Rp 4.350 per kg. Empat bulan kemudian, di Jakarta dan sekitarnya, harga kedelai menembus Rp 8.000 per kg.

Krisis kedelai saat itu diiringi pula kenaikan harga bahan pokok, mulai minyak goreng hingga tepung terigu, karena berbagai sebab, di antaranya adanya eskalasi harga pangan global. Setelah sempat menghilang dari pasar dan warung-warung makan, tempe dan tahu pada tahun itu menandai kemunculannya kembali dengan potongan lebih kecil dan tipis. Hal yang sama diikuti dengan ukuran roti di pasar tradisional, seperti donat kampung, yang mengecil (Kompas, 17 Januari 2008).

Di awal 2021, para pengusaha tempe tahu ini mogok kerja lagi demi mengetuk kesadaran publik dan pemerintah bahwa kenaikan harga kedelai adalah hal serius yang butuh ditangani segera.

Sejak krisis kedelai 2008, mata publik kian terbuka dan menyadari betapa metropolitan Jabodetabek begitu tergantung dengan bahan baku pangan impor, cermin dari kondisi riil seluruh Nusantara.

Lebih dari satu dasawarsa berlalu, masyarakat dipaksa terbiasa dengan harga bahan baku pangan yang stabil meskipun bisa dikatakan tetap tinggi. Berbagai adaptasi berlanjut, termasuk irisan tempe yang konstan menipis di tukang gorengan pinggir jalan dan warung-warung tegal andalan warga, khususnya kelas bawah Ibu Kota. Dengan harga minimal Rp 2.000 per buah, tempe goreng dibalut tepung asin gurih masih bisa dinikmati.

https://cdn-assetd.kompas.id/MFmnwLE0rcJdO5Fu8NTxOHjK_BU=/1024x455/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FCapture-tempe_1610118600.jpg
Kompas

Arsip infografis krisis kedelai di ”Kompas”, 19 Januari 2008.

Pada awal 2021, bertepatan dengan 10 bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, krisis kedelai yang kembali terjadi tidak segera membuat pengusaha hingga pengecer tempe tahu tega menaikkan harga produknya. Mereka mengetatkan ikat pinggang bertahan dengan keuntungan yang makin tipis agar produknya tetap terbeli. Apalagi, banyak warga yang pendapatannya berkurang atau bahkan amblas terimbas pagebluk ini.

Namun, para pengusaha tempe tahu ini tetap menyuarakan kegelisahannya dengan mogok kerja beberapa hari demi mengetuk kesadaran publik dan pemerintah bahwa kenaikan harga kedelai adalah hal serius yang butuh ditangani segera. Mereka juga meminta ada jaminan kestabilan harga dan pasokan di masa mendatang.

Baca Juga: Tren Vakansi Sehat Warga Kota di Tahun 2021

Aspirasi tersebut turut menggedor kewaspadaan publik terkait masih rentannya ketahanan pangan nasional dan perkotaan kita. Pemprov DKI Jakarta, misalnya, telah memiliki badan usaha milik daerah (BUMD) pangan, seperti PT Food Station Tjipinang Jaya, PD Dharma Jaya, dan Perumda Pasar Jaya. Namun, sejauh ini, ketiga perusahaan tersebut baru bisa memasok 30 persen kebutuhan pangan warga DKI. Padahal, untuk antisipasi bencana alam ataupun non-alam, seperti wabah kali ini, ketahanan pangan daerah menjadi syarat utama.

https://cdn-assetd.kompas.id/ROjVGFNzgeaCE4Grf7rMqNIUBy0=/1024x1356/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201016-H01-ARS-Indeks-Ketahanan-Pangan-mumed_1602860952.png

Jaminan akses

Ketahanan pangan menjadi isu yang diusung Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya melalui Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia PBB (WFP).

Awalnya, negara-negara di dunia menyepakati ketercukupan bahan pangan bisa diatasi jika pasokan tersedia dalam periode tertentu di tingkat nasional. Seiring membengkaknya jumlah penduduk dunia, berkembang dan munculnya kota-kota baru sebagai konsentrasi utama tempat tinggal manusia, terbukti pasokan di tingkat nasional tidak serta-merta menjamin setiap penduduk bisa mengakses pangan.

Kemampuan tiap individu atau keluarga mengakses bahan pangan pokok ternyata juga bukan berarti yang bersangkutan terjamin kecukupan gizinya. Konferensi Pangan Tingkat Tinggi tahun 1996 yang diselenggarakan FAO pada akhirnya menyetujui pengertian baru ketahanan pangan, yaitu ketika semua orang setiap saat memiliki akses ekonomi ke makanan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan diet dan preferensi makanan mereka agar tercapai hidup yang aktif lagi sehat.

Baca Juga: Wahai Kota, Tangkaplah Peluang Tren Kebangkitan Beragama

Dalam buku Dasawarsa Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, antara lain dinyatakan bahwa dari hasil penelitian tentang gizi buruk (malnutrisi) menunjukkan, pangan hanya salah satu faktor penyebab gizi buruk. Faktor lainnya, antara lain, adalah variasi konsumsi dan komposisi bahan pangan, kesehatan dan penyakit, serta perawatan ibu dan anak. Disimpulkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga merupakan prasyarat untuk ketahanan gizi, tetapi belum cukup untuk menjamin ketahanan gizi.

https://cdn-assetd.kompas.id/97zdudcZQSytwiQTCQlUCVYHO_4=/1024x809/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201006-H09-NSW-Ketahanan-Pangan-mumed_1601997672.jpg
Iklan

Kesadaran tersebut menggiring pada kesepakatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 di tahun 2015. Tujuan nomor dua, yaitu mengakhiri kelaparan, tidak bisa terlepas dari tujuan pertama untuk mengakhiri kemiskinan serta tujuan ke-11, yakni membangun kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh berkelanjutan, juga 14 tujuan lain yang saling mendukung dan tidak bisa terlepas satu sama lain.

Sesuai pemahaman ketahanan pangan termutakhir tersebut, Global Food Security Index mencoba mengukur ketahanan pangan 113 negara di dunia dengan melihat kemampuan konsumen membeli makanan, kecukupan pasokan, kualitas dan keamanan bahan pangan, serta kaitannya dengan ketahanan sumber daya alam, termasuk dalam menghadapi risiko gangguan pasokan. Pemeringkatan ini tidak memperhitungkan sumber bahan pangan dari dalam negeri atau impor.

Berdasar penilaian dengan empat parameter itu, pada Desember 2019, tetangga dekat Indonesia, yaitu Singapura, menjadi bagian dari kelompok teratas negara paling berketahanan pangan. Indonesia berada pada peringkat ke-62. Serangan awar-awar alias penyakit yang mewabah luas dalam setahun terakhir makin menerbitkan kekhawatiran akan mundurnya ketahanan pangan negeri ini yang rangking indeksnya pas-pasan tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/UJ1hXFVa8GIFSU3JOiPSu5DIB-E=/1024x809/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201122-H09-NSW-Ketahanan-Pangan-mumed_1606061305.jpg

Kementerian Pertanian mencoba menjawab tantangan tersebut dengan semakin mematangkan dan menyiapkan empat strategi yang sejak sebelum pandemi telah digulirkan untuk memaksimalkan produksi sektor pertanian. Pertama, ekstensifikasi lahan rawa. Kedua, mempersiapkan pangan lokal sebagai subsitusi makanan pokok yang selama ini mengandalkan beras. Ketiga, membentuk lumbung pangan di tiap desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Terakhir, membuat food estate dengan teknologi pertanian modern di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.

Food estate diketahui masih memicu pro dan kontra karena kajian dampak lingkungannya diyakini belum matang benar. Apalagi, ada dampak buruk pembukaan lahan gambut 1 juta hektar yang berujung kebakaran lahan hampir setiap musim kemarau di Kalimantan Tengah. Jangan sampai cita-cita membuka lahan demi memberi pangan memadai bagi rakyat justru berakhir makin merusak alam.

Baca Juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan

Perluasan lahan pertanian, termasuk dengan food estate, digerakkan hasrat  mencapai swasembada pangan dan terkikisnya sawah ladang untuk pemekaran area urban di kawasan yang dulunya pertanian. Upaya intensifikasi pertanian di lahan tersisa dinilai belum akan memenuhi kebutuhan pangan saat ini dan nanti. Untuk itu, perluasan lahan pertanian tetap harus dilakukan.

https://cdn-assetd.kompas.id/0BDz09EPqes5YBgSnKoJRNh-p9I=/1024x667/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200202BAh28_1580625743.jpg
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani membajak sawah di Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (2/2/2020). Meningkatnya kebutuhan lahan tempat tinggal membuat areal persawahan produsen pangan utama terancam.

Kerawanan pangan

Fenomena urbanisasi, selain mengorbankan lahan hijau, secara spesifik disebut WFP di salah satu dokumen publiknya, secara cepat mengubah geografi kelaparan. Banyak kota di dunia mengalami gelombang besar kedatangan warga yang mencari penghidupan. Alih-alih makmur, banyak yang berakhir di permukiman informal dengan sedikit pekerjaan dan layanan publik. Mereka mewakili wajah baru kerawanan pangan perkotaan yang berbeda dengan perdesaan

Di masa pandemi, kerawanan pangan urban meningkat. FAO dalam rilis resmi menyatakan sistem pangan kota dengan populasi antara 500.000 dan 5 juta penduduk dan dengan lebih dari 5 juta penduduk lebih rentan terhadap gangguan yang disebabkan tanggap darurat kesehatan selama wabah global ini.

Pesan utama yang muncul kemudian adalah, di tengah awar-awar ini, pemerintah kota sebenarnya bisa mengidentifikasi dan menghubungkan para pelaku sistem pangan, memfasilitasi kolaborasi dan koordinasi, serta mengeksplorasi solusi inovatif berbasis masyarakat.

https://cdn-assetd.kompas.id/HDEZA4-QkRCGgOxnknJM21o7fog=/1024x2461/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F20200715-H01-ARS-Kemiskinan-mumed_1594834977.png
Kompas

Data Kemiskinan di Indonesia, Persentase Penduduk Miskin

FAO mendorong agar kota-kota di dunia mendesak terciptanya kerja sama yang baik dengan pemerintah pusat demi mengantisipasi dampak pandemi yang belum akan segera berakhir ini. Kerja sama horizontal dengan sesama pemerintah kota dalam satu negara ataupun dari negara lain dapat pula dikembangkan untuk memasok serta meminta pasokan dalam skala perdagangan yang adil.

Baca Juga: Menggapai Kota Inklusif demi Pulih dari Pandemi

Pemerintah kota dapat berinisiatif memproduksi pangan lokal sesuai potensi daerah. Pertanian urban memanfaatkan lahan kritis, lahan tidur, pekarangan sempit, ataupun dengan teknik hidroponik di dinding rumah-rumah di perkampungan padat bisa diwujudkan. Langkah lain, memastikan kelompok rentan dapat mengakses bahan pangan bervariasi agar kecukupan gizi terjamin.

Program bantuan sosial tunai yang kini digulirkan dinilai tepat agar warga rentan makin terbuka aksesnya terhadap pangan bergizi, sekaligus sebagai pemutar roda perekonomian masyarakat ekonomi lemah. Namun, ini baru langkah mula-mula yang masih membutuhkan banyak kebijakan dan program lain seperti disarankan FAO.

Dua kali krisis kedelai dan tipisnya irisan tempe seyogianya memacu kreativitas dan inovasi guna menciptakan keamanan pangan nasional dan daerah. Hampir satu tahun pandemi, sudah saatnya kita semakin matang, detail, dan tepat sasaran dalam mengantisipasi berbagai dampak pagebluk.

Pepatah hanya keledai yang terperosok dua kali tidaklah pantas dialami negara besar dengan lebih dari 250 juta penduduk dan kaya akan sumber daya alam ini. Irisan tempe yang kian tipis sesungguhnya memberi pelajaran besar mengenai tata kelola pangan di Tanah Air, sejak puluhan tahun lalu.

https://cdn-assetd.kompas.id/AkuEv0V3VlnyA1EXrVyNX-wONIk=/1024x676/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200908ags300_1599567936.jpg
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak jalanan makan nasi bungkus di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/9/2020). Pandemi memangkas pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran dan kemiskinan diperkirakan meningkat. Akses ke pangan layak dan bergizi turut terganggu.

Editor:
gesitariyanto
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000