Risiko Kematian Pasien Covid-19 di Kota Bekasi Tinggi
Di Kota Bekasi ada pasien yang membutuhkan waktu antrean tiga hari untuk mendapat penanganan di ruang ICU. Pasien terpaksa mengantre lantaran pihak rumah sakit kesulitan mendapatkan ruang perawatan yang dilengkapi ICU.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Akumulasi kasus kematian akibat Covid-19 di Kota Bekasi, Jawa Barat, hingga Rabu (6/1/2021), mencapai 300 kasus. Tingkat keterisian pasien di semua rumah sakit sudah 90,31 persen. Keterbatasan ruang perawatan itu juga menyebabkan sebagian pasien harus mengantre berhari-hari untuk mendapat perawatan di ruang unit perawatan intensif (ICU).
Berdasarkan data dari laman corona.bekasikota.go.id, akumulasi kasus Covid-19 di Kota Bekasi, hingga Rabu, mencapai 16.482 kasus. Dari jumlah itu, 854 kasus masih dirawat, 15.328 kasus sembuh, dan 300 kasus meninggal dunia. Khusus kasus kematian, di Kota Bekasi sepanjang 2021, ada penambahan 28 kasus kematian baru akibat Covid-19.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bekasi Rina Oktavia mengatakan, di Kota Bekasi, hingga Rabu siang, dari total 1.487 tempat tidur perawatan yang tersedia di beberapa rumah sakit, keterisiannya mencapai 1.343 pasien atau mencapai 90,31 persen. Ruang perawatan ICU juga tersisa 8 dari total 80 ruang ICU.
”Rencana penambahan tempat tidur perawatan di Rumah Sakit Darurat Stadion Patriot Candrabhaga dan RSUD Tipe D Bekasi Utara masih dalam persiapan,” kata Rina, melalui pesan singkat.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Kota Bekasi Eko Nugroho mengatakan, walau ada keterbatasan tempat tidur perawatan pasien Covid-19, rumah sakit tidak menolak pasien. Pihaknya terus berupaya sebisa mungkin menerima pasien yang datang.
”Kondisi terkini, sudah mulai ada antrean yang cukup banyak di UGD karena pasien yang membutuhkan isolasi, terutama ICU, sudah susah. Pasien sendiri sudah sangat sulit mendapatkan perawatan di ICU,” kata Eko.
Di salah satu rumah sakit, kata Eko, ada pasien yang membutuhkan waktu antrean tiga hari untuk mendapat penanganan di ruang ICU. Pasien terpaksa mengantre lantaran pihak rumah sakit kesulitan mendapatkan ruang perawatan yang dilengkapi ICU.
”Masyarakat perlu tahu, di Kota Bekasi, delapan ruang ICU yang masih tersedia merupakan data yang di-update semua rumah sakit dalam sistem bersama yang kami kumpulkan di dinas kesehatan. Data itu terus bergerak dan setiap jam pasti berubah. Delapan ruang ICU yang tersedia sangat tidak aman karena yang mengantre di luar sudah lebih dari delapan orang,” kata Eko.
Menurut Eko, angka kematian akibat Covid-19 di Kota Bekasi yang tinggi itu tidak terlepas dari terbatasnya ruang perawatan ICU. Sebab, pasien yang membutuhkan ICU merupakan pasien dengan gejala berat yang sangat berisiko tinggi meninggal dunia.
”Jadi, memang ada korelasi antara keterbatasan ICU dan penderita yang meninggal. Boleh jadi usia di tangan Tuhan. Tetapi kalau, misalnya, kami punya banyak ICU, angka itu (kematian) bisa lebih rendah,” ujar Eko.
Eko menambahkan, pasien Covid-19 dibagi dalam tiga kategori, yaitu merah, kuning, dan hijau. Pasien dengan kategori merah merupakan pasien bergejala berat yang sewaktu-waktu membutuhkan perawatan di ruang ICU.
Di Kota Bekasi, hingga Rabu, jumlah pasien kategori merah mencapai 320 pasien, kategori kuning 673 pasien, dan kategori hijau 302 pasien. Dari data itu, menunjukkan kalau penderita pasien Covid-19 di Kota Bekasi didominasi pasien bergejala sedang dan berat.
”Jadi, jika mau ambil korelasi ke ICU, pasien kategori merah kemungkinan membutuhkan ICU tinggi,” ucap Eko.
Karantina ketat
Menurut Eko, kebijakan pemerintah pusat untuk kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat di Jawa dan Bali mendesak. Kebijakan tersebut harus segera diimplementasikan.
”Kalau tidak segera diambil kebijakan PSBB ini, yang terjadi adalah kolapsnya dunia rumah sakit di Jawa dan Bali. PSBB ketat juga akan sangat membantu Kota Bekasi,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas membahas penanganan pandemi Covid-19 dan rencana pelaksanaan vaksinasi, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (6/1/2021), memberikan arahan agar perlunya pembatasan kegiatan masyarakat atau pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah peningkatan penularan Covid-19. Pengetatan PSBB tidak dilakukan di semua daerah, tetapi di daerah dengan perkembangan kasus Covid-19 yang memburuk.
”Penerapan pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan secara mikro sesuai dengan arahan Bapak Presiden,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam jumpa wartawan secara virtual seusai rapat terbatas dari Kantor Presiden, Jakarta.
Pemerintah, lanjut Airlangga, telah menetapkan kriteria daerah yang harus menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat. Di antaranya, memiliki angka kematian akibat Covid-19 di atas rata-rata nasional; tingkat kesembuhan di bawah rata-rata nasional; kasus aktif di atas rata-rata nasional; dan tingkat keterisian ruang isolasi dan ICU rumah sakit di atas 70 persen.
”Kabupaten/kota yang memiliki salah satu parameter tersebut, yakni tingkat kematian di atas rata-rata nasional 3 persen, tingkat kesembuhan di bawah angka nasional yang 82 persen, kemudian tingkat kasus aktif di atas rata-rata nasional, yakni 14 persen, dan keterisian rumah sakit atau BOR untuk ICU dan isolasi di atas 70 persen, harus menerapkan pembatasan. Kami tegaskan pembatasan kegiatan, bukan pelarangan,” ujar Airlangga.