Sejumlah Warga RW 018 Laporkan Pembangunan RSI Aysha ke Ombudsman
Warga RW 018 Perumahan Acropolis Karadenan, Cibinong, Bogor, memprotes pembangunan Rumah Sakit Islam Aysha di tengah permukiman. Selain diduga ada aturan yang dilewati, warga khawatir lingkungan sekitar terdampak,
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kelompok warga RW 018 Perumahan Acropolis Karadenan, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melaporkan ke Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya terkait dengan pembangunan Rumah Sakit Islam Aysha yang berada di dalam kawasan perumahan. Ombudsman sedang dalam pendalaman untuk melihat ada dugaan mala-administrasi.
Juru bicara Tim Aspirasi RW 018, Eka Suryawan, menyatakan sudah melapor ke Ombudsman terkait dengan pembangunan Rumah Sakit Islam (RSI) Aysha. Adapun pihak yang dilaporkan adalah Dinas Pelayanan Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) yang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) 645.3/003.2.I/01009/DPTMPTSP/2020.
”Kami laporkan karena terdapat beberapa kejanggalan. Seharusnya ada papan IMB yang menerangkan siapa pihak kontraktor atau pengembang yang mendirikan bangunan, sampai kapan pembangunan tersebut. Nah, di papan itu tidak ada penjelasan. Selain itu, apakah cukup izin melalui IMB saja,” kata Eka, Selasa (15/12/2020).
Selain DPMPTSP, kata Eka, warga juga melaporkan pihak kelurahan yang sampai saat ini tidak pernah memberikan ruang dialog antara warga yang menolak, Ketua RW 018 dan pengurusnya yang mengklaim menyetujui, serta pihak pengembang yang notabene merupakan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, bukan kesehatan.
Warga tidak menolak adanya rumah sakit, tetapi keberadaan rumah sakit yang berada di dalam kompleks perumahan yang menjadi fokus penolakan.
Eka menuturkan, Forum Aspirasi menyayangkan pihak pengembang terus membangun rumah sakit tanpa berupaya menyelesaikan permasalahan yang dikeluhkan warga.
”Warga yang menolak jelas-jelas ingin mendengarkan kajian independen dari pihak pengembang terkait dengan dampak-dampak pembangunan rumah sakit. Tidak saja dampak kesehatan, seperti pengelolaan limbah medis rumah sakit, tetapi juga dampak sosial. Namun, sayangnya ini tidak pernah disosialisaikan kepada warga yang menolak, hanya kepada warga yang menerima pembangunan,” kata Eka.
Belum lagi sekolah di seberang proyek pembangunan, jika nanti sudah menggelar belajar tatap muka, proses belajar murid akan terganggu oleh debu pembangunan dan deru mesin besar yang beroperasi. Selain itu, lalu lalang kendaraan besar di depan sekolah yang bersatu dengan jalanan warga.
Padahal, Eka melanjutkan, tanggal 4 November 2020 lalu ada pertemuan dengan pihak pengembang yang diwakili tim legal pengembang di Aula Kecamatan Cibinong yang dihadiri Camat Cibinong saat itu, Bambang Tawekal, dan Kapolsek Cibinong AKP KAdek Vemil.
Poin utama dalam akhir pertemuan tersebut, pihak pengembang menunda pembangunan atau kegiatan sampai dengan persoalan di tingkat warga selesai. Poin selanjutnya, Lurah Karadenan diminta untuk membuka ruang dialog antara Ketua RW dan pengurusnya, Tim Aspirasi, dan pengembang. Namun, ruang dialog tidak pernah terlaksana. Bahkan, pada tanggal 6 November tetap dilakukan peletakan batu pertama yang dihadiri sekitar 150 orang dan juga mantan Bupati Bogor Nurhayati.
”Kami menyayangkan, rumah sakit yang bergerak di bidang sosial, tetapi mengindahkan persoalan sosial yang ada di depan mata, bahkan terkesan menutup diri dan menggunakan pihak-pihak luar untuk menyerang warga yang menolak,” kata Eka.
Terkait dengan pembangunan, Eka menegaskan, warga tidak menolak ada rumah sakit, tetapi keberadaan rumah sakit yang berada di dalam kompleks perumahan yang menjadi fokus penolakan. Apalagi, tidak pernah ada penjelasan kajian-kajian ilmiah terkait dengan dampak medis dan sosial pembangunan, menjadikan warga khawatir apakah rumah sakit ini mengikuti prosedur yang berlaku atau melalui jalan pintas demi mendapatkan legalitas pendirian rumah sakit yang cukup rumit.
”Di awal kami tinggal di sini tidak ada kesepakatan untuk membangun rumah sakit. Selain itu, ini juga permasalahan lingkungan jika rumah sakit dibangun di kompleks perumahan. Kami tinggal di sini bukan setahun dua tahun. (Bisa) Ada dampak jangka panjang, terutama terkait lingkungan,” kata Eka.
Kuasa Hukum RSI Aysha, Adi Atmoko, mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahan laporan sejumlah warga ke Ombusman Jakarta Raya karena itu merupakan hak suara mereka. Pihaknya tetap terbuka jika nanti dimintai keterangan, terutama terkait dengan prosedural pembangunan rumah sakit.
”Sosialisasi itu sudah berjalan dari 2018 akhir, ada dari pihak RT dan RW juga hadir saat itu. Dari pertemuan warga, ada dukungan, proses pembangunan ada tanda tangan persetujuan RT/RW. Dari dinas terkait juga sudah mengeluarkan izin. Ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), amdal analisis lalu lintas, hingga izin pengelolaan lingkungan,” kata Adi.
Sosialisasi itu sudah berjalan dari 2018 akhir, ada dari pihak RT dan RW juga hadir saat itu. Dari pertemuan warga, ada dukungan, proses pembangunan ada tanda tangan persetujuan RT/RW. Dari dinas terkait juga sudah mengeluarkan izin.
Adi menampik pihaknya tidak pernah berdiskusi, terutama terkait dengan legalitas bangunan hingga isu pencemaran lingkungan. Pihaknya sudah terang memberikan penjelasan tersebut.
”Jika memang ada yang keberatan, silakan ke jalur hukum. Intinya, kami sudah menjalankan prosedur yang sesuai. Terkait dengan pengelolaan limbah juga sudah kami jelaskan. Kami transparan, boleh dicek dan ada bukti tanda tangan warga. Kami tentu tidak sembarangan dalam pembangunan karena ada yang mengawasi. Selain itu, kami juga sudah jelas terkait alat hidrolik yang tidak menimbulkan berisik,” kata Adi.
Dalami dugaan mala-administrasi
Ketua Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan warga RW 018 Perumahan Acropolis Karadenan terkait dengan pembangunan RSI Aysha pada 11 November lalu.
”Kami sedang tahap awal mempelajari dan mendalami laporan tersebut. Kami juga sudah gelar perkara dulu untuk melihat potensi mala-administrasi yang ada. Namun, belum bisa turun ke lapangan untuk pemeriksaan. Pertama, kami harus memastikan dulu dugaan mala-administrasinya. Kemudian siapa saja yang nanti harus dipanggil, dokumen, hingga rencana pemeriksaannya,” kata Teguh.
Teguh melanjutkan, pihaknya akan memanggil pihak-pihak yang memiliki otoritas perizinan, seperti otoritas yang mengeluarkan IMB. Ombudsman juga akan melihat siapa yang memberikan izin pembangunan rumah sakit dengan kapasitas yang cukup besar.
”Apakah izinnya dari Dinkes atau dari Kemenkes. Izin apa saja yang sudah dikantongi, bagaimana proses itu keluar, karena pembangunan berada di permukiman. Kami lihat juga persetujuan warganya,” kata Teguh.
Kepala Dinas Pelayanan Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Dace Supriadi belum bisa memberikan penjelasan karena masih dalam kondisi sakit dan sedang dalam perawatan. Sementara Kepala Bidang Data dan Pengendalian DPMPTSP Ruslan menyatakan harus mengecek data terlebih dulu terkait dengan pembangunan RSI Asyha.
Adapun Ketua RW 018 Rakhmadi Dakhlan belum bersedia memberikan penjelasan. Ia menyerahkan penjelasan sejumlah warga yang menolak pembangunan rumah sakit kepada pihak kuasa hukum RSI Aysha.