Pilkada, Langkah Awal Demokratisasi Mengelola Kota Milik Bersama
Demokrasi menjadi salah satu penentu terciptanya kota inklusif. Namun, praktik demokrasi yang dikuasai koalisi elite politik bakal sulit mewujudkan kota yang merangkul kepentingan semua warganya.
Di tengah mendung dan hujan di sepanjang Rabu (9/12/2020) pagi hingga siang, Panitia Pemungutan Suara beberapa kali mengundang pemilih agar segera datang ke tempat pemungutan suara. ”Tidak perlu sesuai jam yang tertera di undangan, datang saja,” kata panitia di salah satu TPS di Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Saat mendatangi salah satu TPS untuk menyalurkan hak suara, TPS tidak ramai. Sepinya TPS di hari-H gelaran pemilihan kepala daerah serentak di tahun ini memang disebabkan beberapa hal, di antaranya dibayangi kekhawatiran tertular coronavirus disease 2019 (Covid-19). Dalam undangan untuk mencoblos (C-6), ada keterangan waktu kapan pemilih harus datang ke TPS demi menghindari kerumunan.
Sejak awal, animo publik untuk menyalurkan hak suaranya pada pilkada serentak 2020 ini diprediksi tidak akan tinggi.
Dalam rilis Survei Partisipasi Pemilih dan Simulasi Pemilih Pilkada Tangsel 2020 oleh Kajian Politik Nasional (KPN) pada 4 Desember lalu, yang bisa diakses melalui kanal pilkadatangsel.com, diketahui tingkat partisipasi publik di kota tetangga dekat Ibu Kota itu hanya 61,7 persen. Selebihnya, 33,4 persen responden tidak mau menyalurkan haknya yang disebut golongan putih (golput) dan yang ragu-ragu 4,9 persen. Dari survei yang sama, Benyamin Davnie dan Pilar Saga diprediksi mengungguli Muhamad-Rahayu Saraswati dan Siti Nur Azizah-Ruhamaben.
Alasan lainnya adalah keengganan pada pemimpin yang sekarang berkuasa, calon kepala daerah yang muncul dan dijagokan menang tak lain bagian dari petahana.
Alasan golput, menurut Direktur Eksekutif KPN Miftahul Adib, karena warga khawatir tertular Covid-19 di TPS. Beberapa bulan terakhir, kasus korona di Tangsel juga secara nasional memang stabil tinggi. Alasan lainnya adalah keengganan pada pemimpin yang sekarang berkuasa, calon kepala daerah yang muncul dan dijagokan menang tak lain bagian dari petahana. Calon kepala daerah lain tak luput dari perpanjangan tangan penguasa di tingkat lokal dan nasional.
Rabu itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman yang menyambangi beberapa TPS di Tangsel menyatakan optimistis pengguna hak pilih di kota itu bisa 70 persen, bahkan lebih. Seperti disiarkan di Kompas TV, Arief mengakui ada TPS dengan tingkat pemilih sampai 80 persen, tetapi ada juga yang 50 persen saja.
Dari pemberitaan di media ini sepanjang Rabu hingga Kamis (10/12/2020) diperoleh informasi bahwa di daerah lain, seperti di Kota Medan, Sumatera Utara, tingkat partisipasi pemilih diperkirakan hanya di kisaran 50 persen. Salah satu calon pemimpin di Kota Medan yang juga menantu Presiden, Bobby Nasution, disebut memperoleh suara terbanyak sesuai hitung cepat. Di Kota Depok, Jawa Barat, petahana yang diusung partai politik penguasa lokal sejak sekitar dua dekade terakhir dikabarkan juga berpeluang besar menang.
Baca juga : Jebakan Pesta Rakyat
Sementara dari total 270 daerah penyelenggara pilkada, 25 daerah hanya memiliki calon pemimpin tunggal alias melawan kotak kosong. Kota Semarang di Jawa Tengah bagian dari daerah dengan calon tunggal. Pasangan petahana Hendrar Prihadi dan Hevearita Gunaryanti Rahayu yang diusung partai politik penguasa nasional pun menyatakan menang atas kotak kosong dengan perolehan suara di atas 90 persen.
Tangsel, Medan, Depok, dan Semarang, semuanya adalah kawasan urban yang relatif maju dengan tingkat pendidikan warganya cukup tinggi. Keempatnya memiliki TPS yang rata-rata mudah dijangkau warga. Ditambah lagi dengan ditetapkannya hari-H pilkada sebagai hari libur, sebenarnya mengikis hampir semua kendala pemilih mendatangi TPS.
Namun, dengan masih ada yang golput, tidak salah jika berkembang asumsi bahwa ada kondisi yang menyebabkan sebagian warga enggan menyalurkan haknya. Kondisi pemicunya adalah demokrasi yang digadang-gadang sebagai sarana mewadahi partisipasi publik belum berjalan semestinya.
Buktinya, kasatmata kini, partai politik di tingkat kota menduplikasi permainan politik nasional dan lebih memilih saling berkompromi membentuk koalisi. Partai politik memiliki keleluasaan menjaring dan menentukan calon pemimpin daerah yang sering kali tidak dikenal rekam jejaknya oleh calon pemilih.
Sistem yang berlaku sekarang nyaris tidak memberi ruang bagi warga suatu daerah untuk memunculkan calon pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Usaha untuk merangkul akar rumput dan memberi peluang perwakilan warga atau orang-orang yang memiliki kualitas memimpin serta memahami dan bisa menawarkan solusi jitu atas isu-isu di suatu daerah tertentu jarang sekali dilakukan oleh koalisi elite.
Pada akhirnya, sebagian warga yang jengah dengan praktik demokrasi kompromi koalisi elite berulang ini merasa tidak ada gunanya mencoblos.
Rawan konflik kepentingan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres dalam sebuah pesan video pada 16 September 2019 tentang peringatan Hari Demokrasi Internasional menyebutkan, demokrasi seharusnya dibangun di atas asas inklusi, yaitu perlakuan sama terhadap semua warga dan partisipasi publik yang setara.
Asas inklusi dalam demokrasi merupakan dasar fundamental untuk dapat menciptakan perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan memenuhi hak asasi manusia. Tatanan institusi dan masyarakat yang inklusif dan partisipatif resmi menjadi tujuan ke-16 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diakui dan diikuti negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
Baca juga : Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
”Namun, kini, kepercayaan pada demokrasi rendah dan memicu kecemasan tinggi. Orang-orang frustrasi dengan meningkatnya ketidaksetaraan dan gelisah oleh perubahan besar akibat globalisasi dan teknologi. Mereka melihat konflik tidak terselesaikan, keadaan darurat iklim tidak terjawab, ketidakadilan tidak terselesaikan, dan ruang publik yang menyusut,” kata Guterres.
Keprihatinan Guterres tidak terlepas dari praktik demokrasi yang dianut sebagian besar anggota PBB, tetapi tidak serta-merta berarti asas inklusi dilaksanakan.
Jessica Trounstine, peneliti dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, secara khusus meneliti tentang tren dominasi rezim di tingkat kota. Dalam laporan hasil penelitiannya berjudul Dominant Regimes and the Demise of Urban Democracy, Trounstine menyatakan pemilihan umum yang dianut negara demokrasi dapat menawarkan pemerintahan perwakilan warga negara, tetapi hanya jika kondisi tertentu terpenuhi.
”Saya memberikan bukti bahwa pemilihan menjadi tidak kompetitif saat koalisi politik menetapkan rezim dominan. Saya menemukan rezim dominan menetapkan kontrol elektoral, menargetkan pendukung inti dan mendahulukan kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan komunitas yang lebih besar,” kata Trounstine yang meneliti demokrasi urban di sembilan kota besar di AS, di antaranya Chicago, pada 2006.
Pada saat elite dan anggota koalisi inti meraup keuntungan dari koalisi dominan, anggota masyarakat lainnya menderita karena anggaran kota untuk kepentingan publik menurun selama di bawah kekuasaan rezim dominan. Jika kelompok minoritas ikut bergabung dalam koalisi besar itu, tidak berarti kepentingan mereka kelak turut diakomodasi. Terkadang hanya taburan janji manis yang didapat.
Baca juga : Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?
Dalam praktiknya, proyek mercusuar akan terealisasi segera tanpa publik paham betul manfaatnya. Akan tetapi, layanan publik inti seperti jaringan angkutan umum yang terjangkau oleh semua warga, akses fasilitas kesehatan murah, penataan kawasan seperti di seputar stasiun, hingga penanggulangan kemiskinan dan menekan ketimpangan bakal sulit terealisasi.
Sepanjang 10 tahun terakhir, misalnya, sudah berapa ruas jalan tol dibangun menghubungkan Jakarta dan kota-kota sekitarnya, termasuk Tangsel. Tangsel juga kini memiliki kantor wali kota yang terbilang megah. Kawasan perumahan kelas menengah atas baru dan apartemen dilengkapi akses jalan yang apik terus tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Namun, kesesakan di sekitar Stasiun Pondok Ranji tak pernah tersentuh penataan. Kesemrawutan di pasar tradisional kawasan Sudimara lengkap dengan tumpukan sampahnya tak juga kelar sampai sekarang. Sampah-sampah berserakan di tepi-tepi jalan kawasan permukiman kecil.
Timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, di Serpong, milik Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga beberapa kali longsor karena terlalu banyak beban dan melimpahkan limbah warga kotanya ke badan Sungai Cisadane. Kota ini juga masih terbilang terbelakang dalam penyediaan jaringan angkutan umum publik serta air bersih perpipaan.
Tetap bersuara
Akan tetapi, kelemahan dalam demokrasi saat ini bukan berarti akhir dari segalanya dan membuat kita apatis. Demokrasi kota sewajarnya bisa kembali direbut untuk dikembalikan ke esensi semula, yaitu menjamin partisipasi publik dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Trounstine merekomendasikan agar semua pihak mencoba memahami lebih jauh tentang bagaimana mencegah monopoli pasar politik. Lagi-lagi, solusi jitu yang ditawarkan adalah warga diminta tetap menjadi pengawas jalannya kebijakan pemerintah. Warga, baik pendukung pemimpin terpilih maupun yang bukan, didorong tidak berhenti lantang menyuarakan kepentingan publik yang butuh ditanggapi dan dicari solusinya.
Suara warga atau komunitas akan menjadi corong bagi kepentingan masyarakat untuk didengarkan siapa saja, khususnya penguasa. Gerakan komunitas ini akan menjadi blok penahan kebijakan sepihak pemerintah yang tidak selaras dengan kebutuhan publik. Ini menjadi bagian dari demokratisasi cara mengelola kota.
Menyalurkan suara saat hari-H pilkada baru langkah awal warga dalam proses demokratisasi pengelolaan kota. Hak dan kewajiban warga selanjutnya adalah terus aktif berpartisipasi mendorong agar kebijakan pemerintah berpihak kepada kepentingan publik.
Pada masa kini, seiring kemajuan teknologi, menyuarakan kepentingan publik bisa melalui banyak media yang disediakan pemerintah ataupun swasta, juga melalui media sosial pribadi. Sebuah kesempatan untuk membuat koalisi elite mau tidak mau membuka mata terhadap berbagai persoalan rakyat, bahkan yang mengusik kepentingan koalisi. Respons koalisi elite atas persoalan tersebut pada akhirnya turut membuka mata publik atas kapasitas asli pemimpin mereka.
Kepala daerah terpilih yang kurang membawa harapan baru ini menyadarkan bahwa menyalurkan suara saat hari-H pilkada barulah langkah awal warga dalam proses demokratisasi pengelolaan kota. Hak dan kewajiban warga selanjutnya adalah terus aktif berpartisipasi mendorong agar kebijakan pemerintah berpihak kepada kepentingan publik yang luas serta merangkul kaum rentan dan minoritas.
Gunakan kanal-kanal pengaduan resmi milik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat nonprofit yang kini tersedia cukup banyak secara daring. Media sosial pribadi juga bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, tetapi dengan tetap berada di koridor hukum berlaku. Ini adalah bagian dari perjuangan rakyat untuk mewujudkan kota inklusif bagi mereka sendiri.
Dengan kata lain, mewujudkan kota inklusif bersama kepala daerah baru bukanlah tidak mungkin. Segala peranti pendukungnya tersedia dan bisa diciptakan. Selamat berpartisipasi.
Baca juga : Menggapai Kota Inklusif demi Pulih dari Pandemi