Dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19, tempat pijat di Jakarta belum boleh beroperasi selama PSBB transisi. Padahal, tempat ini menjadi sumber rezeki bagi para pekerjanya.
Oleh
INSAN ALFAJRI/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 belum berpihak kepada para pemijat. Tempat pijat menjadi satu dari sejumlah tempat usaha yang secara aturan belum diperkenankan beroperasi kembali di Jakarta, sejak awal wabah hingga pertengahan Desember ini. Padahal, ada kehidupan yang perlu dinafkahi di dalamnya.
Kenekatan pemilik tempat pijat untuk tetap buka menyelamatkan nyawa para pemijat yang bergantung di dalamnya. Salah satunya Maharani (42), bukan nama sebenarnya, pemijat yang mengandalkan nafkah dari tempat pijat.
Ia dan tujuh pemijat lainnya bekerja di tempat pijat yang berlokasi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Kamis (10/2/2020) siang, pintu tempat Maharani bekerja terbuka. Tidak terlihat protokol kesehatan di situ. Suhu tubuh pengunjung tak diperiksa. Bahkan, petugas kasir di tempat pijat tidak mengenakan masker.
Siang sudah menjelang, tetapi tempat pijat yang berjarak 20 meter dari Rutan Cipinang itu masih sepi pengunjung.
”Pelanggan tak sampai delapan orang sehari. Padahal, ada delapan pemijat di sini. Kadang ada pemijat yang tak dapat pelanggan seharian,” ujar Maharani mengeluhkan nasibnya yang serba sulit di tengah pandemi, Kamis (10/12/2020) siang. Saat itu, ia termasuk beruntung karena mendapatkan giliran memijat pelanggan.
Tarif pijat di tempat ini dipatok Rp 150.000 per jam. Tarif itu belum termasuk tip untuk pemijat. Tip dari pelanggan ini, kata Maharani, menambah pendapatan pemijat yang minim. Sebab, dari tarif Rp 150.000 per jam, pemijat hanya mendapat Rp 30.000.
Saat pandemi ini, Maharani pernah juga mengantongi Rp 1,2 juta per bulan dari tempat pijat. Angka itu sudah termasuk tip dari pelanggan.
Sebelum pandemi menerjang, ia bisa memijat empat pelanggan sehari. Dari situ, pendapatan resmi sekitar Rp 3 juta sebulan. Itu masih bisa bertambah dari tip para pelanggan.
Pendapatan setiap pemijat masih dipotong Rp 100.000 sebulan untuk biaya listrik dan internet di tempat kerja.
Tempat ini, katanya, dibuka sejak tiga bulan terakhir. Sebelumnya, sejak pandemi menerpa, pemilik menutup tempat usaha ini.
Kursus pijat
Perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur, ini sudah tiga tahun berprofesi sebagai pemijat. Sebelumnya, dia bekerja di rumah makan padang.
Merasa pendapatan sebagai pekerja di rumah makan minim, Maharani pun mencoba peruntungan di tempat lain. Awalnya, ia bekerja di tempat pijat di kawasan Kota. Saat itu, untuk menjadi pemijat, Maharani ikut kursus memijat selama tiga bulan. Biaya kursus Rp 700.000 per bulan ditanggung pekerja.
Pendapatan di tempat pijat di kawasan Kota itu sebenarnya lebih baik, yakni Rp 40.000 per pelanggan. Sayangnya, tempat itu ditutup pemerintah.
Ia pun diajak teman ke tempat pijat di Jatinegara. Jadilah kisahnya berpindah ke tempat ini.
Dari gaji sebagai pemijat sekaligus tip dari pelanggan, Maharani bisa melanjutkan hidup sekaligus membiayai anak semata wayangnya. Anaknya sedang sekolah di salah satu SMK di Bojonegoro. Di Jakarta, Maharani menyewa sebuah rumah petak di Palmerah bertarif Rp 7,5 juta setahun.
”Sama anak, saya bilang kerja di laundry (binatu). Saya enggak mau bilang kerja jadi tukang pijat. Nanti dia malu,” kata perempuan yang bercerai lima tahun lalu ini.
Buka pintu sedikit
Di Jalan Kemanggisan Raya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, salah satu tempat pijat beroperasi secara klandestin. Pintu ruko tidak dibuka semua.
”Kami belum berani open semuanya. Lebih baik telepon dulu kalau mau datang,” kata perempuan petugas kasir yang berusia sekitar 25 tahun.
Menurut Totok (34), pemijat, tempat ini sempat tutup selama empat bulan di awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Baru Juli lalu, tempat pijat ini beroperasi lagi meskipun secara tidak resmi.
Menilik jumlah pengunjung yang merosot drastis, pihak manajemen mengurangi jumlah pemijat, dari 24 orang menjadi 15 orang.
Totok bercerita, sebelum pandemi, ia bisa memijat lima pelanggan sehari. Hari Kamis kemarin, dia baru memijat seorang pelanggan.
Selama beroperasi secara klandestin, kata Totok, petugas Satuan Polisi Pamong Praja beberapa kali datang ke lokasi. Kebetulan, saat itu tak ada pelanggan.
Tukang parkir di tempat pijat ini membenarkan cerita Totok. Menurut dia, Satpol PP datang karena laporan dari warga. ”Ada orang motret dari sekitar terus dilaporin, tetapi pas enggak ada pengunjung,” katanya.
Sama seperti protokol kesehatan di tempat pijat di Jatinegara, lokasi ini juga tergolong longgar dalam menerapkan protokol kesehatan. Pemijat, termasuk Totok, tidak mengenakan masker. Suhu tubuh pengunjung pun tidak diperiksa. Totok mengaku pasrah jika terpapar Covid-19.
”Kalau mikirin virus korona terus, enggak kelar-kelar,” ucapnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta Gumilar Ekalaya belum bisa dihubungi terkait hal ini.
Adapun PSBB transisi di DKI Jakarta masih berlangsung pada 7-21 Desember 2020. Ada 16 aturan yang berlaku, salah satunya larangan beroperasi bagi beberapa jenis hiburan, seperti spa, griya pijat, dan karaoke. Pemprov berpendapat, aktivitas di tempat hiburan berisiko tinggi terhadap penularan virus korona baru.