Pemerintah Didorong Bangun Sistem Jaminan Pendapatan Dasar Semesta
Bentuk bansos yang dinilai ideal ialah bantuan langsung tunai. Bantuan bisa ditransfer ke rekening penerima atau melalui Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, serta program lain.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian bantuan sosial atau bansos selama masa pandemi Covid-19 dinilai sejumlah pihak tidak efektif dan tidak menyelesaikan permasalahan. Lebih baik dilakukan mitigasi perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia apabila terjadi krisis ekonomi akibat bencana alam ataupun non-alam dengan cara membangun Jaminan Pendapatan Dasar Semesta atau Jamesta.
Gagasan itu mengemuka dalam diskusi virtual evaluasi bansos DKI Jakarta selama masa pandemi Covid-19 yang diadakan oleh Koalisi Pemantau Bansos Jakarta pada Selasa (8/12/2020). Ketua Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia Anwar Sastro Ma’ruf menjelaskan bahwa konsep pemberian bansos adalah mengobati penyakit, bukan mencegah.
”Semestinya ada sistem yang menjamin kesejahteraan rakyat untuk setiap saat, baik di masa tanpa krisis, apalagi di saat-saat darurat seperti pandemi. Ide mengenai bansos yang baru dilakukan apabila krisis sudah terjadi tidak layak lagi untuk konsep kesejahteraan sosial,” kata Anwar.
Menurut Sastro, Jamesta diberikan kepada semua warga negara Indonesia berusia produktif, terlepas jenis pekerjaan yang mereka lakukan ataupun harta kekayaan yang mereka memiliki. Artinya, baik individu tersebut merupakan direktur suatu perusahaan maupun pekerja serabutan sama-sama berhak mendapat tunjangan Jamesta. Dana ini dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam konteks Indonesia, keberadaan Jamesta ini menolong mengingat mayoritas penduduk bekerja pada sektor informal dengan pendapatan yang tidak menentu.
Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta per Agustus 2020 menunjukkan, ada 4,65 juta penduduk yang bekerja. Pandemi Covid-19 mengakibatkan jumlah pekerja formal menurun menjadi 2,87 juta orang karena adanya pemutusan hubungan kerja. Sebelumnya, jumlah pekerja formal sebanyak 3,33 juta orang.
Istilah pekerja informal ini sering kali tidak diberikan kepada ibu rumah tangga atau perempuan yang mencari nafkah, seperti tukang pijat, asisten rumah tangga, atau yang membuka warung di rumah. Padahal, mereka berkontribusi nyata memutar uang di akar rumput.
Walaupun demikian, Sastro mengingatkan bahwa istilah pekerja informal ini sering kali tidak diberikan kepada ibu rumah tangga atau perempuan yang mencari nafkah dengan cara seperti membuka warung kecil-kecilan, menjadi pembantu rumah tangga, atau juga tukang pijat panggilan. Padahal, mereka merupakan penduduk usia produktif dan secara nyata berkontribusi bekerja dan memutar uang di akar rumput.
Ketika keadaan darurat terjadi, sebagian dari orang-orang ini tidak terdata oleh pemerintah. Akibatnya, pemberian bansos masih ada yang tidak sampai kepada warga yang membutuhkan. Selain itu, proses pemberian bansos memakan waktu lama, mulai dari mendata warga melalui rukun warga dan rukun tetangga, memverifikasi data di tingkat kelurahan dan seterusnya, sampai dengan pemberian bansos.
”Jamesta diberikan per bulan atau bisa juga pada frekuensi yang ditentukan secara rutin, membuat warga memiliki tabungan kalau-kalau terjadi sesuatu. Misalnya, akibat pandemi banyak buruh yang dirumahkan, mereka sudah memiliki tabungan untuk dibelanjakan sehingga ada perputaran uang. Tidak perlu menunggu bansos datang untuk memastikan kebutuhan hidup tercukupi,” paparnya.
Ia mengakui, ada pandangan skeptis Jamesta semestinya tidak diberikan kepada warga yang penghasilannya di atas upah minimum rata-rata. Oleh sebab itu, ia mengingatkan bahwa sebagai hak rakyat, Jamesta harus diberikan kepada semua. Tidak ada yang tahu dampak dari situasi darurat. Pandemi Covid-19, misalnya, membuat masyarakat berpenghasilan menengah bisa jatuh mendekati garis kemiskinan, bahkan ada pula yang masuk kategori miskin. Demikian pula dengan penduduk berpendapatan tinggi yang usahanya dihantam oleh krisis.
Ketua Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia Dika Moehammad memaparkan penemuan dari pemantauan bansos Jakarta. Periode pertama pemantauan dilakukan di 39 kelurahan dengan 709 responden, pemantauan kedua di 65 kelurahan dengan 2.294 responden, dan pemantauan ketiga di 57 kelurahan dengan 1.416 responden. Periodenya ialah sejak April hingga Agustus. Bansos berasal dari pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupa paket sembako yang satu paket untuk dua pekan.
”Sebanyak 80,9 persen responden mengatakan, paket tidak cukup untuk dua minggu karena ada keluarga yang jumlah anggotanya lebih dari empat orang. Ditemukan juga praktik paket bansos dibuka dan isinya dibagi-bagi agar semua warga, termasuk yang tidak terdaftar, mendapatkan bansos, juga memperoleh sembako,” tuturnya.
Ia menerangkan, bansos berupa sembako juga membuat pola makan masyarakat menjadi terbatas, bahkan cenderung tidak bergizi. Selain itu, keberadaan bansos mematikan warung-warung ataupun usaha masyarakat di akar rumput yang menyediakan makanan alternatif. Bansos barang juga rawan dikorupsi karena 34 responden mengatakan hanya menerima 5 kilogram beras, padahal semestinya mereka menerima 10 kilogram beras per paket. Di samping itu, 35 persen responden mengatakan tidak menerima sarden kalengan sejumlah yang dijanjikan.
”Sejauh ini, aspirasi rakyat terkait bentuk bansos yang mereka butuhkan sesuai perkembangan situasi juga tidak didengar oleh pemerintah,” kata Dika.
Menurut dia, bentuk bansos yang ideal ialah berupa bantuan langsung tunai. Bantuan bisa ditransfer ke rekening penerima atau melalui Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, serta program lain yang serupa. Hal ini karena bantuan tunai memberi masyarakat alternatif untuk belanja, seperti sayur, telur, dan daging, yang akan merangsang perputaran uang pada masa krisis.
Jika kekhawatiran pemerintah ialah warga pergi berbelanja risiko penularan Covid-19 meningkat, hal itu bisa diatur melalui pembatasan sosial berskala besar dengan radius belanja hanya boleh sekian jauh dari tempat tinggal. Di tempat belanja juga diatur agar pembeli tidak ramai dan menerapkan protokol kesehatan.
”Bansos tunai juga memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhan lain, seperti membayar kontrakan tempat tinggal, cicilan kendaraan, dan tagihan listrik,” ujarnya.
Pada kesempatan yang berbeda, Dewi Anggraeni dari Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan agar data bansos sembako ataupun tunai harus transparan. Masyarakat kemudian bisa menilai apabila rupa bansos itu sesuai dengan kebutuhan mereka dan memberi masukan kepada pemerintah. Pengawasan pemakaian dana juga menjadi ketat sehingga kejahatan korupsi dana bansos seperti yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara bisa dicegah.