Pengurus RT dan RW di Jakarta berjuang mencukupi kebutuhan warga dalam keterbatasan bantuan sosial dari pemerintah. Dalam kondisi kecukupan, mereka berharap bantuan warga tidak dikurangi, apalagi sampai dikorupsi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harmadi (45) kerap dihadapkan dengan keruwetan saat ratusan paket bantuan sosial datang ke lingkungannya setiap awal bulan. Sudah menjadi rutinitas di wilayah RW 005 Kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk mengatur kedatangan bantuan tersebut selama pandemi Covid-19.
Sebanyak 495 paket berupa bahan pokok baru didatangkan ke sana. Namun, jumlah itu tidak cukup untuk kebutuhan warga setempat yang mencapai sekitar 4.000 penduduk. Sebagai ketua RW setempat, kondisi tersebut membuat Harmadi dilematik dan berpikir keras.
Harmadi harus mengatur agar paket bansos sampai ke warga sesuai daftar penerima. Namun, ada pula sebagian warga rentan miskin yang tidak tertera di dalam daftar. ”Setiap pembagian bansos, selalu muncul dilema dengan dua golongan warga itu. Pengurus RT dan RW pun kadang bingung harus mendahulukan siapa,” ujarnya saat dihubungi, Senin (7/12/2020).
Alhasil, Harmadi kerap meminta kerelaan warga untuk saling berbagi bansos dengan warga lain. Pengurus RT dan RW membagi ulang bahan pokok dalam satu paket agar sesuai dengan jumlah keluarga di tiap RT. Satu dus bahan pokok yang mestinya untuk satu keluarga tidak jarang dibagi untuk tiga keluarga.
Begitulah kesulitan pembagian bansos di lingkungan RW 005 Karet Tengsin. Selama pandemi, pengurus RT dan RW berusaha agar paket bahan pokok itu bisa dinikmati seluruh keluarga meski dalam jumlah terbatas. Cara yang ditempuh, salah satunya adalah dengan berbagi bahan pokok antarwarga.
Harmadi menuturkan, sebagian pengurus RT berinisiatif membagi isi setiap dus bahan pokok. Misalnya, dalam satu dus tersedia dua karung beras berukuran 5 kilogram. Jumlah ini kadang dibagi untuk dua hingga tiga keluarga secara merata.
Begitu pula sejumlah paket lauk seperti telur dan ikan sarden kaleng. Sebagian pengurus RT membagi lauk itu sesuai dengan kesepakatan antarwarga. ”Sudah ada kesepakatan dengan RT masing-masing agar dibagi rata, yang penting semuanya dapat,” ujar Harmadi.
Kondisi serupa juga terjadi di RT 003 RW 010 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Rohmani, ketua RT setempat, berusaha mencukupi kebutuhan bahan pokok 77 orang yang tergolong rentan miskin. Dia memecah jumlah 24 kotak bansos untuk didistribusi ulang kepada puluhan warga tersebut.
Dalam satu kotak yang semestinya berisi dua karung beras seberat 5 kilogram, setiap karungnya diberikan kepada satu keluarga. Begitu pula empat kaleng sarden dalam satu kotak, setiap dua kaleng diberikan kepada satu keluarga. Sementara, sebagian bahan pokok lainnya dibagikan kepada warga yang dianggap paling membutuhkan.
”Bahan pokok berupa beras dan lauk harus terbagi merata ke warga terlebih dahulu. Setelah itu untuk pembagian bahan pokok yang ringan, seperti biskuit, diberikan kepada keluarga yang punya anak cukup banyak. Bahan pokok lainnya juga diprioritaskan untuk keluarga yang sehari-hari masih memasak,” kata Rohmani.
Keterbatasan tersebut sebegitu sulit sehingga satu kotak bahan pokok yang semestinya untuk satu keluarga harus dibagi untuk beberapa keluarga. Meski begitu, Udin (62), warga RW 010 Menteng Dalam, tetap bersyukur menerima bantuan bahan pokok yang ada. ”Ya, dapatnya segini. Disyukuri saja daripada enggak dapat apa-apa,” ujar Udin.
Fenomena warga saling berbagi bansos menjadi ironi karena terjadi di saat kasus korupsi bansos belakangan terkuak. Seperti diketahui sebelumnya, Minggu (6/12/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi terkait bansos untuk warga.
Menurut keterangan KPK, Juliari bersama dua pejabat pembuat komitmen diduga menyepakati biaya Rp 10.000 per paket sembako senilai Rp 300.000 untuk wilayah Jabodetabek. Adapun paket bansos sembako di Kemensos memiliki nilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan selama dua periode.
Pada pelaksanaan paket bansos periode pertama diduga biaya yang terkumpul Rp 12 miliar. Juliari diduga menerima Rp 8,2 miliar. Pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, sejak Oktober sampai Desember 2020 terkumpul biaya senilai Rp 8,8 miliar. Uang tersebut diduga akan digunakan untuk keperluan pribadi.
Selain dugaan korupsi yang melibatkan Juliari, dugaan korupsi skala kecil juga diduga kerap terjadi. Dari laporan yang masuk ke Tim Jaga Bansos KPK hingga 6 Desember, ada 151 penerima bansos yang mengadukan jumlah bantuan dana yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya.
Ada pula 201 penerima bansos yang mengeluhkan bantuan tak dibagikan aparat. Di luar itu, ada pula 19 penerima bansos yang mengeluhkan buruknya kualitas bantuan yang diterima.
Ketua Forum RT/RW Wilayah DKI Jakarta M Irsyad menyayangkan tindakan korupsi itu seakan tidak peka dengan kesulitan rakyat saat ini. Selama pandemi, sejumlah pengurus RT kerap bercerita tentang kekurangan bansos, bahkan ada sebagian warga miskin yang tidak tergolong ke dalam daftar penerima.
”Saya pikir, kok ada orang yang tega sekali untuk korupsi di saat masyarakat lagi susah. Seandainya uang yang mereka korupsi itu digunakan untuk kepentingan warga, mungkin tidak ada lagi keluhan soal kekurangan bansos,” ujar Irsyad.
Dengan kondisi tersebut, warga berharap tidak ada lagi kasus korupsi yang turut menyengsarakan mereka. Sebagian warga hanya ingin bisa mencukupi kebutuhan pokok di tengan situasi krisis pandemi.