Minim Transparansi Anggaran, Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta Diharapkan Ditunda
Segala aspek penyusunan RAPBD dan rencana kerja tahunan DPRD DKI Jakarta harus dibuka kepada masyarakat karena semua jenis kegiatannya dibiayai pajak yang dibayar warga.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Solidaritas Indonesia meminta DPRD DKI Jakarta menunda rapat paripurna pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Senin (7/12/2020). Penundaan itu hingga rincian anggaran, peruntukan, dan komponen penentunya dibuka kepada masyarakat agar bisa dinilai, termasuk Rencana Kerja Tahunan per anggota Rp 8 miliar per tahun yang dinilai keterlaluan.
Meski demikian, harapan terkabulnya permintaan itu sangat kecil sehingga harapan terakhir berada di tangan Kementerian Dalam Negeri untuk tidak menyetujui anggaran tersebut.
Sorotan itu mengemuka dalam diskusi yang diadakan Dewan Pimpinan Wilayah PSI DKI Jakarta, Minggu (6/12/2020). Fraksi PSI di DPRD Jakarta menolak rencana permintaan kenaikan anggaran Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang ketika dirata-ratakan jumlahnya mencapai Rp 700 juta untuk setiap anggota Dewan per bulan. Apabila ditotal, jumlahnya Rp 8 miliar setiap tahun untuk setiap anggota.
”Langkah ini tidak etis. Ada banyak warga Jakarta seperti para pemusik yang kehilangan mata pencarian selama pandemi Covid-19. Semestinya uang sebanyak itu dialokasikan untuk membantu rakyat yang kesusahan, misalnya membuat program konser daring agar pemusik tetap produktif dan bisa memperoleh pendapatan,” kata pianis Ananda Sukarlan, salah satu pembicara mewakili komunitas pemusik.
Politisi PSI yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Jakarta, Eneng Malianasari, mengungkapkan, pembahasan RKT itu hanya dua hari. Itu pun tidak jelas pembahasan dan peruntukannya karena tiba-tiba dokumen pembahasan dinyatakan sudah berupa wujud resmi dan disebarkan ke setiap komisi serta fraksi. Ia mengaku hingga sekarang belum menerima rincian pembahasan yang terjadi di Banggar.
Sementara itu, Ketua DPW PSI Jakarta Michael Victor Sianipar meminta agar DPRD Jakarta menunda rapat paripurna. Segala aspek penyusunan RAPBD dan RKT harus dibuka kepada masyarakat karena semua jenis kegiatannya dibiayai oleh pajak yang dibayar warga. Biar publik yang menilai kelayakan program serta jumlah dana yang disediakan untuk keberlangsungannya.
”Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Gubernur Anies Baswedan juga harus proaktif mengkaji RAPBD dan RKT ini. Kepada mereka rakyat berharap ada kebijaksanaan dalam bertindak,” tuturnya.
Michael mengatakan, dari DPW Partai Demokrat Jakarta dikabarkan juga menolak kenaikan RKT. Akan tetapi, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Demokrat Misan Samsuri tidak merespons ketika dimintai klarifikasi. Meski demikian, penolakan dari dua partai tidak akan menghentikan RAPBD dan RKT disahkan di rapat paripurna.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdurrahman Suhaimi mengatakan, jumlah Rp 8 miliar per tahun untuk setiap anggota belum pasti karena pembahasan di komisi, fraksi, dan Banggar memiliki kemungkinan tidak meraih suara persetujuan yang bulat. (Kompas.id, 3 Desember 2020)
Pakar administrasi negara Universitas Indonesia Roy Valiant Salomo skeptis melihat kemungkinan DPRD ataupun Pemprov Jakarta mau menunda pembahasan RAPBD dan RKT. Segala sesuatu dikerjakan dalam waktu singkat dan agenda pembahasan dipaksakan harus selesai dalam satu hari. Ini menunjukkan tidak ada niat merevisi rencana anggaran.
”Harapan terakhir ada di Kemendagri agar jernih melihat persoalan dan tegas dalam memutuskan apabila permintaan anggaran yang diajukan DPRD serta Pemprov Jakarta tidak masuk akal secara jumlah ataupun tidak ada argumentasi hitung-hitungan per unit kebutuhan,” ujarnya.
Lembaga media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, dan berbagai komunitas pemuda didesak agar kritis dan terus mengawasi. Tekanan harus diberikan kepada Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat.
Pegiat pendidikan kebhinekaan dan Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo, yang juga ikut dalam diskusi, menjelaskan, perilaku DPRD DKI Jakarta memberi pendidikan demokrasi yang buruk tidak hanya kepada masyarakat Jakarta, tetapi juga se-Indonesia. Apabila Ibu Kota yang semestinya menjadi tolok ukur perilaku baik bersikap sewenang-wenang, maka akan memberi lampu hijau bagi daerah lain untuk bertindak seenaknya.
”Pesan yang disampaikan kepada rakyat ialah ’kami hanya membutuhkan suaramu ketika pemilu, tetapi tidak akan memperhatikan suaramu dalam kehidupan sehari-hari’. Ini impunitas. Masyarakat semestinya merasa memiliki pemerintahan dan diberdayakan oleh pemerintahan serta anggota Dewan yang mereka pilih,” katanya.
Permintaan menaikkan RKT bagaikan memancing di air keruh, sementara situasi mengimpit masyarakat hingga ke garis kemiskinan. Di sisi lain, tidak dibahas mengenai indikator kinerja anggota Dewan secara nyata seperti pemastian keterserapan aspirasi publik, pemahaman masyarakat akan demokrasi dan peraturan daerah, serta kajian akan kebutuhan masyarakat berbasis isu wilayah, sosial, ekonomi, dan ekologi.
”Dalam proses pendidikan masyarakat harus ada dialog dan kegiatan berkesinambungan antara pemerintah dan rakyatnya. Indikator kinerja bukan berbasis foto-foto bahwa anggota Dewan sudah mengunjungi konstituennya, tetapi ada indeks pemahaman dari masyarakat mengenai isu yang terjadi,” ucapnya.