Perhitungan Rencana Kerja Tahunan DPRD Harus Berbasis Fakta di Lapangan
Di semua bidang profesi, keharusan perincian anggaran sesuai dengan target dan indikator hasil yang terukur wajib ada, tetapi di parlemen pusat dan daerah hal ini justru jarang dilakukan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perencanaan anggaran kinerja DPRD DKI Jakarta beserta program kerja pemerintah provinsi tidak hanya berbasis harga patokan dan harga satuan yang ditentukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga berbasis perhitungan terperinci mengenai biaya setiap kegiatan dan lokasi. Metode ini memungkinkan keterbukaan rencana anggaran yang bisa diawasi oleh publik serta juga memastikan program kerja yang dibuat efektif sesuai dengan permasalahan nyata, bukan reaktif terhadap keluhan tertentu saja.
Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Moch Nurhasim, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (2/12/2020), mengatakan, kelemahan semua DPRD di Indonesia ialah belum bisa menghitung secara rinci rencana kerja tahunan (RKT) mereka. Padahal, hal ini bisa dilakukan dengan melihat, antara lain, bidang kerja setiap anggota Dewan, jarak yang ditempuh untuk melakukan sosialisasi ke konstituen, rencana perda (peraturan daerah) yang hendak disosialisasikan dalam satu tahun, jumlah penyerapan aspirasi masyarakat, serta jumlah hari yang dibutuhkan untuk sosialisasi.
”Di semua bidang profesi, keharusan perincian anggaran sesuai dengan target dan indikator hasil yang terukur wajib ada, tetapi di parlemen pusat dan daerah hal ini justru jarang dilakukan. Pada setiap unit kerja, seperti biaya sosialisasi perda, harus memiliki argumentasi jernih menjelaskan kenapa harga patokannya bisa di jumlah tertentu. Apa saja rinciannya? Publik berhak tahu karena ini dibayar memakai uang pajak mereka,” katanya.
Di semua bidang profesi, keharusan perincian anggaran sesuai dengan target dan indikator hasil yang terukur wajib ada, tetapi di parlemen pusat dan daerah hal ini justru jarang dilakukan.
Sejauh ini, tidak pernah ada data mengenai ukuran anggaran ideal per anggota Dewan. Menurut Nurhasim, setiap anggota Dewan tidak bisa memiliki peruntukan anggaran yang sama. Misalnya, anggota DPRD Jakarta terdiri dari perwakilan enam wilayah. Biaya untuk sosialisasi perda berbeda tergantung dengan jarak tempuh yang harus dilalui, demikian pula dengan kelengkapan kebutuhan serta alat untuk topik yang hendak disosialisasikan. Misalnya, biaya untuk kesehatan akan berbeda dengan sosialisasi isu pendidikan.
Selain itu, harus ada pula perhitungan target kinerja anggota Dewan berupa jumlah serta tingkat keterserapan aspirasi publik yang mereka peroleh dan pendidikan politik serta demokrasi yang mereka berikan ke masyarakat. Kedua aspek ini tidak boleh digabung dengan kegiatan kampanye untuk partai politik pendukung mereka.
Ketika setiap anggota kembali dari reses, mereka harus membuat rekomendasi tertulis mengenai solusi masalah yang ditemukan di lapangan. Solusi ini harus berbasis wilayah dan sistematis. Tidak bisa sekadar memasukkan keluhan individual warga, tetapi disertai analisis jika masalah itu merupakan isu komunal, kewilayahan, ekologis, atau finansial.
”Contohnya ada warga mengeluhkan tidak memiliki air bersih. Biasanya anggota Dewan membawa keluhan personal ini ke rapat. Padahal, semestinya mereka mengkaji jika ketiadaan air bersih itu dampak di skala ekologis atau mungkin warga itu berasal dari permukiman ilegal yang memang tidak memiliki suplai air,” kata Nurhasim.
Selain itu, kata Nurhasim, pengenalan cakupan geografis, ekonomi, dan spesifikasi isu akan menghadirkan rekomendasi solusi yang berbeda untuk setiap wilayah konstituen. Dalam rekomendasi tertulis, semua hal tersebut wajib dijabarkan dalam bentuk solusi yang sistematis dan langsung terkait dengan dinas-dinas pemerintahan yang sekiranya mampu menerapkan.
Sistem ini merupakan cara agar partai politik dan anggota Dewan berlaku profesional. Artinya, partai tidak asal menempatkan legislatornya dalam komisi, tetapi meletakkan setiap anggotanya di dalam komisi yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Begitu pula dengan legislator, dengan memahami komisi tempat ia bertugas serta rencana kerja tahunannya, ia bisa memilih staf khusus ataupun staf ahli yang kompeten di bidang tersebut. Bukan memilih staf berbasis keakraban personal.
Belum pasti
”Rencana kerja tahunan (RKT) DPRD DKI Jakarta masih dalam tahap pembahasan di setiap komisi. Jika selesai, akan masuk dalam pembahasan badan anggaran, baru ke setiap fraksi, dan diselesaikan di rapat paripurna,” kata Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdurrahman Suhaimi ketika dihubungi pada hari Selasa (1/12/2020).
Ia coba meluruskan isu yang beredar di masyarakat bahwa DPRD Jakarta meminta penambahan tunjangan kinerja sebesar Rp 8 miliar untuk setiap anggota per tahun agar dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBD) DKI Jakarta 2021.
Belum ada kepastian APBD 2021, apalagi mengenai anggaran kerja tahunan anggota Dewan. Di samping itu, anggota Dewan tidak akan bisa seenaknya meminta kenaikan anggaran karena setiap poinnya diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.
”Setiap biaya memiliki harga satuan dan harga patokan. Misalnya, ada anggaran bagi anggota Dewan untuk melakukan sosialisasi perda yang jumlahnya sudah ditentukan. Seorang anggota bisa mendapat jumlah lebih daripada yang lain hanya jika kegiatan sosialisasi perda yang ia lakukan lebih sering frekuensinya,” ujar Abdurrahman. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan alasan jumlah harga patokan tersebut.
Ia mengatakan bahwa anggaran kerja tahunan tidak bisa disamakan dengan gaji dan tunjangan karena konteksnya berbeda-beda. Dalam penghitungannya, juga tidak bisa dijumlahkan gaji, tunjangan, anggaran kerja tahunan, lalu dibagi rata dengan 106 anggota Dewan karena setiap kegiatan, seperti reses, kunjungan kerja, dan sosialisasi perda memiliki harga patokan yang berbeda.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jakarta Nasruddin Djoko Surjono mengungkapkan bahwa pihaknya masih dalam proses menyusun program kerja 2021. Akan tetapi, rencana itu bisa berubah sewaktu-waktu karena APBD belum ditetapkan. Pagu Rancangan APBD 2021 sejauh ini adalah Rp 82,5 triliun.
”Setelah APBD disahkan akan diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi. Ada kemungkinan revisi jika pemerintah pusat menilai APBD itu tidak efektif,” kata Nasruddin.