Masyarakat menunggu keberanian pemerintah menindak para pelanggar, termasuk dari unsurnya sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Kegiatan yang menciptakan keramaian adalah ancaman bagi kesehatan masyarakat di masa pandemi Covid-19. Ketegasan seluruh jajaran pemerintah hingga satuan terkecil sangat penting guna memastikan keamanan masyarakat terjamin dan aturan mengenai protokol kesehatan ditegakkan. Dari sisi masyarakat juga agar teguh mengingatkan pihak berwenang dan sesama serta tidak membiarkan pelanggar protokol keamanan lolos dari sanksi sosial.
”Pemberian sanksi harus ke semua pihak terlibat, seperti jajaran pemerintah dan aparat hukum yang mengizinkan atau membiarkan terjadinya kerumunan, penyelenggara acara, hingga peserta yang datang atas kemauan sendiri meskipun tahu mereka melanggar protokol kesehatan menjaga jarak fisik,” kata Profesor Riset Sosiologi Perkotaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Henny Warsilah, di Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Ia merujuk ke berbagai fenomena yang mengakibatkan keramaian, seperti libur panjang dua pekan lalu, kegiatan rapat di luar kota yang diadakan oleh beberapa kementerian/lembaga, dan kejadian terkini pengumpulan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus pernikahan anak dari pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab pada 14 November. Kegiatan-kegiatan ini membuat masyarakat cemas terhadap munculnya kluster baru penularan Covid-19.
Isu-isu di masa pandemi ini jangan dianggap remeh, apalagi lucu, karena masa darurat seperti ini hal yang dibutuhkan semua pihak adalah kejernihan informasi dan ketegasan bertindak. (Henny Warsilah)
Henny yang mengamati dinamika di media sosial menjelaskan bahwa ketimpangan pelaksanaan protokol kesehatan kian mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengendalikan penyebaran virus korona jenis baru. Berbagai isu tidak sedap beredar yang tidak hanya mendiskreditkan pemerintah, tetapi juga memecah belah masyarakat, seperti teori konspirasi ada kelompok tertentu sengaja membuat kluster Covid-19 demi membuat pemerintah pusat dan daerah kehilangan wibawa di hadapan publik.
Menurut Henny, isu-isu ini jangan dianggap remeh, apalagi lucu, karena masa darurat seperti ini hal yang dibutuhkan semua pihak adalah kejernihan informasi dan ketegasan bertindak. Polri sudah tepat mencopot Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dan Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi karena hasil penilaian kinerja mengungkapkan mereka lalai dalam mencegah kerumunan massa dan cenderung membiarkan kegiatan terjadi.
”Selain dari pihak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah yang memang terikat hukum formal, penyelenggara acara dan hadirin juga harus dimintai pertanggungjawaban di luar denda. Sanksi sosial harus berlaku untuk menunjukkan tidak satu orang pun dibiarkan berada di atas hukum. Jika pemerintah tidak tegas, masyarakat yang selama ini mematuhi protokol kesehatan akan merasa dikhianati,” papar Henny.
Pakar kebijakan publik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, memandang skeptis pemanggilan jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta oleh Polda Metro Jaya terkait keramaian di Petamburan. Ia mengkhawatirkan tindakan itu sebatas formalitas yang tidak menghasilkan ketegasan hukum ataupun sanksi menjerakan para pihak terkait. Lebih ditakutkan lagi, peristiwa tersebut akan disenyapkan agar masyarakat lupa dalam beberapa hari ke depan.
Umam menjelaskan bahwa mitigasi keramaian sejak awal bisa dilakukan pemerintah pusat dan daerah karena kebijakannya sudah ada. Akan tetapi, yang tidak turut dilibatkan dalam penerapannya adalah kemauan politik yang berlandaskan kepentingan umum, bukan kepentingan popularitas dan elektoral.
”Sejak awal, pemerintah pusat dan daerah sama-sama ambigu. Pusat mengatakan bahwa pandemi Covid-19, tetapi menggolkan kebijakan cuti bersama yang jelas akan mengakibatkan keramaian dan kesemrawutan di jalanan serta obyek wisata. Pemerintah daerah, seperti Pemprov Jakarta, mengkritisi kebijakan libur panjang, tetapi pemimpinnya sendiri malah ikut dalam keramaian di Petamburan,” tuturnya.
Masyarakat menunggu keberanian pemerintah menindak para pelanggar, termasuk dari unsurnya sendiri. Peraturan presiden, peraturan daerah, dan peraturan gubernur semua sudah ada. Tinggal praktiknya.
Salah satu bentuk pencegahan keramaian yang dilakukan Pemprov Jakarta ialah melalui Unit Pelaksana Kawasan Monumen Nasional. Kepala unit tersebut, Muhammad Isa Samuri, secara resmi mengatakan menolak diadakannya kegiatan reuni 212 yang dalam proposal dari Persaudaraan Alumni 212 hendak dilaksanakan tanggal 2 Desember. Ia menuturkan kawasan Monas ditutup sejak tanggal 14 Maret. Segala jenis kegiatan tidak diperkenankan.
Sebagai respons, FPI, PA 212, dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama mengeluarkan rilis yang memberi tahu bahwa kegiatan reuni di Monas ditunda. Mereka memilih melakukan dialog nasional yang menghadirkan seratus tokoh dan ulama dengan menerapkan protokol kesehatan.
Adapun para pengikutnya diminta melakukan shalat istighasah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Shalat berjamaah ini dilakukan di masjid, mushala, pondok pesantren, dan majelis taklim terdekat dari tempat tinggal masing-masing. Rilis itu mengatakan kegiatan harus dilakukan dengan bermasker, menjaga jarak, dan tidak di ruang terbuka seperti di lapangan.