Warga dan pegiat sosial meragukan keseriusan pemerintah menangani pandemi Covid-19 setelah berlangsungnya keramaian di tengah berbagai larangan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga dan pegiat sosial menilai pemerintah tidak tegas dalam menegakkan protokol kesehatan dengan membiarkan berlangsungnya sejumlah keramaian di Jakarta. Ada kekhawatiran kejadian serupa akan berulang dengan dalih pembiaran keramaian sebelumnya.
Warga meluapkan keraguan ataupun kekecewaannya dalam cuitan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Divisi Humas Polri tentang penerapan protokol kesehatan.
Cuitan BNPB, Senin (16/11/2020) pukul 10.51, pun tak luput dari sasaran kritik warga. Cuitan itu berisi, ”Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan bahwa para penyelenggara kegiatan yang menciptakan adanya kerumunan manusia pada masa pandemi akan mendapatkan sanksi tegas.” Warga mempertanyakan keseriusan dalam penanganan Covid-19, termasuk penegakan protokol kesehatan.
Dua cuitan Divisi Humas Polri di Twitter pada Minggu (15/11/2020) pukul 08.36 tentang ”Pesta demokrasi sebentar lagi. Yuk, gunakan hak pilihmu di Pilkada 2020. Tapi ingat yaa tetap terapkan protokol kesehatan. Semangat sehat Sobat Polri” dan cuitan pukul 15.29 tentang ”HIMBAUAN POLRI Hanya dengan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan maka kita akan terhindar dari pandemi covid-19 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Drs. Idham Azis” juga menjadi sasaran kritik.
Dalam dua cuitan itu warga mempertanyakan ketidaktegasan polisi dalam penegakan protokol kesehatan Covid-19. Padahal, sudah ada maklumat Kapolri yang tidak memperbolehkan keramaian.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dari Laporcovid19.org, menuturkan, pemerintah menerapkan standar ganda dalam penegakan protokol kesehatan. Di satu sisi pedagang pasar, toko kelontong, dan perkantoran wajib menjaga jarak. Sementara di sisi lain membiarkan terjadi keramaian di Petamburan.
”Ini menunjukkan pemerintah tidak serius mengendalikan Covid-19. Sudah berkali-kali pejabat melempar tanggung jawab ke masyarakat jika angka kasus naik. Masyarakat disalahkan karena tidak patuh protokol kesehatan,” ucap Irma, Senin (16/11/2020).
Bentuk ketidakseriusan itu, antara lain, tidak tegas melarang keramaian di wilayah masing-masing, menurunkan martabat dan wibawa dengan membagikan masker dan antiseptik kepada penyelenggara keramaian, bukan sebaliknya melarang atau bersurat untuk tidak keluarkan izin keramaian. ”Tidak serius mengurangi transmisi di komunitas. Malah memicu kluster baru,” ujarnya.
Firdza Radiany, pegiat dari Pandemic Talks, turut menyayangkan inkonsistensi pemerintah dalam menegakkan protokol kesehatan sehingga berlangsung kegiatan dengan kerumunan massa. Padahal, pemerintah bisa mencegah kerumunan lewat diskusi dengan penyelenggara kegiatan terlebih dulu.
”Sepertinya jadi sia-sia upaya selama 8-9 bulan ini. Pemerintah mengedukasi, tetapi membiarkan keramaian terjadi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa turun, juga kepercayaan pada protokol kesehatan,” ucap Firdza.
Baginya, membagi masker kepada penyelenggara kegiatan bukan langkah bijak untuk mencegah penyebaran Covid-19. Demikian juga denda Rp 50 juta yang tidak sebanding dengan dampak sosial. Sebab, bisa saja warga berpikiran untuk menyiapkan uang denda asalkan bisa gelar keramaian, seperti pesta dan konser.
Tidak kalah penting menurutnya ialah pendataan warga yang hadir dalam keramaian untuk penelusuran kontak jika ada temuan kasus positif di kemudian hari. Ada kekhawatiran terjadinya superspreader dalam kegiatan keagamaan karena pelanggaran protokol kesehatan. Apalagi, banyak aktivitas yang menghasilkan aerosol, seperti bernyanyi, khotbah, berteriak, dan mengobrol. Contohnya Pemerintah Korea Selatan yang menangkap pemimpin sekte keagamaan karena diduga bertanggung jawab atas 5.200 anggotanya terpapar SARS-CoV-2 (Kompas.id, 16 Agustus 2020).
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ibnu Nadzir, juga melihat keramaian yang terjadi sebagai bentuk inkonsistensi sikap pemerintah dalam penanganan Covid-19. Dari keramaian itu, katanya, pemerintah justru mendelegitimasi protokol kesehatan yang sering digaungkan ke masyarakat. Peristiwa yang terjadi berpotensi jadi contoh bagi orang lain karena anggapan tidak ada tindakan tegas.
”Penting untuk tegas ke orang yang memang melanggar protokol kesehatan supaya ada efek jera. Jangan pandang bulu,” ujar Ibnu.
Sebelumnya #IndonesiaTerserah ramai di linimasa Twitter. Setidaknya ada 38.000 cuitan per Minggu (15/11/2020) pukul 17.00. Sebagian besar cuitan dalam tagar itu berisi ungkapan kekecewaan dan kritik karena penegakan protokol kesehatan tidak serius diterapkan.
Pencuit mempertanyakan sikap pemerintah mengenai imbauan protokol kesehatan, pembatasan sosial, dan pesan-pesan lain terkait Covid-19. Keseriusan penanganan pandemi sejak Maret 2020 pun dipertanyakan kembali.