Tersiar kabar melegakan terkait dimulainya pembebasan lahan untuk proyek pengendalian banjir di Ibu Kota. Pejaten Timur sebagai hanya salah satu kelurahan yang wilayahnya dalam proses pembebasan di DKI Jakarta.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Terkait dimulainya proses pembebasan lahan itu, salah satu wilayah yang sedang dalam proses pembebasan ialah Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tercatat total 1.000 hektar di area bantaran Sungai Ciliwung sedang dalam proses pembebasan, terdiri dari lahan kosong milik warga serta rumah dan tempat usaha (Kompas, 5 November 2020).
Keberadaan Pejaten Timur, sebagai hanya salah satu kelurahan yang wilayahnya dalam proses pembebasan, menunjukkan begitu luasnya area bantaran Sungai Ciliwung untuk pemanfaatan di luar konservasi sungai.
Padahal, seperti diamanatkan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011, pengelolaan sungai meliputi konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak sungai. Dalam PP tersebut juga disebutkan, konservasi sungai diimbau melibatkan warga.
Namun, faktanya, bantaran sungai, tak hanya di Ciliwung, kerap dimanfaatkan untuk tempat tinggal, juga tempat usaha, seperti lahan yang dibebaskan di Pejaten Timur.
Di Jakarta, fenomena pemanfaatan lahan bantaran sungai untuk kepentingan nonkonservasi ibarat konsekuensi dari tingginya urbanisasi ke Ibu Kota.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2019 mencapai 11.063.324 jiwa, termasuk warga negara asing 4.380 jiwa. Sementara itu, luas DKI Jakarta hanya 662,33 kilometer persegi, menurut Keputusan Gubernur No 171/2007.
Artinya, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 16.704 jiwa per km persegi. Tingkat kepadatan itu meninggi jika luas Kepulauan Seribu tidak ikut dihitung. Andai tanpa Kepulauan Seribu, kepadatan penduduk DKI di perkotaan menjadi 16.882 jiwa per km persegi. Bandingkan dengan kepadatan penduduk RI yang hanya 141 jiwa per km persegi (hasil dari proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia), sesuai data statistik.jakarta.go.id.
Kepadatan itu berbuah konsekuensi lemahnya daya beli warga akan tempat tinggal. Tak pelak, lahan-lahan yang semestinya tidak dialokasikan untuk perumahan dijadikan penduduk sebagai tempat tinggal. Pemantauan, pengawasan, dan penegakan hukum yang tidak konsisten membuat pemanfaatan bantaran sungai untuk kepentingan nonkonservasi terus berlangsung dan menahun.
Tak heran, Jakarta rentan dilanda banjir karena adanya intervensi terhadap kepentingan konservasi sungai. Saat musim hujan yang bertepatan dengan La Nina seperti saat ini sehingga curah hujan meningkat, pembebasan lahan untuk pengendalian banjir ini ibarat langkah kecil, tetapi penting untuk masalah sedemikian besar. Perlu konsistensi melakukan hal itu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu memastikan bahwa fenomena serupa tidak terulang di masa mendatang. Tak ketinggalan, perlu dipastikan hunian baru untuk warga yang baru dipindah layak dari segi tempat, sanitasi, serta akses terhadap pekerjaan dan pendidikan.